Itu saya orang yang sedang ngorok di sofa. Yang kakinya ngangkang. Beruntung pakai celana. Biasanya saya pakai sarung. Soalnya kalau pakai sarung di warnet bisa-bisa sesuatu milik saya menjadi tontonan gratis pengunjung warnet. Termasuk seorang berkacamata yang senyum-senyum dari tadi. Dia adalah kawan saya. Itu yang sedang duduk di meja operator. Namanya Bahrun. Usianya satu tahun lebih muda dari saya. Namun meski lebih muda pengalamannya di dunia intelejen sudah begitu lama.
Saya dan dirinya memang sudah lama tidak jumpa. Sudah lama tidak rindu. Ketemu pun baru satu kali. Di Depok dulu waktu saya kerja dengan si Divan Semesta & Ali OM. Itu pun sebentar saja. Soalnya si Bahrun ini mau melanjutkan misi intelejen ke Padang. Selebihnya saya dengan dirinya banyak bertemu di dunia tak kasat mata. Dunia maya. Tapi bukan Maya Rumantir. Bukan juga Luna Maya.
Mau apa dia ada di Solo? Kenapa dia ada di meja operator warnet? Jangan-jangan dia sedang melakukan pencurian data-data penting atau hacking. Tidak jawab dia. Dia sedang melayani konsumen. Biasalah namanya juga pemilik warnet Revolt.Net. Itu memang aktivitas dia sehari-hari. Konsumen adalah ratu menurut dia. Kenapa bukan raja kata saya. Kalau raja nanti tidak bisa dinikah. Tapi kalau ratu suatu saat bisa dinikah kalau cocok di hati. Begitu kata dia; Amir LY Nusantara. (ket: Di LY Nusantara, siapa yang telah berpoligami maka dia menjadi pemimpinnya. Bertambahnya istri menjadikan seseorang otomatis menjadi pemimpin)
Biar tidak terus menerus ngobrol Zorayah, Bahrun saya ingatkan akan kesepakatan tadi malam ketika kencan. Oh yah, Zorayah itu salah satu targetan misi intelejen kami. Dia tidak ikut kencan bareng kami tadi malam. Soalnya dia tidak ada di Solo. Kalau saja dia ikut kencan. Sudah pasti dia hari ini akan kami ajak untuk menjalankan beberapa sunnah Rasul dalam hal melatih fisik. Tak lain dan tak bukan adalah memanah, berenang dan berkuda. Tapi karena kudanya tidak ada terpaksa pakai kuda besi milik Bahrun.
“Sekarang kita kemana dulu, cuy?” kata saya sambil mengacak-ngacak rambut. Biar terlihat belum mandi. Ini namanya salah satu trik dalam dunia intelejen supaya bisa klandestein ke targetan.
“Kita memanah dulu aja!” jawab Bahrun tepat ketika angka jam menunjukan pukul 6 pagi.
“Ekoylah kalau begitu mah. Cabut cuy!”
Akhirnya kami, maksud saya, saya dan Bahrun, menaiki kuda besi. Semoga saja kudanya jantan. Soalnya kami berdua juga jantan semua. Khawatir kalau betina dinaiki akan berakibat fatal. Tapi nampaknya tidak sefatal yang dilihat orang-orang di pinggir jalan. Mereka sedikit terheran melihat kami. Mungkin mereka kaget. Sejak kapan Arjuna dan Srikandi bangkit dari kubur. Soalnya saya yang duduk di belakang memang mengalungi ( ket: yang bener pakai akhiran –i atau –kan ya? Kalau pakai akhiran –kan artinya kan melempar) busur sebesar saya. Plus menggenggam satu kotak anak panah.
Tapi itu semua tatapan mereka tidak saya pedulikan. Hanya saja di dalam hati saya berpikir. Apa benar kami dianggap Arjuna & Srikandi. Lantas kalau begitu siapa yang Arjuna dan siapa yang Srikandi. Kalau si Bahrun sih boleh disebut Arjuna. Lagian dia kan mirip Arjuna. Berpoligami. Sedangkan saya. Ya sudah lah Srikandi juga tidak apa-apa. Toh saya punya nama lain;Echie, kalau sedang di dunia maya. Demi misi intelejen, menyamar jadi apapun memang harus dilakukan. Semakin tidak disangka berarti itu tanda kesuksesan seorang agen mata-mata.
“Nah, disini nih kita latihan memanahnya” kata Bahrun tiba-tiba.
“Wow, asoy!” decak saya.
Kami berhenti di sebuah lapangan berumput. Kondisinya turun 2 meteran dari jalan. Sedangkan di sisi lainnya ada sebuah sungai besar mengalir. Kondisi matahari pun lumayan bagus. Garis gradasi warna jingga terlihat jelas di cakrawala.
Tak lama berselang Bahrun mulai memberikan trik-trik untuk memanah kepada saya. Tapi tidak trik memanah hati wanita. Apalagi Zorayah. Soalnya dia pun ingin mendapatkan Zorayah. Sial kata saya. Dasar Amir yang tidak tahu diri. Tapi tak apa. Yang penting saya bisa menjalankan salah satu sunnah Rasul hari ini.
Ternyata memanah tidak semudah yang dikira. Saya kira tinggal tarik lalu lepaskan. Faktanya jauh lebih sulit dari itu. Tarikan pertama sukses membuat anak panah diam ditempat. Tarikan-tarikan berikutnya sukses membuat lengan kiri saya memar. Hampir saja saya putus asa. Tapi melihat Bahrun dengan enaknya melepaskan anak panah, hati saya seolah-olah seperti ikan yang kena pancing. Dan akhirnya dalam waktu yang tidak lama, saya dapat melesatkan anak panah tepat di sandal butut yang menjadi sasaran tembak. Yes. Amir kalah sekarang. Dia saja belum sempat membidik tepat sasaran.
“Kayaknya kalau nembak pakai AK-47 tidak seribet ini deh” kata saya.
“Ya iyalah!” jawab Bahrun dengan nada centil.
“Kapan-kapan kita pakai AK-47 aja yuk! Jaman begindang pakai panah”
“Ayo aja. Tapi jangan salah nanti semua peralatan seperti itu tidak berfungsi loh!” ingat Bahrun
“Hohoho… iya juga. Kembali pada perang konvesional ya, Run”
“Hooh”
“Mungkin tidak nanti ada orang seperti Arjuna atau Kresna?” tanya saya
“Maksudnya?” Bahrun nampak bego disini
“Iya mereka kan sekali melesatkan panah yang keluar ribuan panah. Atau bisa satu kali tarikan langsung sepuluh anak panah”
“Hehehe… Mungkin saja kali. Apalagi buat intel-intel seperti kita. Alat-alat intelejen kan canggih-canggih. Lagi pula lambang instansi kita kan Kresna. Tu tandanya suatu saat kita bisa seperti dia dalam memanah”
Saya berpikir. Ini Bahrun sejak kapan jadi gila begitu. Berpikirnya sudah tidak dalam konteks yang benar. Apa ini karena beratnya tugas intelejen di wilayahnya. Ah semoga saja tidak. Wong setiap saat dia bisa keluar masuk Ngruki. Setidaknya otak tidak lurusnya kan bisa dimanajemen ulang seperti yang Aa Gym bilang. Lagian kerjaan dia kan paling cuman keluar masuk penerbit-penerbit buku seperti Aqwam, Jazeera, Granada, Islamika, dll plus mengasuh Umar anaknya Imam Samudera.
“Cuy, gimana kalau kita makan dulu saja?!” ajak saya agar Bahrun bisa sedikit rileks
“Ayo! Kemana?”
“Gudeg ceker gajah, Cuy!”
“Mang gajah punya ceker?”
“Maksud saya gudeg ceker yang cekernya sebesar gajah. Biar kita kenyang selama setahun”
“Wah enak dong”
“Iya dong. Masa iya lah”
Meluncurlah dengan cepat itu kami dari arena panahan. Diatas motor Bahrun ngoceh membicarakan enaknya makan ceker sebesar gajah. Diam kau Bahrun. Kamu tidak tahu ya kalau makan ceker sebesar itu tandanya kamu juga (maaf) ee-nya tar segede gajah. Bayangin mau keluar darimana tuh.
Entah lewat jalan apa saya tidak mengerti. Yang jelas Bahrun ajak saya masuk jalan-jalan yang kesannya oldschool banget. Jalannya tidak terlalu besar. Namun kiri kanannya berdiri benteng besar. Selang beberapa meter ada pintu kayu bernuasa klasik. Diatasnya ada logo kerajaan plus nama-nama berbau ningrat Jawa. Sayang saya tidak sempet ngintip isi dibalik tembok itu. Soalnya Bahrun tidak mau berhenti. Padahal saya penasaran ingin melihat seperti apa orang yang darahnya biru itu. Makhluk seperti saya kah atau seperti Bahrun. Atau malah seperti ceker gajah.
Tepat di perempatan motor pun berhenti. Lampu merah. Untuk yang mau belok kiri , silakan jalan terus. Tapi untuk yang selain itu harus menunggu lampu hijau menyala.
“Sudah sampai” kata Bahrun
“Ye, kirain mau belok Run”
“Nggak kok. Itu tuh gudegnya”
Wow, warungnya lesehan. Pinggir jalan pula. Asyik buat godain polwan lagi tugas. Kalau nanti dimarahin Polwan. Ya tinggal tunjukin aja si Bahrun. Dia kan intel yang ditugaskan di Solo.
“Mangan, Mas?” itu ibu-ibu penjual gudeg sok akrab nanya ke saya.
“Sorry, I don’t understand” jawab saya
“???” ibu penjual gudeg terheran-heran
Akhirnya si Bahrun dengan bahasa Jawa kental membereskan semua masalah tadi. Dia memang ahli banget kalau disuruh bernegosiasi dalam bahasa Jawa.
“Oh, Mas ini bukan dari Solo ya toh?” si ibu kembali bertanya pada saya
“Iya bu. Saya dari Arab Saudi!”
"Ara Saudi tempat orang haji?"
“Memangnya ada Arab Saudi selain itu?” balas saya
“Ah si Mas ini ada-ada aja”
“Ada-ada bagaimana Bu? Saya ada disini kok dari tadi juga”
“Hahaha... Kok Arab Saudi bicaranya logat Sunda?”
“Begini Bu. Dulu saya ini adalah TKI dari Bandung. Karena kerja disana sudah lama dan setiap tahun mendapatkan predikat TKI terbaik, saya akhirnya direkrut jadi agen”
“Agen? Agen kompor kali! Hahaha..." ledek si Ibu
“Yah si ibu mah malah meledek. Saya kirim ke Abu Gharaib tahu rasa loh!” ancam saya ke si ibu penjual gudeg.
“Apa itu?”
“Swalayan khusus tempat jualan gudeg di Irak”
“Masa sih?” si ibu dengan mimik heran bertanya seakan tidak percaya
“Iya Bu. Dijamin Ibu bakal banyak saingan kalau berjualan disana. Sudah banyak saingan, Ibu juga tidak bisa menawarkan jualan Ibu. Soalnya disana bahasanya pakai bahasa Inggris dan Arab. Mau Ibu saya kirim kesana?”
“Ya, emoh lha Mas!”
Bahrun yang sedang mulai menyantap gudeg terlihat mesam-mesem. Sepertinya menahan sesuatu. Entah mesam-mesem kenapa. Ada dua kemungkinan kalau saya bilang. Pertama ingin boker. Yang kedua ada sesuatu yang konyol.
“Lha Mas sini lagi ngapain di Solo? Pake bawa panah segala lagi” si Ibu bertanya seperti seorang investigator.
“Saya lagi ada misi Bu. Lagi mencari agen CIA yang menawarkan bisnis warnet kepada orang-orang Solo. Kadang juga dia jualan gudeg. Sesekali bisnis batik di Pasar Klewer”
“Hahaha... Lha terus panahnya buat apa?”
“Ini panah untuk ditembakan ke agen CIA itu. Soalnya dia punya ilmu kebal. Kalau pakai senjata api dia kuat. Kelemahannya dia bisa dikalahkan dengan menembakan sesuatu dari senjata asli tanah kelahirannya. Berhubung dia lahir di pinggir Stadion Manahan, ya saya bawa panah ini untuk menghentikannya” jelas saya.
“Ah, Mas ini ngaco deh. Hahaha...”
“Ibu tidak percaya?”
“Ga tuh. Hahaha...”
“Sok saja Ibu tanya temen saya ini. Bahrun namanya. Dia ini intel yang tugasnya khusus di Solo.”
“Beneran intel Mas?” si ibu bertanya ke Bahrun yang duduk disamping saya.
“Bukan! Temen saya ini emang suka asal Bu” jawab Bahrun sambil tangannya dia geleng-gelengkan.
“Tuh kan! Bukan Mas kata Mas ini juga”
“Si Ibu mah. Mana ada intel mengaku? Kalau ada intel mengaku itu namanya intel Melayu. Intel abal-abal. Yang asli itu tidak bakalan mengaku”
“Ndak percoyo!” si Ibu sekarang geleng-geleng mengikuti tangan Bahrun tadi.
“Dikasih tahu si Ibu mah. Eh, atau si Ibu saya panah saja ya?! Jangan-jangan Ibu ini intel yang sedang saya cari.”
“Hahaha... Bukan lah Mas” si Ibu tertawa menyebabkan mulutnya dapat dimasukan bola tenis.
“Mau Bu?”
“Ayo kalo berani!” tantang si Ibu kecentilan
“Tapi tidak jadi ah. Biar teman saya saja yang memanah Ibu. Tepatnya memanah hati Ibu. Doi ini pinter kalau memanah yang seperti begitu, Bu”
Bahrun malah ketawa. Mungkin didalam hatinya dia mengatakan iya dan menyadari kalau apa yang saya katakan memang kenyataan yang tidak bisa ditampik. Atau bisa juga dia tertawa karena didalm hatinya dia sedang mengamati kemolekan si ibu penjual gudeg. Entahlah. Biar itu menjadi urusan dia sendiri. Saya tidak bisa melarang dia untuk jatuh hati pada penjual gudeg.
“Bu, sudah dulu ya. Saya mau melaksanakan Kesamaptaanjas yang lain lagi nih”
“Apa itu? Ibu ndak ngerti”
“Melaksanakan sunnah Rasul yang lain. Mau renang Bu. Di Hotel Lorin. Ibu mau ikut?”
“Boleh. Hahaha...” si Ibu ini memang doyan tertawa kayaknya atau mungkin juga saudaranya si Bambang Srimulat. Entahlah.
“Nanti dagangannya bagaimana Bu?”
“Ya jualan aja disana”
“Wah kalau disana tidak boleh jualan gudeg Bu. Yang boleh cuma AK-47”
“Apa lagi itu AK-47?”
“Ak-47 itu Angling Karma. Umur 47 tahun. Itu dia pamannya Angling Dharma”
“Hahaha...”
“Umur Ibu sudah bukan 47 kan?”
“Tau aja. Hahaha...”
“Ibu mah ketawa saja. Sudah ah kalau begini terus saya bisa tidak jadi perginya”
Saya beri kedipan mata ke Bahrun untuk segera pergi dari lokasi yang sudah tidak kondusif itu. Sambil berbisik saya berkata ke Bahrun.
“Kasih bom si Ibu sama elu ya!”
“Hah?”
“Bayar gudegnya maksud saya!”
Bahrun mengangguk-angguk tanda setuju.
“Bu, ada pesan-pesan terakhir buat saya?” kembali saya bertanya utnuk mengakhiri pertemuan yang indah itu.
“Tangkepin terorisnya yang banyak ya! Hahaha...” kembali si ibu mengakhiri pembicaraan dengan tawa.
“Iya insyallah nanti saya tangkap tentara Amerika dan Obama cs deh Bu. Mereka kan biangnya teroris”
“Mas, ada pesan buat Ibu juga? Hahaha...” selalu ada tawa lagi dari si Ibu
“Saya hanya mau berdoa saja Bu. Semoga gudeg Ibu bisa diekspor hingga Arab Saudi. Tempat saya dinas”
“Hahaha...”
“Sudah ya Bu. Tugas menanti saya. Bye!"
Sehari Dengan Intel Solo
Senin, 29 Juni 2009
Diposting oleh Begundal Militia di 13.18
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
haduh haduh...ngakak gw baca tulisan lu..emang beneran kejadian ya?? apa fiksi..?? enak nih jalanin sunah rasul..manah renang,,gw terahir renang malah kelelep...lanjut bro..mantep tulisan lu...
waduh...... baru pertama kali ini ada yang ngakak baca tulisan cacatnya harian eike.
aru kabur dari RS Jiwa ya Om? heheheheh
BTW, thanx dah apresiasi. Tar kita belajar renang bareng yuuu
Posting Komentar