Direct Action

Senin, 23 Februari 2009


Di bawah ini adalah merupakan sedikit perbincangan mengenai direct action. Tulisan ini diawali dari sebuah pertanyaan yang sebenarnya merupakan statement. Seiring waktu tulisan berbentuk pertanyaan dan statement ini akan terus dikembangkan.

“Ah, mau Robin Hood atau Onto Hood, mencuri tetap saja mencuri. Jangan sok sokan make term-term sok-sokan gaya gitu deh.”

Sinis sekali? Itu bukan pertanyaan ya? Itu statement yang butuh tanggapan. Seharusnya kamu tidak memarahi korban (orang yang dicuri haknya). Kamu seharusnya menyalahkan orang yang merampas hak orang di awal. Lagipula, kami tidak mengetahui kesamaan antara Robin Hood dengan direct action yang kami maksudkan. Kalau kedepannya pengembangan direct action kearah sana (kegiatan Robin Hood), kami tak tahu. Tapi (perkembangan) itu kan baru kemungkinan. Untuk sementara ini direct action dalam kaitannya pengembalian hak adalah upaya pencurian dengan materi atau tindakan yang setimpal. Pencurian dalam tanda kutip tentunya. Dan ini pun masih memerlukan break down lagi, karna pasti akan ada pertanyaan teknis, seperti “kalau aku disodomi apakah direct action sebagai upaya menuntut pengembalian hak adalah menyodom orang yang pernah menyodomku?” Tentu tidak seperti itu. dalam Islam yang kami percaya, hukum memperkosa, menyodom adalah dibunuh. Maka, jika kamu memiliki kesempatan untuk membunuh orang itu, ya bunuh saja. Kalau kamu tidak berani membunuh ya sabet saja pinggangnya, atau tusuk di tulang iganya! Kalau kamu tidak berani menusuk, beraninya memukul pakai kunci inggris dari belakang, pukul saja! kalau kamu tidak berani melakukannya. Yah, minta orang lain untuk melakukan itu. kalau kamu tidak bisa juga menggunakan orang lain, apa kamu harus sabar saja? ini yang salah kaprah. Setahu kami sabar menurut Ali bin Abi Thalib adalah menahan amarah ketika seseorang benar-benar mampu menimpakan ‘bala’, kalau kamu benar-benar berkuasa melakukan hal yang lebih dari setimpal. Artinya kalau kamu tidak bisa melakukan sesuatu maka itu bukan bersabar namanya. Tapi putus asa yang diselimuti justifikasi kesabaran.
“Intinya apa?”

Intinya, salah satu konsep direct action adalah upaya mengembalikan hak kamu yang dirampas, dan ini bisa diluaskan kemana-mana tidak hanya masalah disodom atau diperkosa saja. By the way, emang kamu pernah disodom?

“Jangan gitu ah. Saya tidak mau membuka masa lalu saya.”

Oh, jadi memang benar kamu pernah di Sodom?

“Sudahlah! Anggap itu sebagai perumpamaan. Kita lanjut ke focus tanya jawab yang utama ok?”

Silahkan.

“Jadi tidak cuma problem selangkangan?”

Lha, ngomong menyodom dan disodom nggak boleh. Lha ini ngomong selangkangan? Ya, ya, tapi pertanyaanmu, kami tangkap. Kami cukup pintar untuk memahami. Tentu saja. Ide direct action ini bukan ideologi selangkangan seperti yang diperjuangkan Hudan Hidayat atau Jenar Maesa cs. Ide ini adalah ide yang bisa di terapkan di lingkungan manapun. Misalnya dalam lingkup pekerjaan: kalau kamu merupakan pekerja kemudian gaji kamu tidak dibayar padahal kamu tahu perusahannmu memiliki kemampuan untuk membayarmu, maka kamu bisa mengambil property perusahaan yang harganya setimpal dengan gaji kamu. Itu baru satu contoh. Lainnya, jika kamu tinggal di dekat jalan raya. Dan pada hari minggu anak-anak gaul slalom tes liar di jalan raya tempat kamu tinggal padahal kamu memerlukan ketenangan istirahat, maka bilang saja supaya mereka tidak membuat onar. Kalau ternyata mereka masih mengganggu tidurmu dengan raungan knalpot sialan itu, lempar saja mobil mereka dengan batu! Direct action ini bisa dilakukan dimana saja: dalam lingkup sekolahan, kuliah, menjadi pegawai dalam sebuah perusahaan bahkan jika kau merupakan gelandangan.

Bagaimana mungkin gelandangan bisa maen internetan? Kalau itu pertanyaanmu Well kami tidak mendoakan, siapa tahu kamu yang mampu ini menjadi gelandangan. Tidak ada yang tahu kan? Artinya kalau diantara kita ada yang jadi gelandangan, kita masih bisa menerapkan direct action.

“Ok-oke. Sy mau dengan realita yang langsung kita hadapi nih. Bagaimana dengan direct action yang harus dilakukan dalam permasalahan Palestina dan Zionis Israel?”


Boikot produk jelas harus dilakukan. Jika kita tidak bisa menyumbangkan darah, memberi donasi uang, maka donasikanlah keinginanmu dengan memboikot produk yang mengukuhkan kedudukan zionis Israel.
Perbanyaklah kampanye boikot dan membajak software yang kontribusinya pada Israel sudah jelas. Lakukanlah direct action yang bisa kamu lakukan. Apa saja! Sekecil apapun pasti berguna bila dilakukan konsisten oleh kita! Dan ingat, sekecil apapun uang yang kita belanjakan akan menjadi kulminasi donasi yang bisa digunakan untuk membantai saudara-saudara kita di sana. Mulailah malu menghisap produk Philip Moris. Mulailah malu menenggak coca cola, mulailah merasa berdosa secara moral ketika kita mengigit paha ayam mc Donald. Mulailah!

“Oke-oke. Kembali lagi nih. Apa direct action itu hanya pengembalian hak?”


“Seperti yang kami bilang sebelumnya, pengembalian hak hanya salah satu direct action. Direct action juga merupakan strategi taktis untuk mengacaukan sebuah keyakinan. Dalam hal ini Ibrahim pernah mengacaukan keyakinan bapaknya dengan mengkapak berhala di altar pemujaan. Hal ini bisa kita korelasikan dengan lingkup pemilu misalnya, kamu bisa mengacaukan pemilu dengan bermodal uang yang setiap hari kamu pegang. Setiap uang yang nantinya dibelanjakan bisa kamu tulis, misalnya “Pemilu Waduk!” atau Pemilu = kencing kuda.” Atau lebih baik mabok dari pada memilih!” Nah, kata yang terakhir memang tidak kami sarankan, tapi kami tidak tahu tulisan ini bakal dibaca kaum pemabuk atau tidak. Atau kalau kamu masih belum mau berurusan dengan aparat negara dalam masalah pemilu, kamu bisa menuliskan ajakan, “ayo berlibur pada tanggal (tanggal dan bulan pemilu)” ayo papadangan, ayo arisan, ayo rujakan atau ziarah kubur! Kan bisa. Pokoknya gimana kreatifnya kamu saja.

“Apa cuma gitu aja?”
Oke. Kalau kamu belum puas, siapkan snowman. Tentu bukan manusia salju melainkan spidol. Kalau kamu muak, siapkan pula tinta yang banyak untuk mengokang spidol mu dengan tinta spidol yang baru kalau habis ditengah jalan. Untuk apa? Tentu untuk mengacaukan kesakralan pemilu.
Sejak dulu kita diberikan pemahaman bahwa pemilu adalah ajang perubahan. Melalui pemilulah kita akan diselamatkan lalu caleg-caleg mulai bersolek, yang wajahnya bopeng dimakeup atau di buat halus dalam photo menggunakan corel draw atau photo shop.
Sejak dahulu kita diberi kecap. Sekarang giliran kamu membalas dendam dengan menspidoli wajah calon peserta pemilu.

“Bukankah orang yang dulu beda dengan orang yang mencalonkan sekarang?”

Beda memang, tapi partai nya sama saja. Caleg adalah robotnya partai apalagi jika kamu tahu bahwa partai tersebut terang-terangan sudah kita ketahui track recordnya. Kumisi saja poster si calegnya. Yang sudah punya kumis kasih tahi lalat, yang lagi mangap giginya hitamin aja, rambutnya dibuat kuncir atau macam Bezita dan Mohawk kaktus, atau dikasih rokok, apa saja silahkan dibuat kreatif, asal jangan caleg yang mangap kemudian kamu kasih gambar alat kelamin laki-laki. Itu parah namanya! Pada intinya kamu tentu sudah memahami apa yang kami tulis ini. Dan bukan hanya sekedar paham saja, sebab dalam sejarah untuk mengembangkan sebuat sivilisasi maka pemahaman harus disertakan dengan aksi.
Cobalah beraksi. Jangan jalan kaki. Bawa motor. Alasannya tentu sudah bisa kamu terka. Kalau jalan kaki kemungkinan kamu kepergok dan digebuki oleh pendukung sebuah partai akan lebih besar. Jangan pula membawa mobil karena mobil gampang dilempari. Sayang mobilmu. Apalagi jika itu mobil bapakmu. Naikilah motor. Mesin jangan dimatikan saat kamu beraksi. Kalau kamu dipergoki kamu tinggal loncat ke jok dan teman yang menemani aksi malammu itu tinggal langsung menekan gas.
Cobalah. Aksi yang kamu lakukan nantinya pasti mengasyikan. Bukan hanya dalam tataran niat saja keasyikannya tetapi manakala adrenalin kamu terpacu ketika menspidoli macam-macam poster … Dan ketika keesokan harinya kamu liat kembali hasil karya kamu, maka dijamin kamu bakal ketagihan.
Vandalisme adalah candu. Dan kreativitas yang kamu buat entah malam kapan sejak tulisan ini dibuat akan membuatmu bangga.

“Yoi! Udahnya bisa kita bilang-bilang ke temen-temen supaya kita jadi terkenal!”

“Kami pikir mending diem-diem aja. Bukan! Bukan karena takut ditangkap. Tapi lebih dikarenakan supaya kamu tidak besar kepala. Kalau sudah besar kepala siapa yang bakal menjamin kamu dapat pahala?

“Lagi dong. Beri contoh direct action dalam masalah pemilu? Please…”

Hm bagaimana ya, begini saja. Kalau kamu merasa pagar rumahmu, rumah orang tua menjadi tidak artistic, tidak bersih, caur, gara-gara pamphlet pemilu, so kamu bisa membalas apa yang dilakukan panitia sukses partai-partai itu.
Cari di internet, siapa yang menjadi panitia sukses kampanye tahun ini (di kotamu). Lalu malam harinya kamu bisa balas menempeli pagar mereka dengan pamplet atau potokopian gambar muka monyet, tokek atau bahkan muka kamu sendiri. Sip kan.

Well oke-oke. Sy mulai serius nih. Kalian kan, sepertinya benar-benar tidak mau mengikuti pemilu? Bukankah menulis hal seprovokatif ini, mempropagandakannya, mengajak orang lain untuk tidak ikut pemilu akan menimbulkan tuduhan subversi? Kenapa tidak mempropagandakan dengan kalimat-kalimat bias. Dizaman dulu Abu Bakar pun pernah ditanya oleh musuhnya ketika hendak hijrah. “Siapa dia?” orang Mekah menunjuk Rasulullah. Dan Abu Bakar menjawab penunjuk jalan. Dalam pandangan si orang Mekah, penunjuk jalan berarti guide perjalanan. Padahal maksud Abu Bakar --pada sisi lain--- lebih dari itu. Intinya, bukankah kalian bisa mencari kata-kata yang bias, supaya tidak terkena delik? Atau kalian menganggap tindakan kalian ini sebagai sebuah bentuk heroisme yang berarti memisahkan orang yang tak melakukannya sebagai jerk atau pathetic muslim?”

Begini, segala sesuatu yang kita lakukan adalah pilihan dari beberapa atau banyak hal yang sampai kehadapan kita. Cara kami adalah pilihan diantara banyak pilihan yang lain. Kami tidak memiliki hak untuk mengatakan sahabat-sahabat kami yang memiliki sikap politik yang sama meski teknis penyuaraanya berbeda sebagai looser atau pecundang. Tidak. Hal itu bisa dilihat dari kisah bagaimana Abu Dzar mengumandangkan keislamannya, kemudian digebuk beramai-ramai padahal sahabat lainnya lebih memilih untuk diam. Ada banyak kisah lain, seperti para sahabat mengaku berkiblat di hadapan Lata-Uzza saat disiksa, sementara beberapa sahabat lainnya memilih untuk melafaskan dan terbunuh karenanya.

Kami tidak akan memprovokasi orang untuk melakukan tindakan yang sama dan mengucilkan kawan-kawan kami. Kami berusaha agar kami tidak terpecah. Lagi pula kalau sok-sokan berani bermain dengan subversi, siapa yang bisa mendeteksi keberadaan kami? Kami kan tidak menggunakan nama asli? Kalaupun kau berkata bahwa bisa saja dilakukan penelusuran via dunia maya, ya silahkan saja tidak apa-apa. Hidup penuh resiko kan? (bersambung)

0 komentar: