Gunting Situ

Jumat, 03 April 2009


Masyallah. Innalilahi wa inna illaihi rajiun...

Begitu yang saya ucapkan sore itu. Kegembiraan saya sejak pagi hingga siang seakan hilang oleh hantaman bencana yang terjadi di daerah Cireundeu, Ciputat.

Lebih kurang seratus manusia tewas dalam sekejap. Tanggul Situ Gintung yang dibangun oleh penjajah Belanda pada tahun 1933 itu jebol dan menumpahkan jutaan meter kubik air serta lumpur ke permukiman di bawahnya.

Sontak saya teringat orang-orang yang saya kenal yang tinggal di daerah sana. Bukan apa-apa, soalnya beberapa tahun terakhir ini saya memang sering ke daerah sekitaran Ciputat. Bahkan kadang bermotor-motor ria bareng si Tio Kampring (sahabat saya) masuk keluar gang kost-kostan mahasiswa UMJ hingga kontrak dia di Cireundeu. Bahkan beberapa kali saking asyiknya bermotor ria, tak terasa sudah sampai ke Bogor. Hahaha…

Jebolnya tanggul yang terjadi tanggal 27 Maret 2009 kemarin ini pun membuat saya teringat seorang kawan dari Aceh. Dia salah satu korban selamat yang mengalami langsung bagaimana air bah menerjang dirinya. Ketika saya tanya seberapa besar kekuatan air bah Situ Gitung kemarin, dengan santai dia jawab, “Kekuatan air bah Situ Gintung hanya 1 per satu trilyunnya tsunami Aceh”. Gubrakkss…

Gila! Satu per satu trilyun saja sedahsyat itu. Apalagi kalau satu trilyun.

Beruntung hingga saat ini tidak ada seorang yang saya kenal yang menjadi korban disana (semoga tidak ada). Kalaulah yang satu trilyun itu terjadi kemarin di Gintung, saya yakin ceritanya tidak akan seperti sekarang. Orang-orang yang saya kenal bisa jadi –jangan- menjadi korban disana. Bahkan sangat mungkin pula istana yang begitu pongah di Merdeka Barat menjadi salah satu korbannya.

Jujur, mendengar dan melihat beritanya saja lutut ini gemetaran rasanya. Muringkak bulu kuduk saya. Melebihi muringkak pas liat kuntilanak (Memang ada kuntilanak? Yang ada kan anak kutilan. Hehehe…)

Dibalik muringkak-nya bulu kuduk saya, di satu sisi terselip rasa heran saya atas berita yang saya lihat selanjutnya. Bukan saja rasa heran namun sekaligus rasa gemas menyelinap rongga dada ini. Bagaimana tidak gemas kalau melihat penguasa seakan-akan menganggap ratusan nyawa itu tidaklah berarti apa-apa.

Menurut saya, penguasa negeri ini memang tidak menganggap kematian saudara-saudara saya di Situ Gintung itu sebagai sesuatu yang berarti. Buktinya, usai “menengok” kejadian tersebut, mereka dengan tanpa rasa bersalah & sedih sedikit pun masih bisa duduk-duduk dan tertawa di sebuah perhelatan (yang gak penting menurut saya) malam harinya. Perhelatannya disiarkan secara live. Dan saya melihat senyum mengulum dari bibir mereka.

Padahal ini masalah nyawa. Nyawa anak-anak mereka.

Sebab bagi saya seorang pemimpin itu ibarat seorang ibu dan rakyat adalah anaknya. Ketika anaknya sakit tentu si ibu akan merawat, menemaninya tidur bahkan dia sendiri pun tertidur disamping anaknya. Tidak pernah ada ibu yang tidak melakukan hal seperti itu kecuali kalau si ibu adalah ibu jadi-jadian. Ya mirip-mirip siluman gitu. Sabangsaning bagong ngepet dan teman-temannya. Hehehe…

Saya tidak tahu harus mengatakan apa bagi pemimpin negeri ini saat ini. Kalau dibilang ibarat ibu mereka jelas sangat tidak mirip seorang ibu. Kalau dibilang sejenis makhluk jadi-jadian jelas tidak juga lha wong fisik mereka manusia beneran. Cuman kalau misal seperti ini: Ketika ada anak yang tertabrak kereta api siang hari. Kondisi si anak sedang sekarat. Tak lama berselang si ibu datang menjenguknya di sore hari. Setelah itu, malamnya, si ibu menghadiri hajatan sunatan seorang kaya raya sambil memperlihatkan mimik serasa tidak terjadi apa-apa dengan anaknya. Kira-kira pantasnya disebut ibu seperti apa ya?

Saya tahu seorang pemimpin tidak harus selalu ada 24 jam di tengah sebagian rakyatnya. Yang namanya memimpin sekelompok orang dalam suatu wilayah tentu harus dapat membagi-bagi waktu dan keberadaannya kepada semua rakyatnya. Namun untuk kasus force majeure seperti hal diatas, rasanya tidak pantas kalau seorang pemimpin (baca ibu) memilih hal seperti itu. Kalau saja mereka urung menghadiri perhelatan sia-sia di malam hari itu, “anak-anaknya” yang lain itu tentu akan sangat-sangat mengerti dengan pilihan “ibunya’ tersebut. Saya berani jamin mereka tidak akan marah dengan pilihan “ibunya” itu. Dengan catatan, si “ibu” benar-benar mengurusi “anaknya” yang mengalami bencana. Bukan malah memangfaatkan bencana “anaknya” sebagai ajang popularitas untuk 9 April nanti.

Sialnya, sudahlah mereka berkelakuan demikian, mereka malah saling tuduh menuduh siapa yang harus bertanggung jawab atas bencana ini. Pemerintah pusat menuduh pemerintah propinsi yang bersalah. Sebaliknya pemerintah daerah juga menuduh sebliknya. Sebagian menuduh pengelola yang bersalah. Sebagian lagi menuduh masyarakat salah samapi menuduh yang salah si tanggul sendiri. Tanggul kok disalahin? Memangnya tanggul itu mankhluk hidup yang bisa diajak ngomong? Namanya benda mati ya tidak bisa komentar apa-apa. Justru orang-orang hidup yang punya kewajiban atas tanggullah yang harus diajak bicara.

Kasus Situ Gintung jelas tidak sama dengan bencana tsunami di Aceh. Danau kecil itu dibuat oleh manusia untuk kepentingan pengairan. Ia dibuat dengan menggunakan perhitungan. Dan seperti semua hal yang dibuat oleh manusia, Situ Gintung itu pun punya keterbatasan. Ia tak abadi. Untuk menangani keterbatasan tersebut tentulah butuh sistem, yang di dalamnya mengatur siapa yang mengelola, bagaimana cara mengelola, dan sebagainya. Gamblang sudah. Ketika Belanda membuat dam itu mereka juga sudah mempunyai sistem untuk mengurusinya. Setelah zaman kolonial berganti republik, dan kini republik ini sudah berumur 63 tahun, jelas absurd jika sistem itu tidak ada.

So, inilah yang saya sayangkan. Disaat mereka acuh tak acuh terhadap rakyatnya, mereka malah saling tuduh menuduh seakan hal itu sudah menjadi tradisi bangsa ini ketika terjadi bencana. Padahal kalau memang salah ya salah saja. Tak perlu kemudian menyembunyikan diri atu melempar handuk kotor ke muka orang lain. Sebab suatu saat nanti kesalahan itu akan ditampakkan. Bentuknya dapat bermacam-macam. Tentunya bukan penampakan gaya Nyi Mas Melati, si penghuni Situ Gintung, seminggu sebelum bencana ini terjadi. Bukan pula penampakan ala buaya putih & ular raksasa yang kabarnya suka menampakan diri di tengah Situ Gintung. Akan tetapi penampakan yang dapat membalikkan 180 derajat kenyataan dan kesadaran rakyat. Seperti halnya Situ Gunting menjadi Gunting Situ. Wallahu’allam



Sebuah informasi tambahan:

1. Sejak 2 tahun terakhir, masyarakat sekitar tanggul sudah khawatir akan jebolnya tanggul ini. Namun kekhawatiran mereka kurang mendapat respon dari Pemerintah. Padahal pada November 2008 lalu tanggul Situ Gintung pernah jebol walau belum parah. Anehnya, Pemerintah belum berbuat secukupnya untuk mengatasinya. Bahkan early warning system (sistem peringatan dini) pun belum dibuat.

2. Situ Gintung bukanlah bendungan seperti lazimnya sebuah bendungan (DAM). Situ Gintung hanyalah sebuah tubuh air yang terperangkap dalam sebuah cekungan pada punggungan besar diantara lembah-lembah lainnya. Ia pun terletak pada batuan endapan vulkanik. Dimana disebelah kiri kanannya berupa endapan sungai yang berupa tanah urugan, atau tanah biasa longsoran kiri kanannya secara alami. Karena berupa tanah urugan alami ia suatu saat akan membahayakan.

3. Situ Gintung pun bukanlah sebuah danau pengumpul air dari sungai. Ia tidak mengalirkan airnya melalui drainase melalui hal seperti umumnya bendungan. Seandainya air membludak, Situ Gintung ibarat ember yang penuh oleh air. Semakin dangkal maka semakin mudah air tumpah keluar

4. Peristiwa Situ Gintung menjadi komoditi politik. Ini terlihat dari rekaman seorang kawan yang meliput di sekitar area bencana. Seorang caleg parpol berkata demikian: “Bagaimana, apa sudah ada wartawan di lokasi? Kalau sudah, sembako kita bagikan saja,” ujar seorang caleg parpol berbicara di telepon seluler. Setelah menutup telepon, caleg itu kemudian bergegas ke lokasi bencana banjir Situ Gintung dengan dibantu beberapa kader partainya.

1 komentar:

Amisha mengatakan...

Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut