Kaget?
Kenapa harus kaget?
Itu yang pertama saya tanyakan ketika beberapa orang narasumber menjelaskan ikhwal kejadian menarik di sebuah TV swasta. Peristiwa menarik itu adalah liputan tentang aksi pukul memukul, menendang, dan berkelahi antara aparat TNI & Polri.
Sambil terus menyimak layar kaca yang sedikit berbintik akibat hujan besar tadi malam, saya tidak berhenti memelototkan mata pada acara itu. Sebenarnya saya juga sedikti surprise dengan gambar yang diperlihatkan dari kamera ponsel itu.
Makin terkencing-kencing lagi ketika ada adegan yang memperlihatkan seseorang yang menyatakan bahwa adegan tersebut merupakan sandiwara saja. Sandiwara? Please dech!!! Brutal dan beneran gitu masih dibilang sandiwara? Kok bisa ya hal kayak gitu dibilang lucu-lucuan & sandiwara sebagai perpisahan rekannya? Kalau mau lucu-lucuan slapstick ala Tukul & Basuki Srimulat, mukulnya tidak seperti itu. Kalau seperti yang diperlihatkan di adegan itu sih bisa-bisa mulut si Tukul makin jontor dech (Sori Om Tukul bukan maksud menghina).
Pukulan & tendangan seperti itu menurut saya sih tetap saja membuat badan sakit meski dibilang becanda. Logikanya kalaulah yang demikian dikatakan bersandiwara aka bercanda lantas yang benerannya seperti apa? Ckckck…. Jangan-jangan memang bener gosip kalau aparat di negeri ini banyak yang “diisi” oleh elmu-elmu kebal. Wong tendangan seperti itu saja dikatakan bercanda. Nah ntar kalau digilas tank baja dibilang sedang latihan lagi. Hahaha….
Bagi saya, terlepas dari kejadian diatas, sebenarnya tindakan kekerasan yang terjadi ini patut untuk dicermati. Apalagi kejadian ini bukanlah saat ini saja terjadi. Hanya kebetulan saja kemarin bersahil terliput media. Ibarat gunung es, kejadian-kejadian serupa sepertinya dari tahun ke tahun kerap terjadi namun tidak tahu mengapa sekarang ada yang mengungkapkan. Sehingga menyebabkan otak kotor saya mulai mengira-ngira tidak karuan dengan menuduh ada suatu konspirasi dibalik peliputan ini. Maklumlah namanya mau Pemilu. Biasanya kan harus ada yang heboh-heboh. Hehehe…
Sebenarnya kasus kekerasan-kekerasan seperti ini sudah beberapa kali diliput oleh media. Kejadian seperti pengeroyokan polisi & TNI terhadap warga di berbagai daerah yang menimbulkan korban jiwa, perang antara TNI & Brimob, penembakan oleh seorang Briptu terhadap atasannya, serta pelaporan seorang kadet terhadap kelakuan kadet seniornya di Semarang. Akan tetapi semuanya tidak dijadikan pelajaran sama sekali oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Walaupun memang dapat dihargai beberapa usaha institusi yang terkait akan usaha mereka mengurangi praktek kekerasan seperti ini terjadi. Polri berusaha merubah paradigma pendidikan mereka agar tidak cenderung militeristik. Begitu juga dengan Militer (saya ambil sampel Akmil) yang sudah sejak lama mengeluarkan kebijakan keras bagi para taruna yang melakukan kekerasan ini. Dan saya sempat melihat langsung aksi tanggap ini ketiak terjadi kekerasan dalam kesatrian. Para pelaku langsung dikeluarkan hari itu juga meskipun harus apel di tengah malam. Sayangnya yang seperti ini masih sedikit dan terkesan ditutup-tutupi. Karena fakta di lapangan, aksi-aksi kekerasan diantara mereka sendiri masih terjadi. Yang sangat riil dapat kita lihat dari tindakan aparat dalam beberapa acara kriminal seperti Sergap, Buser, Patroli,dll. Nampak banyak prosedur penanganan yang tidak sesuai aturan main.
Perilaku budaya seperti ini jelas bukan merupakan kredit yang baik buat aparat itu sendiri. Mereka adalah sosok yang menjadi cermin bagi masyarakat. Tindakan satu oknum saja dampaknya bakal mencoreng nama baik korps serta menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap mereka akan semakin menurun menilai negatif mereka. Wajar saja demikian. Sebab masyarakat tahunya kan mereka adalah orang-orang terpilih yang dididik dengan metode dan fasilitas unik untuk membentuk pribadi-pribadi calon pemimpin.
Ah tapi kan wajar mereka begitu. Namanya juga aparat. Mereka dididik untuk seperti itu. Lain kalau yang melakukan itu adalah masyrakat sipil. Lagian selama ini tidak pernah ada yang meninggal karena ketika pendidikan menjadi “aparat”. KATA SIAPA???
SALAH BESAR kalau menganggap penggunaan kekerasan fisik di kalangan aparat (tentara, polisi, dan sejenisnya) dengan dalih menjaga kedisiplinan & memperkuat mental. Pun demikian dengan berkata tidak adanya korban. Korban itu sudah banyak hanya hierarki disana yang meng-cover agar berita tersebut tidak sampai ke media. Tidak percaya? Ini saya berikan beberapa petikan tentang seorang perwira yang sekarang masih aktif menjadi aparat;
x men -> RE: TNI Military DISASTERS (10/23/2004 11:18:12 PM)
Kekerasan dalam kesatuan militer biasanya berkedok HIRARKI dan KEBANGGAAN!!!!! Itu adalah KONYOL!!!! Dalam pendidikan pasukan biasanya kita diajari ttg PDT dan Hukum militer. Tapi Pra pelaku dan pelanggar kedua hal yang "diagungkan" dalam militer tsb tak lain adalah orang2 yang mengajarkan hal itu sendiri. Terutama!!! Apa sih yang membedakan antara korps elit (pasukan khusus misalnya) dengan korps administrasi seperti saya?....NGGA ADA!!!!! saya pun pernah kena pukul senior saya!!!!!! tanpa alasan waktu pembayatan!!!!!! Repotnya di dalam tubuh TNI memang ada pelajaran HAM dan tetek bengek lainnya ttg kemanusiaan...tapi hal itu tidak diimbangi dengan prilaku perwira dan bintara juga tamtama senior yang notabene seperti "penguasa satuan". Dikit2 main pukul, tendang , tonjok....dicaci..dihina...dan terlebih para senior yang pengecut biasanya MENGEROYOK!!!!!!!!!! Mungkin kalau STPDN yang gempar waktu kasus penganiayaan orang2 pada heboh tapi talau Tentara mati dipukuli temannya sendiri orang2 bilang "Ah biasa aja"....... Tradisi kekerasan jangan diteruskan!!!!!! STOP!!!!!!
Disiplin bukanlah kekerasan...dan kekerasan bukanlah cara unutk menanamkan disiplin yang baik bagi prajurit. Ujung2nya ya balas dendam dan "melahirkan" sekelompok tentara yang bengis.
Bayangkan saja seorang aparat sendiri mengatakan hal yang seperti ini. Lantas apa alasan pembenar tindak kekerasan fisik yang dilakukan dengan dalih pembinaan mental dan kedisiplinan?
Menurut saya seandainya kekerasan dijadikan alat bagi pembinaan mental, kenapa tidak sekalian saja melakukan tindakan yang lebih dahsyat dari hanya sekedar pukul memukul? Misalnya dengan kekerasan seksual. Saya rasa trauma kekerasan seksual dampaknya lebih kuat dan lama terhadap mental dibandingkan dengan kekerasan fisik. Bentuknya bisa dengan disodomi lantas digilir oleh pelatih. Setelah itu kemudian dimasukan ke “X” batang meriam atau tank. Saya yakin efek trauma pembinaan tersebut bakal membekas dan lama. Membekas karena ada luka jahitan di “X”nya (batang tank baja boooo). Lama karena ya namanya juga disodomi terus digilir. Bagi mereka yang orientasi seksnya masih normal tentu hal ini akan terus teringat dalam benak mereka. hehehe …
Intinya, kalau benar yang dikatakan bahwa dengan jalan kekerasan akan menumbuhkan kekuatan mental, seharusnya melakukan kekerasan itu jangan tanggung-tanggung. LAkukan kekerasan yang paling keji & kejam sekalian. Agar terbentuk mental yang benar-benar kuat. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah yakin dengan penggunaan kekerasan dapat melahirkan kader-kader yang hebat atau melahirkan efek yang diharapkan? Saya rasa tidak demikian. Muhammad tidak menggunakan kekerasan dalam membentuk armada perangnya. Tapi peperangan 313 personilnya menjadikan mereka & perang tersebut dicatat dibanyak buku sebagai prajurit dan perang terhebat di dunia. Pun demikian dengan Muhammad Al Fatih penakluk Konstantinopel. Dia tidak mendidik prajuritnya dengan cara kekerasan tapi hanya dengan menjaga shalat malam mereka. Mereka yang bolong shalat malamnya tidaklah layak mengikuti perang tersebut. Begitu pula dengan prajurit-prajurit Taliban & mujahidin saat ini. Mereka tidak diajarkan kekerasan (videonya dapat dilihat dimana) tapi mereka menjadi tentara yang dapat mengusir negara adidaya. Belum lagi orang-orang seperti Ghandi, Sartre, Taqiyuddin An Nabhani, Tolstoi, Einstein, Muthhari. Apakah mereka menjadi mahsyur akibat dari tendangan???
Menurut saya, seorang akan menjadi sesuatu yang dahsyat apabila dia dibentuk dari kelembutan. Jika ia dibentuk ala disiplin Sparta maka ia akan menjadi tangguh dalam keberingasan. Lihat Caligula, Polpot atau Adolf Hitler!
Pendidikan ala Sparta yang penuh kekerasan mungkin ada sisi positifnya. Tapi bukan berarti sisi negatifnya harus dimaafkan. Seandainya sisi positif ini dijadikan alasan bagi para pelaku (oknum aparat & pendukungnya) untuk menjadi dalih pembenar maka pembantain oleh Serbia terhadap rakyat Bosnia, pembumihangusan Irak oleh Bush Jr., penganiyaan militer USA di penjara Abu Ghraib, pengepungan Gaza oleh Israel kemarin hingga pembunuh kaum homo oleh Ryan si Jagal Jombang pun harus dimaafkan dong? Bukankah tindakan mereka baik untuk mengurangi kepadatan dunia? Aksi Ryan malah harus didukung karena mengurangi kemaksiatan para pelaku penyimpangan orientasi seksual.
Sudah saatnya tradisi-tradisi “sok jantan” (plus senioritas) yang selama ini masih dipraktekkan mulai dihilangkan. Sebab berawal dari ini semualah kekerasan yang berbuntut penganiayaan itu banyak terjadi. Tidak perlu sungkan untuk mengakui. Dan tidak perlu takut untuk memulai berubah. Jangan belum apa-apa sudah mengatakan ini sebuah acara sandiwara perpisahan. Justru dengan begitu sudah tampak keenganan untuk berubah. Ingat, penindasan sekecil apapun ia merupakan awal bagi penindasan yang lebih besar.
So, akankah pendidikan dengan kekerasan itu akan terus terjadi di tubuh aparat? Saya hanya berharap aparat akan meninggalkan semua itu. Sebab hal-hal seperti itu sejatinya hanya berdampak buruk bukan malah sebaiknya.
Akhirnya, sambil kemudian mematikan TV, saya kembali teringat akan ucapan seorang Nietzsche, filosof Jerman, bahwa keberhasilan pendidikan itu terletak dari kekuatan untuk mentransfer pengetahuan dengan kasih sayang secara terus-menerus. Bukan dengan kekerasan!
Aparat Spartaholic
Rabu, 25 Februari 2009
Diposting oleh Begundal Militia di 13.38
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar