Pasar Baroeweg

Jumat, 03 April 2009


Sudah beberapa minggu saya selalu keluar masuk Pasar Baru Bandung. Meskipun sebenarnya saya paling enggan kalau sudah diajak kesana. Soalnya sejak dulu -hingga sekarang- saya memang tidak pernah suka dengan suasana yang crowded. Semakin lama saya berada disana pandangan mata saya seperti terjadi sebuah gempa. Kepala rasanya pusing seperti mau pingsan. Namun karena kebutuhan agar dapur tetap ngebul saya paksakan diri saya untuk masuk dalam “neraka” dunia ini. Fuihh….

Saya kira kalau bulan-bulan seperti sekarang Pasar Baru tidaklah sepenuh ketika bulan Ramadhan tiba. Ternyata dugaan saya meleset. Pasar yang didirikan Belanda sejak tahun 1906 ini tetap penuh oleh pengunjung. Walaupun memang tidak sedahsyat ketika bulan shaum namun kepadatannya sukses membuat kepala saya pusing.

Hanya ada sesuatu yang menggelitik otak saya. Ternyata Pasar Baru sekarang memiliki aroma yang berbeda. Biasanya yang saya tahu kalau masuk sebuah pasar khususnya di Bandung kita akan familiar dengan kosakata berdialek Sunda namun saat ini Nampak berbeda. Ada aroma khas Melayu disana. Sekaligus pula perwujudan orang-orang Melayu yang berseliweran dari mulai Lantai Dasar hingga lantai 7. Tak ayal istilah Mak Cik, Pak Cik begitu sering dilafazkan oleh beberapa pedagang disana. Sebagian pedagang lain begitu fasih dengan logat Malaysia-nya. Bahkan beberapa kios dengan lugas menempelkan kertas besar bertulisan “Menerima Ringgit Malaysia”.

Ow, ternyata Pasar Baru sudah menjelma sebagai sebuah pasar internasional. Menurut data yang saya dapat, tak kurang dari 8.000 orang Malaysia setiap bulannya datang mengunjungi Pasar Baru. Ini baru orang Malaysia saja. Belum orang Singapura & Thailand yang disinyalir kerap berkunjung ke Pasar Baru. Bahkan di akhir tahun, bulan Desember, pengunjung pasar ini dapat meningkat sebanyak 2 kali lipat. Dengan asumsi setiap kali berbelanja 1 keluarga menghabiskan 10 juta rupiah/hari. Maka tak kurang dari 80.000.000.000 rupiah bergulir hanya dari pengunjung yang notabene orang Malaysia. Ditambah wisatawan asing lainnya anggap lah menjadi 100.000.000.000 rupiah.

Sayangnya potensi pasar yang menguatkan perekonomian kerakyatan ini dipandang sebelah mata oleh pemerintah. Jangankan diberikan subsidi, diberikan promosi agar banyak pengunjung yang dapatang pun tidak pernah dilakukan pemerintah. Para pengunjung yang berasal dari Malaysia umumnya mengetahui wisata belanja ini dari mulut ke mulut atau dari beberapa situs internet yang menawarkan paket wisata PP Bandung Kuala Lumpur sebesar 5 juta dalam 3 hari.

Yang ada pemerintah malah memberikan subsidi kepada para konglomerat sebesar 72 trilyun. Sebelumnya melalui BLBI sejumlah sekitar 400 trilyun. Belum lagi potongan hutang dan bunganya, subsidi kurs murah untuk melunasi hutang dalam mata uang asing, dan penyuntikan dana segar murah berupa rekapitalisasi bank. Semua begitu mudah diberikan pada para konglomerat itu. Sedangkan bagi kebanyakan rakyat yang berusaha di sektor perdagangan menengah ke bawah ini tidak dapat menikmati bantuan itu. Padahal semua sudah mahfum bagaimana sepak terjang para konglomerat serta dampaknya terhadap negeri ini. Yang ada mereka malah mangkir dari kewajiban serta semakin memperosokan negeri ini dalam kungkungan hutang yang tak terhenti.

Ironisnya, masih saja ada sebagian pakar ekonomi serta pejabat-pejabat negeri ini yang mempercayai bahwa melindungi kepentingan konglomerat adalah sama dengan melindungi aset negara karena berkaitan dengan lapangan kerja dan pemulihan ekonomi. Bagi mereka pemberian subsidi bagi golongan menengah ke bawah dengan menggunakan APBN merupakan hal yang tidak sehat atau lebih kasarnya penyakit yang kalau dibiarkan menggerogoti kesehatan perekonomian Indonesia. Demikian yang selalu mereka klaim sesuai dengan teori ekonomi konvensional liberal yang selama ini mereka pelajari di Berkeley.

Akan tetapi ketika dilakukan kritik dengan mengatakan mereka sekelompok antek liberal dengan serta merta hal itu mereka tentang. Padahal kenyataanya, hanya di Indonesia-lah negeri yang benar-benar menerapkan ekonomi liberal sekaligus membuka seluruh pasarnya bagi pihak asing. Sehingga akhirnya kapitali terkonsentrasi di tangan segelintir orang dan kesenjangan yang terus melebar antara pengusaha besar (konglomerat) dengan pengusaha kecil (pedagang-pedagang seperti di Pasar Baru).

Kalau akumulasi kapital yang sedemikian besar itu diperoleh dengan cara kompetisi yang fair antara sesama pelaku bisnis tentu tidak menjadi persoalan. Artinya, konglomerat yang mampu menjadi besar dengan berbekal daya saing yang tangguh dan didukung dengan cara kerja yang efisien tentu menjadi aset yang sangat berharga bagi perekonomian nasional. Masalahnya, konglomerat yang seperti ini hanya ada dalam mimpi oleh karena dalam perjalanannya menjadi sebuah usaha raksasa, konglomerat telah mendapat dukungan dari pemerintah baik berupa produk undang-undang maupun proteksi terselubung seperti tata niaga, akses kredit yang murah maupun subsidi.

Menurut saya keberpihakan penguasa negeri ini terhadap konglomerat harus segera dihentikan. Mengingat dampak dan sepak terjang mereka selama ini. Sudah seharusnya keberpihakan tersebut dialihkan pada kelompok pengusaha menengah dan kecil seperti halnya para pedagang di Pasar Baru. Soalnya pengaruhnya justru lebih positif daripada mendewakan pengaruh dari para konglomerat. Ketangguhan para pedagang Pasar Baru telah teruji meskipun krisis datang menghujam berbagai negeri di dataran bumi. Mereka tetap eksis dan mampu untuk bertahan hidup bahakan menyumbang devisa yang lumayan pada pemerintahnya. Lain halnya dengan banyaknya usaha yang dioperasikan konglomerat yang kebanyakan kolaps ketika krisis mendera.

Selain itu, keberadaan pedagang menengah kecil ini sejatinya menciptakan budaya entrepenuer seperti yang pernah Rasulullah saw ajarkan. Sehingga setiap orang adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Berbeda kalau usaha konglomerat yang hanya dikuasai oleh sebagian kecil orang saja. Justru budaya menjadi pekerja atau buruhlah yang lebih menyeruak. Sialnya lagi mereka menjadi buruh atas hegemoni kapitalisme yang sudah fitrahnya tidak akan pernah berpihak kepada para pekerja.

Kembali lagi ke Pasar Baru. Sebagai suatu perbandingan kecil saja saya coba menghitung berapa besar dana yang bergulir disana. Kalaulah tadi didapat angka sebesar 100.000.000.000 rupiah (wisatawan asing) maka saya coba menghitung berdasarkan jumlah total dari pengunjung yang berbelanja disana. Saya asumsikan orang lokal yang berbelanja di Pasar Baru sekitar 5.400/hari (berdasarkan pengamatan dari jumlah orang Malaysia yang ada sekitar 10% dari semua pengunjung lokal). Lalu diasumsikan pula rata-rata uang yang dikeluarkan oleh tiap orang sebesar 500.000 (kemarin saya menghabiskan sekitar 1 juta untuk dijual kembali) maka uang yang bergulir selama sebulan mencapai 81.000.000.000 rupiah. Total dalam 1 bulan menjadi 189.000.000.000 rupiah. Dalam 1 tahun menjadi 2.268.000.000.000 dan dalam satu masa APBN menjadi 11.340.000.000.000 rupiah.

Angka 11 trilyun ini riil berputar ditengah masyarakat. Bandingkan dengan subsidi yang diberikan pemerintah pada para konglomerat sebesar 72 trilyun yang hanya terfokus pada segelintir orang dan ketika krisis ikut-ikutan terjerumus dalam kubangan krisis. Belum lagi para konglomerat dan aparat yang nakal. Tentu angka 11 trilyun jauh lebih menyehatkan negeri ini ketimbang 72 trilyun yang tak jelas juntrungannya.

Angka sebesar 11 trilyun ini berputar hanya di Pasar Baru Bandung saja. Belum kalau digabungkan dengan di Mangga Besar Jakarta. Belum lagi dengan pusat-pusat grosir seluruh Indonesia. Tentunya angka ini akan jauh lebih besar lagi. Dan perlu diingat bahwa pencapaian angka tersebut (khususnya Pasar Baru Bandung) tanpa bantuan subsidi pemerintah. Bagaimana kalau seandainya pemerintah membantu subsidi mereka? Taruhlah subsidi promosi saja kalau memang pemerintah ini masih enggan melepaskan status Mafia Berkeley. Bayangkan apa jadinya rakyat negeri ini? Saya kira kalau semua itu dilakukan –dari satu sisi ini saja- sudah barang tentu rakyat negeri ini akan mengalami peningkatan kesejahteraan sekaligus menjadikan diri sebagai bangsa yang berjiwa entrepeuneur bukan peminta-minta lagi. Apalagi kalau sistem perekonomiannya beralih dalam sistem perekonomian Islam secara total. Kalau itu sampai terjadi, siap-siap saja suatu saat Pasar Baroeweg berhasil menginvasi Wall Street di New York!!!

0 komentar: