UN Gambling

Jumat, 24 April 2009

Seiring dengan UN yang sekarang sedang berlangsung, saya menjadi teringat masa SMA saya dulu. Di sebuah sekolah yang bisa dikategorikan favorit di kota saya; Bandung. Murid-muridnya termasuk golongan cerdas karena untuk masuk sekolah ini mereka harus memiliki nilai NEM yang besar. Kalau dibandingkan dengan sekolah lain, sekolah saya berada di urutan ketiga passing grade terbesar kala itu.

Mungkin karena di sekolah ini banyak orang cerdas berkumpul, saya tidak bisa mengulangi keberhasilan didalam nilai akademis ketika di SMP. Apalagi kalau dibandingkan dengan di SD yang selalu juara 1 selama 6 tahun. Yang ada malah saya selalu dalam posisi 10 besar dari bawah. Perlu diingat, jumlah murid di kelas saya waktu itu lebih kurang 45 orang.

Meskipun saya termasuk rangking 10 besar, saya tidak terbiasa mencontek. Padahal kawan sebangku saya itu pintar dan selalu masuk rangking. Hanya saja ketidakbiasaan mencontek ini terkikis ketika tahun terakhir menjelang Ebtanas. Maklumlah. Namanya juga anak baru gede. Keinginan membakar adrenalinnya begitu tinggi. Hahaha… (pembelaan ceritanya)

Walhasil, tahun-tahun terakhir itu saya menjadi siswa bengal tapi tetap bengal yang terkendali. Mencontek akhirnya menjadi keahlian saya (Damn! Pengakuan yang tulus. Tapi sumpah setelah mahasiswa saya anti mencontek kembali. Hahaha…). Aksi mencontek yang paling saya ingat sepanjang masa ya ketika UN (ket: EBTANAS). Tak tanggung-tanggung saya letakan buku mata pelajaran di atas meja. Tidak ada cerita bikin kertas cotekan dengan berbagai trik atau kode-kode ke teman yang dekat. Semua saya lakukan terbuka & terang-terangan. Kalau ada pengawas lewat saya tutupi saja dengan kertas soal sambil pura-pura akting pusing karena soal. Hahaha…

Sialnya, aksi tidak terpuji itu selalu berhasil. Selama 3 hari tes, tak pernah sedikit pun saya tertangkap basah. Pun demikian dengan tes-tes sebelumnya. Tapi dibalik kecurangan itu, Allah SWT tetaplah tahu dan Maha Adil. Dia tahu kapasitas dan kapabilitas saya sehingga meski mencontek dari textbook saya tidak diberikan hasil EBTANAS yang bagus. Mungkin karena sudah bego, dikasih textbook pun tetep saja bego. Hahaha…

Itu yang saya kenang akan UN yang pernah saya alami dulu. Bagaimana dengan kawan-kawan saya yang saat ini sedang mengahadapi UN? Semoga saja mereka tidak melakukan hal yang sama dengan apa yang saya lakukan dulu (meski sebenarnya saya yakin ada satu dua orang yang melakukan hal ini). Saya harap semua menjalani tes “gambling” ini dengan baik tanpa harus cari-cari dukun atau pun berbuat yang tidak-tidak.

Memangnya UN gambling ya?

Bagi saya, Ujian Nasional a.k.a UN tidak lebih dari sebuah taruhan besar sebab ia digunakan untuk menjadi alat satu-satunya dalam menilai siswa, dan bahkan menjadi penentu utama untuk menetapkan apakah seorang siswa lulus atau tidak. Padahal seorang siswa (baca manusia) tidak dapat hanya dinilai dari sekedar hal tersebut. Mereka adalah makhluk yang kompleks dan unik yang tidak dapat distandarkan begitu saja.

Standarisasi dalam sebuah tes sih boleh-boleh saja selama semua siswa menjawab pertanyaan yang sama dalam kondisi yang serupa dan jawaban mereka dinilai dengan cara yang sama. Pertanyaanya sudahkah semua itu terjadi?

Sepengetahuan saya, sarana dan prasarana pendidikan di negeri ini masihlah sangat timpang. Pendidikan di wilayah Jakarta dibandingkan dengan mereka yang tinggal di Papua jelas akan memperlihatkan perbedaan tersebut. Faktor pengajar pun memiliki unsur yang mempengaruhi sebab mereka pastinya memiliki perbedaan standar kualitas dalam pelaksanaan pendidikan tersebut.

Dan yang paling utama adalah masalah kurikulum. Bayangkan saja setelah sekian puluh tahun UAN, EBTANAS, atau apa pun namanya, dilaksanakan di negeri ini, apakah mutu pendidikan negeri ini semakin membaik? Saya kira semua orang akan sepakat bahwa jawabannya negatif, dilihat dari segi akademik maupun karakter (akhlak). Juga, dalam hal inovasi, kreasi, tanggung jawab sosial, disiplin, dan hal-hal lain yang justru merupakan tujuan puncak semua proses pendidikan.

Namun ada yang mengatakan bahwa dengan UN akan membuat siswa menjadi semakin bekerja keras. Saya yakin semua orang yang terlibat di dunia pendidikan akan mengakui bahwa dengan adanya UN adalah justru membuat terjadinya manipulasi nilai.

Perlu diingat bahwa sebuah tes hanyalah sebuah alat dan bukan cara untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Seperti termometer, ia hanya dipakai untuk mengetahui suhu tubuh dan tentu saja tidak bisa dipakai untuk menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Fungsi tes standar hanyalah sekedar untuk memetakan kualitas pendidikan. Itupun jika dilaksanakan dengan valid dan terpercaya. Kalau kemudian terjadi banyak kecurangan & kekurangan maka otomatis thermometer pun akan membaca angka yang keliru. Dampaknya standar pendidikan dan peta yang diharapkan semakin kabur plus tidak layak dipercaya.

Tes-tes standar yang “gambling” seperti ini menurut saya merupakan sebuah kerugian pada siswa atau pun pendidikan itu sendiri. Bayangkan saja bagaimana dengan siswa-siswa yang bersekolah di sekolah yang berkualitas buruk, tidak memiliki guru yang layak mengajar, tidak memiliki fasilitas baik buku diktat, perpustakan, maupun laboratorium maka mereka akan menjadi pihak yang paling merugi. Sudah menjadi rahasia umum bagaimana kondisi sebagian besar sekolah di negeri ini. Adanya UN justru menghukum para siswa atas masalah yang di luar kontrol kendali mereka.

Selain itu pun ternyata hasil tes seperti ini cenderung menegasikan faktor-faktor non-sekolah seperti; kemiskinan, kelaparan, mobilitas siswa, kesehatannya, keselamatannya, pendidikan orang tua, dll. Padahal semua tahu kondisi negeri ini begitu besar kesenjangan terjadi anatar si kaya dan si miskin. Adapun pendapat bahwa mereka harus diluluskan nyatanya harus dikaji kembali sebab itu bertentangan dengan keadilan dan tujuan pendidikan. Tapi jika siswa tidak memiliki akses pada pendidikan yang layak lantas apa mereka harus disalahkan?

Yang lebih menarik lagi adalah diskursus antara siapa yanglebih layak diluluskan; mereka yang begitu ahli dalam hafalan atas materi kukikulum (yang menurut saya tidak jelas) ataukah mereka yang memiliki prestasi di bidang olahraga, musik, komunikasi, kemampuan riset dan kreatif, leadership, tanggung jawab sosial, dan berbagai aspek karakter lainnya. Karena saat ini banyak kasus mereka-mereka yang memiliki kemampuan dalam hal ini banyak juga yang tidak dapat lulus UN.

Hal ini semakin ironis ketika ternyata UN pun akhirnya membuat guru-guru baik harus mengubah strategi mengajarnya agar dapat memenuhi tujuan kelulusan UN. Hal ini menyebabkan kualitas pengajaran mereka menjadi buruk karena mereka akhirnya hanya akan mengajar demi tercapainya ujuan UN tersebut. Pun demikian dengan sekolah. Sekolah akhirnya hanya berorientasi dengan mengerahkan hampir semua sumber dayanya untuk mengajarkan bagaimana agar lulus UN. Kalau pendidikan hanya bertujuan lulus UN maka itu sungguh suatu kesia-sian. Dampaknya masyarakat akhirnya akan menilai kualitas sekolah hanya dari nilai UN yang diperoleh siswa sekolah tersebut. Ini jelas-jelas menyesatkan.

Sekedar intermezzo, beberapa waktu lalu saya sempat bertanya pada seorang pegawai di RS Jiwa Bandung yang terkenal dengan istilah Riau 11. Saat itu saya menanyakan berbagai hal tentang apa yang terjadi disana. Hingga sampai kepada hal asal dan siapa saja yang banyak menghuni kamar-kamar disana. Jawaban pegawai tersebut, “Kebanyakan mereka orang-orang terpelajar dari perguruan tinggi negeri tittttttttttttttttttt…(Sengaja saya sensor sebab khawatir ada yang tersungging sebab PTN ini begitu terkemuka di Bandung bahkan namanya terkenal sampai luar negeri).

Akhirnya saya kembali merenung. Kalaulah orang-orang sekualitas mereka saja menclok di Riau 11 bagaimana dengan yang dibawah mereka. Padahal semua tahu mereka adalah orang-orang yang terseleksi secara akademis. Umumnya mereka pun memiliki bukti akademis ketika masih sekolah di SMA. Namun ternyata keberhasilan akademis ini tidaklah menjadi jaminan bahwa seseorang itu merupakan orang yang memang “layak”.

Kalau begitu tes seperti UN atau ujian masuk ke perguruan tinggi pun tidaklah jauh berbeda. Tes-tes ini tidaklah mengukur dengan benar nilai dari seorang siswa atau pun mutu pendidikan itu sendiri. Mereka hanya mengukur dari satu sisi saja. Padahal keberhasilan pendidikan itu harus ditinjau dari banyak aspek. Ia merupakan suatu proyek yang harus digarap telaten dan dalam jangka panjang.

Selama kualitas pendidikan dan pelatihan guru buruk, gaji guru kecil, sarana pendidikan miskin, manajemen sekolah amburadul, kurikulum tak tepat guna, korupsi merajalela di dunia pendidikan, buku teks masuk sekolah lewat jalan menyuap, sekolah cukup memberi pelicin untuk dapat akreditasi baik, dan lulusan sekolah tak merasa perlu berkualitas karena toh dengan nyogok bisa sukses juga dalam hidup-dan masih amat banyak lagi faktor, UN tak akan banyak bermanfaat, kalau tak mau dikatakan merugikan.

Kalau begitu apa yang sebaiknya dilakukan? Bagi saya sih semua paradigma yang telah ada sekarang harus dirubah. Dirubah dari sisi asas hingga aplikasinya di lapangan. Seperti apa? Saya sendiri masih meraba-raba & mengawang-ngawang. Namun saya tertarik dengan apa yang dituliskan oleh Abrurahman Al Bagdadi dalam bukunya Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam. Mungkinkah ini menjadi jawaban atas perubahan paradigma itu? Saya tidak tahu. (Semoga)


1 komentar:

Amisha mengatakan...

Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut