Hijrah ke London (Goblog 20)

Selasa, 07 April 2009



Di sebuah milis yang saya ikuti, tersebutlah beberapa anggota milis yang begitu bersimpati akan kehadiran SBY di London dalam pertemuan Group of Twenty (G20) tahun ini. Malahan ada orang yang sampai begitu menyanjungnya seakan dialah orang No. 1 dalam tim sukses kampanye SBY di Pemilu 2009 nanti. Kebanggaannya itu tak lebih karena SBY ditelpon secara privat oleh Barrack Obama & Gordon Brown untuk hadir ke London. Selain itu, beberapa orang yang lain, menyatakan kebanggaannya karena para menteri keuangan serta gubernur bank sentral negara-negara G20 mendukung dengan penuh usulan yang Indonesia sampaikan. Diluar semua itu, ada juga yang merasa bangga karena SBY masih sempat menghadiri forum yang telah dilaksanakan sejak tahun 1999 ini. Padahal ia tengah berkampanye ria. Namun yang paling lucu adalah alasan bangga kepada SBY karena SBY berani menyaingi Angela Merkel (Kanselir Jerman), Sarkozy (Presiden Perancis), dan beberapa pemimpin negara lain dalam penggunaan bahasa asal negaranya masing-masing.

Saya sendiri heran kenapa saya justru geli dengan hal seperti itu. Ataukah selera humor saya memang sedikit berbeda dengan orang lain? Perasaan, selama ini selera humor saya masih seperti kebanyakan orang dech. Menurut saya, Komeng itu lucu banget. Apalagi kalau sudah dipadupadankan dengan Sule, Adul, dan Olga. Dijamin bisa sakit perut ini seharian melihat tingkah ngocol sarkas mereka. Ya kalau pun saya beberapa kali terlihat tersenyum melihat para penderita schizophrenia itu kan lain ceritanya. Semua orang juga akan tersenyum kalau melihat tingkah sebagian orang tanpa beban tadi a.k.a schizophrenia yang selalu always nyengir everyday. Dan sialnya, bagi saya kepergian hijrah para pemimpin Negara G20 -yang tanpa beban & rasa bersalah- ke London merupakan manifesto dari kelucuan tingkat tinggi yang tiada tara. Hehehe…

By the way, mendengar kata “hijrah ke London” saya seakan diingatkan akan sesuatu yang begitu akrab di telinga saya Rasanya seperti baru kemarin saya mendengarnya namun sumpah saya lupa hal apa itu. Apa ya???

Oh yeah! Saya ingat sekarang. The Changcuters!!!

Ya! Hijrah ke London adalah salah satu single band bernama The Changcuters. Band asal Bandung yang sedang happening ini memang terkenal dengan liriknya yang sedikit bodor (baca: funny). Seperti halnya lirik Hijrah ke London ini. Isinya bercerita tentang sepasang kekasih yang melakukan hubungan jarak jauh. Keduanya terpisah oleh kondisi geografis (Si Cewek di London sedangkan si Cowok di Indonesia). Suatu saat ketika rasa rindu memuncak, si Cowo menginginkan pergi ke London untuk bertemu dengan pujaan hatinya itu. Sekedar mendekapnya dan menghabiskan hari bersama yayang-nya. Khas steoreotype kisah kasih remaja “sakit” masa kini.

Akan tetapi saya tidak akan mengungkapkan itu semua. Sedikit pun saya tidak akan mengurai The Changcuters. Tidak pula tentang kisah kasih percintaan yang haram itu (bagi saya pacaran sebelum nikah itu haram hukumnya). Saya hanya mengungkapkan bahwa apa yang dilakukan si Cowok dengan para pemimpin G20 adalah sesuatu yang ternyata tidak jauh berbeda pada esensinya. Kesamaan mereka adalah berharap bahwa dengan berada di London-lah rasa “sakit” itu akan sirna mereka dan diganti dengan surga dunia. Benar gitu?

Sebelum mengatakan benar atau salah, sebaiknya dipahami dulu makna dari kata hijrah itu sendiri. Menurut saya yang orowodol kampring bangetsekalipisan ini, hijrah bermakna perpindahan dari sesuatu keadaan yang buruk ke dalam keadaan yang lebih baik (From Dark To Light kalau R.A Kartini bilang). Secara kasar hijrah bisa disepertikan bak seorang yang dahulunya seorang pemabuk akhirnya menghentikan kebiasaanya itu. Atau bisa juga seperti seorang yang selalu gagal tes karena tidak pernah belajar kemudian rajin belajar karena berkeinginan lulus dalam tes yang diikutinya. Lebih dahsyat & hebat lagi hijrah itu seperti halnya yang dilakukan oleh Rasulullah saw dan para sahabat ketika pindah dari Mekkah ke Madinah untuk dapat merubah seluruh kehidupan mereka menjadi kehidupan yang lebih baik. Lebih menentramkan jiwa-jiwa mereka serta lebih manis & indah rasanya.

Pun ternyata harapan “hijrah” tersebut tidaklah jauh berbeda dengan apa yang diimpikan delegasi-delegasi yang hadir di The London Summit 1-2 April 2009 kemarin (USA, Argentina, Australia, Brazil, Kanada, China, Prancis, Jerman, India, Inggris, Italia, Jepang, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Korea Selatan, Turki, Uni Eropa, dan termasuk SBY dari Indonesia). Terlebih ketika carut marut perekonomian semakin memperosokan negeri-negeri mereka dalam lubang yang penuh kotoran. Bayangkan saja, efek krisis keuangan dunia saat ini menyebabkan tingkat pengangguran semakin meningkat drastis. Di USA pengangguran pada Januari 2009 telah mencapai 8,1%. Sedangkan angka pengangguran rata-rata di kawasan Uni Eropa mencapai 8,2%. Spanyol dan Irlandia bahkan mencatat angka pengangguran lebih tinggi lagi sebesar masing-masing 14,8% dan 10,4%. Belum lagi laju perekonomian dunia yang diperkirakan mengalami kontraksi untuk pertama kalinya dalam 60 tahun terakhir, sebesar minus 0,5% hingga minus 1% pada 2009.

Kalaulah fakta tersebut terjadi pada diri saya & negeri yang pimpin (ngayal dikit nih) tentunya saya pun akan segera “hijrah” agar saya tidak semakin melarat. Siapa sih yang ingin hidupnya melarat dan tidak jelas masa depan? Maka tak heran juga kemudian negara-negara yang tergabung dalam G20 itu pun berkeinginan untuk “hijrah”. Beberapa detail keinginan “hijrahnya” itu adalah; penegasan untuk menghindari proteksionisme, komitmen kebijakan stimulus fiskal, dan membentuk sebuah reformasi sistem keuangan global baru bahkan kalau perlu lembaga-lembaga keuangan warisan Bretton Woods. Bonusnya adalah menggantikan dominasi mata uang dolar Amerika Serikat (AS) sebagai mata uang perdagangan dunia yang faktanya hanya menguntungkan negara adidaya tersebut saja.

Namun menurut saya “hijrah” yang mereka lakukan tak lebih dari sekedar perubahan kosmetik saja. Dengan kata lain itu hanya perubahan dari sisi tampilan luar saja. Yang tadinya memakai foundation sekarang pakai shimmer powder. Yang tadinya menggunakan eye shadow sekarang beralih ke blush on. Yang tadinya menggariskan eye liner di bawah mata sekarang cukup hanya memodifikasikan maskara. Wedew… kok eike kayak wadam Be A Man aja nih. Pakai cerita tetek bengek merias segala. Ih rumpie dech eike……

Balik lagi ke perubahan kosmetik. Apa yang dilakukan negara-negara G20 memang tidaklah berbeda dengan mengganti gincu di muka lalu ditaburi bedak Sari Pohaci. Untuk masalah proteksionisme saja, agenda ini sebenarnya hanya perpanjangan tangan WTO untuk mengeruk kekayaan alam negara berkembang. Liberalisasi investasi, perdagangan dan keuangan (pasar bebas) yang dititikberatkan dalam masalah proteksionisme ini sejatinya malah akan menimbulkan; 1) Ketergantungan yang sangat besar terhadap pasar internasional, yang pada saat krisis ini menyebabkan pertanian di berbagai negara kolaps; 2) Eksploitasi secara besar-besaran sumber daya perikanan negara-negara berkembang 3) Subsidi domestik dan ekspor yang tidak adil dan merusak pasar domestik (terutama negara miskin dan berkembang); 4) Keuntungan sejumlah perusahaan transnasional besar pertanian, pemerintah negara sponsornya, serta spekulator di pasar internasional pangan dan pertanian.

Demikian pula dengan “celoteh” terciptanya kebijakan stimulus bersama. Agenda yang biasanya berbentuk “pemicu” seperti pemberian insentif bagi penanaman modal, pembebasan pajak dan keringanan tarif bea masuk justru pada kenyataannya malah merugikan perekonomian negara-negara berkembang. Konsep ini tidak berkontribusi langsung terhadap pekerja dan masyarakat miskin. Stimulus hanya berkontribusi terhadap para pelaku usaha, yang itu pun tidak akan bisa langsung diharapkan apalagi dalam krisis global seperti seakarang ini. Kebijakan “stimulus” hanya lagu lama yang diciptakan negara-negara donor kaya (baca: para kapitalis) yang ingin untung besar ats usahanya dengan cara mempraktekan trik-trik ilmu ekonomi orowodol; berusaha sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya (tentunya tanpa peduli akan nasib orang lain).

Sedangkan usaha untuk mereformasi IMF dan Bank Dunia sebenarnya bukanlah sebuah jalan keluar. Sebab dua lembaga tersebut sejak awal beroperasi memang disesuaikan dengan selera negara-negara kaya yang menjadi pemilik saham mayoritasnya. Institusi finansial ini merupakan pengejawantahan ideologi kapitalisme-neoliberal yang perannya mereduksi makna pembangunan hanya pada pertumbuhan ekonomi semata. Dengan agenda ini justru semakin meyakinkan bahwa Bank Dunia dan IMF akan kembali berperan sebagai drakula yang menghisap kekayaan negara-negara berkembang. Sudah lebih dari 60 tahun keberadaan lembaga-lembaga tersebut berdiri, namun jumlah penduduk miskin terus bertambah dan kesenjangan antara negara kaya dengan negara miskin semakin dalam, serta kerusakan lingkungan semakin meningkat. Bayangkan saja, sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008, pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri Indonesia menunjukkan tren yang meningkat. Sejak awal masa pemerintahan SBY di tahun 2005 sampai dengan September 2008 total pembayaran bunga dan cicilan pokok pinjaman luar negeri sebesar Rp 277 triliun. Sedangkan total penarikan pinjaman luar negeri baru dari tahun 2005 sampai dengan September 2008 sebesar Rp 101,9 triliun.

Walhasil, menurut saya The London Summit ini tidak lebih dari sebuah kesia-sian belaka. Ini hanya sebagai sebuah bentuk lain dari lukisan yang memperlihatkan betapa patuhnya negara-negara berkemabng kepada keinginan para kapitalis (negara-negara seperti Amerika Serikat & the gank) ketimbang pada rakyatnya. Usaha negara-negara G20 untuk “hijrah” sejatinya tidak akan pernah tercapai sampai kapan pun apabila paradigma penyelesaian krisisnya masih ortodok seperti itu. Meskipun berdalih bahwa pertemuan kemarin adalah usaha untuk menciptakan suatu tatanan sistem ekonomi baru namun apa yang dilakukan tidaklah seprogresif yang didengungkan.

Jujur sebenarnya saya ingin memberikan acungan jempol bagi keinginan negara-negara G20 untuk berubah menuju yang lebih baik. Akan tetapi selama usaha perubahan tersebut hanya sebatas perubahan artifisial saja, maka layakkah saya mengacungkan jempol saya?

Inilah yang menjadi tanda tanya besar. Seserius apakah mereka untuk melakukan “hijrah”? Apakah sama seperti halnya ketika seorang suami yang sedang dilanda rindu yang teramat sangat kepada istri & anaknya? Soalnya yang saya bayangkan ketika seorang suami begitu rindu pada anak & istrinya, tentu dengan segala upaya dia akan lakukan agar dapat bertemu dengan keluarganya itu. Sekalipun banyak halangan yang merintanginya. Sikap hanya mengatakan kangen atau rindu –padahal mampu & hal tersebut baik baginya- namun tidak berbuat untuk bertemu dengan anak istrinya tentu perlu diberikan tanda tanya besar. Jangan-jangan itu sekedar lip service karena dia telah mempunyai selingkuhan atau memang ingin pergi dari tanggung jawab. Inilah saatnya Tim Termehek-Mehek Trans TV datang. Hahaha...

So, sekali lagi keseriusan negara-negara G20 memang patut dipertanyakan. Bagi saya ketika mereka masih belum melakukan hal-hal ini; 1) Mengkoreksi total konsep mekanisme pasar, 2) Menggantikan pasar dengan ekonomi perencanaan yang menuntut peran langsung negara dalam melibatkan rakyatnya, 3) Produksi yang tidak lagi terkonsentrasi pada segelintir individu dan korporasi, 4) Pengelolaan sumber daya alam yang konsern terhadap aspek sosial-ekologi serta tidak berorientasi pada kepentingan Negara kapitalisme, 5) Penghentian utang baru, 7) Mengganti mata uang berlandaskan standar emas atau perak logam, 8) Menutup semua kasino finansial [bursa saham, investasi perbankan atau pintu-pintu lain yang menjual asset-asset beracun financial], 9) Ekonomi yang berdasarkan manufaktur yang real, 10) Melakukan investasi pada proyek-proyek nyata dan jangka panjang di dalam negeri bukan pada aset keuangan yang menganggur di luar negeri, 11) Memerangi kemiskinan sebagai prioritas, 12) Penerapan sistem ekonomi Islam secara total, maka jangan sekalipun berharap “HIJRAH” yang bermakna From Dark To Light tersebut akan terjadi. Salah-salah G-20 yang merupakan kependekan dari Group 20 bakal berubah kepanjangannya menjadi Goblog (pangkat) 20 alias goblog yang tidak tanggung-tanggung goblognya. Dengan kata lain saking begitu goblognya yang tidak goblog menjadi goblog, yang goblog menjadi makin goblog dan negara-negara goblog semakin tergoblog-goblog dalam kegoblogannya. GOBLOG!!!

0 komentar: