Interview Dengan Vox The Roots Of Madinah

Jumat, 17 April 2009



“networks at works, keeping people calm. You Know They Murder X and Tried to blame it on Islam, He turned the power to the have nots and the came the shot..”

Kalimat di atas merupakan penggalan bait lagu berjudul Wake Up milik Rage Againts The Machine (RATM). Lagu – lagu yang dibawakan grup musik asal Los Angeles (Amerika Serikat) ini mengusung ramuan musik punk, hiphop dan thrash. Penggemar ketiga aliran musik ini, terutama Punk dan Thrash, mayoritas berasal dari komunitas Underground – komunitas yang selalu di identikkan dengan budaya yang negatif serta menyimpang dari norma – norma yang telah di tanam dari masyarakat.

Terlepas dari stigma negatif ini. Justru bagi seorang Richard Stephen Gosal, dari komunitas Underground, karena musik inilah dia mulai tertarik untuk mengenal agama Islam lebih jauh. “Saya suka sekali dengan (lagu – lagu) Rage Againts The Machine, bahkan sampai sekarang saya menaruh respek meskipun mereka bukan orang Islam”.Ungkap mualaf yang kini bernama Muhammad Thufail Al Ghifari.

Dari salah satu lagu yang dibawakan RATM, pria yang sejak remaja menyukai musik Underground ini mengenal Malcolm X – tokoh mualaf kulit hitam Amerika Serikat yang memperjuangkan hak asasi kaum kulit hitam di negeri Paman Sam tersebut. Tidak hanya dalam lagu – lagu band RATM. Nama Malcolm X juga Thufail temukan dalam lagu grup hiphop asal New York, Public Enemy.

Rasa penasaran terhadap tokoh pejuang hak asasi manusia asal Amerika ini mendorong Thufail mencari berbagai Informasi mengenai kehidupan sang tokoh. “Saya belajar banyak dari Malcolm X ini kemudian mengenal Muhammad Ali dan Nabi Muhammad SAW” ujarnya.

Pada saat masih memeluk agama Kristen Protestan, kedua orang tuanya yang berprofesi sebagai pendeta kerap mendoktrinnya bahwa Nabi Muhammad Saw adalah sosok yang suka berperang, main perempuan, memiliki jenggot, berasal dari suku kedar (anti Christ), menyesatkan umat manusia dengan Al Quran dan pengikutnya akan binasa di neraka.

Dari salah satu literatur mengenai Malcolm X yang dibacanya, menurut Thufail ada salah satu kalimat yang diucapkan sang tokoh kepada Muhammad Ali – Petinju Legendaris Amerika Serikat – yang membuat terkesan. Ketika Muhammad Ali mengecam kaum kulit putih Yahudi yang menindas orang kulit Hitam. Malcolm justru berkata “Di Makkah, saya lihat orang bermata coklat, biru, hitam serta kulit putih, hitam dan coklat semuanya duduk bersama”

Ungkapan kekaguman Malcolm terhadap Umat Islam tersebut, membuat ia semakin tertarik dengan Islam. Meski dididik dengan ajaran Kristen Protestan yang cukup ketat, agama Islam bukanlah suatu hal yang baru buat Thufail. “Sejak di SMP, saya banyak bergaul dengan teman – teman yang beragama Islam. Bahkan, diantara mereka banyak yang sering menggoda saya masuk Islam,” paparnya.

Dari belajar mengenai Malcolm, hingga suatu ketika Thufail merasa jenuh dengan kehidupan yang dijalaninya sebagai seorang penganut paham atheis. Kejenuhan yang sama pernah ia alami ketika masih memeluk Kristen protestan. Saat itu, ia masih duduk di bangku kelas 3 SMP. Ketika di bangku SMP itulah ia mulai tertarik dengan buku – buku mengenai sosialisme dan komunisme.

Ajaran sosialisme dan komunisme ini di kemudian hari banyak mempengaruhi pola piker Thufail. Hingga akhirnya, saat duduk dibangku kelas 2 SMA (sekitar tahun 1999 – 2000-red), ia memutuskan menjadi atheis. “saya tidak lagi mengimani Yesus Kristus dan menganggap agama hanya membuat orang saling membunuh dan berperang”

Tiga Kali Syahadat

Kejenuhan terhadap paham Atheis yang di anut Thufail, bermula dari fenomena sweeping terhadap kelompok beraliran kiri di tanah air yang terjadi pada kurun waktu tahun 2000 – 2001 oleh kelompok Pancasilais. Ketika terjadi sweeping itulah, banyak tokoh PRD (partai rakyat demokratik) – tempat Thufail pernah bergabung menjadi salah seorang anggotanya – tidak bertanggung jawab terhadap penahanan simpatisan simpatisan mereka yang berada di kelompok underground di daerah – daerah.

“Para tokoh PRD ini menghilang, ada yang karena di culik dan ada yang bersembunyi. Di sini awal mula saya kecewa dengan yang dinamakan Revolusi Kiri” tukas vokalis band rock indie The Roots Of Madinah ini.

Rasa jenuhnya ini kemudian ia lampiaskan kepada seorang sahabatnya. Sesama anak band di komunitas Underground. Walaupun memiliki pergaulan di komunitas underground, menurut Thufail, sahabatnya ini tidak pernah meninggalkan kewajibannya sebagai seorang muslim untuk menunaikan ibadah shalat kendati saat itu sedang manggung.

Kepada sahabatnya ini, Thufail mengutarakan niatnya untuk masuk Islam. Bukan dukungan yang ia peroleh, justru larangan dari sang sahabat. Pelarangan tersebut, ungkapnya, karena sahabatnya itu tidak menginginkan keputusan dirinya untuk masuk Islam lebih karena factor emosional sesaat. Sahabatnya ini menginginkan jangan sampai begitu ia masuk Islam terus di kemudian hari memutuskan untuk murtad.

“Menurutnya, saya tidak akan kehilangan dia sebagai teman, tapi teman – teman yang lain bakal ngak suka sama saya,”
Ujarnya mengenang perkataan sahabatnya kala itu.

Thufail tidak lantas menyerah. Kemudian, ia menemui teman – teman lainnya di komunitas underground yang beragama Islam. Dengan bertempat di pinggir jalan di yang berada di kompleks perumahan Taman Kartini Bekasi, Thufail mengucapkan Syahadat di hadapan teman – temannya ini.”Peristiwa itu terjadi tahun 2002 dan yang menjadi saksi saya ketika itu teman teman yang memakai baju Sepultura, kurt cobain dan Metallica”

Keputusannya untuk masuk Islam membuat kedua orang tuanya marah dan mengusirnya dari rumah. Keputusan ini, ungkap Thufail juga berdampak terhadap sumber kehidupan orang tuanya. Gereja yang menjadi tempat mata pencaharian ibunya terancam ditutup begitu mengetahui ia masuk Islam. ”sampai – sampai mama itu menyembunyikan keislamannya dari jemaat”.

Tinggal di jalanan, setelah diusir dari rumah. Ia jalani selama tiga bulan. Beruntung Thufail bertemu dengan seorang teman lama yang menawarinya untuk menjaga rumahnya yang sedang direnovasi. Selama menjaga rumah temannya ini, ia tidak hanya memperoleh tempat tinggal, ia juga mendapatkan jatah makan setiap hari.

Masalah muncul ketika renovasi rumah selesai. Thufail saat itu tidak tahu akan tinggal di mana. Namun, oleh ayah temannya ini dia ditawari pekerjaan disebuah sekolah tinggi. Tempat ayah temannya menjabat sebagai rector. Dengan hanya berbekal selembar CV (curriculum vitae). Ia lalu melamar dengan diterima sebagai petugas cleaning service dengan gaji sebesar Rp 600 ribu perbulan.

Ketika bekerja sebagai petugas cleaning service, ia berkenalan dengan ustad Nur Hasan yang merupakan Imam Masjid Baiturrahim Perumahan Taman Kartini, Bekasi. Oleh Sang Ustadz, ia di Tanya bersyahadat dimana.”ketika ditanya saya jawab di pinggir jalan, beliau bilang Syahadat saya tidak sah. Akhirnya saya syahadat lagi di masjid Baiturrahim” Ujarnya.

Sejak bersyahadat untuk kedua kalinya ini. Menurut Thufail, mulai timbul keinginan untuk belajar membaca Al Qur’an dan pengetahuan mengenai ajaran Islam lainnya. Kemudian, ia ketemu dengan seorang ustadz yang pada saat itu juga merupakan pengurus sebuah partai politik berideologi Islam. Pelajaran pertama yang didapatkannya adalah mengenai dua kalimat Syahadat. “ketika itu semua anggota halaqoh disuruh syahadat lagi sama beliau. Jadi, saya syahadat tiga kali”

Kendati sudah membaca syahadat hingga tiga kali, Thufail tidak langsung mempercayai adanya Allah Swt sebaga Sang Maha Pencipta. Dia mulai menyakini keberadaan Allah Swt. Justru ketika ia diizinkan untuk melihat sesosok makhluk gaib untuk pertama kalinya.

“Setelah bertemu dengan sesosok gaib ini, saya mulai berpikir secara logika bahwa segala sesuatu dibumi ini pasti punya dua sudut pandang, ada benar ada salah, ada hitam ada putih. Begitu juga ada benda dan yang menciptakan benda tersebut,”

Setelah memeluk Islam, ia mendapatkan ketenangan batin yang tidak pernah dipeloreh sebelumnya. Di samping itu, ia merasa lebih optimis dalam menjalani kehidupan dan lebih bisa mensyukuri kehidupannya. “ ketika saya menaruh Hukum Allah Swt di atas segala apapun, saya tidak takut mati, tidak takut miskin, tidak takut lapar.”

Keinginannya saat ini, menurut Thufail, adalah bagaimana ajaran Islam tidak hanya bisa dinikmati di masjid. Tapi juga di lingkungan komunitas Underground. Diakuinya, hingga kini masih belum ada Ustad yang perduli dengan komunitas Underground ini. “Ada banyak teman saya yang tatoan, mabuk, tapi kalau Islam di injak – injak dia sudah nggak mau dialog, dia pasti akan ambil parang dan di tebas orang orang itu”

Karena itulah melalui musik yang disuguhkannya bersama band Rock indie The Roots Of Madinah, dia mau merangkul para temannya yang muslim yang ada di komunitas underground untuk berhijrah. Aliran musik Rock yang dikemas dalam lagu lagu bersyair religi Islami, ia harapkan juga bisa menjadi senjata untuk menghantam balik musik musik Yahudi.

“saya bikin musik ini supaya ngebalikin oprang Yahudi lagi. Merekakan ngancurin saya waktu dulu, membuat saya keluar dari Kristen dan menjadi atheis dengan musik,”
katanya menandaskan.

Oleh : Nidia Zuraya – dari wawancara Koran Republika dengan Thufail Al GhifariEdisi18 Rabiul Awal 1430 H/ Nomor 068 / Tahun ke-16 / www.republika.co.id

0 komentar: