Banyak Jalan Menuju Tangkuban

Rabu, 17 Juni 2009


Entah kenapa di tengah malam yang menjadi minggu, saya berpikiran untuk memberi kejutan buat Revo. Padahal jujur ini bukan hari ulang tahun dia.

Memangnya kalau bukan ulang tahun tidak boleh memberi kejutan? Setahu saya sih kejutan itu boleh kapan saja. Lagi sekarat pun kalau memang dibutuhkan kejutan ya lebih baik diberi kejutan. Biar wafatnya penuh kebahagiaan. Atau biar tidak jadi wafatnya. Buktinya dokter suka kasih kejutan di dada pasien pakai alat kayak setrikaan. Saya tidak tahu maksudnya untuk apa. Tapi bisa jadi barangkali pihak rumah sakit ingin memberikan doorprize bagi pasien-pasien yang memiliki nomer pendaftaran unik. Makanya mereka kejutan pasien-pasien itu. Bener gitu? Entahlah. Tanya saja Rumah Sakit Omni Internasional. Mumpung belum ditutup.

***

Tidak singkat cerita. Sampai juga saya dan seisi mobil di depan pintu gerbang utama Tangkuban Perahu. Tapi tidak tahu kenapa ternyata sudah banyak orang, bus & mobil yang ngantri disana. Dari yang berhuruf AB, D, B sampai O juga ada. Kayaknya ini bukan lambang golongan darah. Atau mungkin sekarang mobil-mobil sudah mempunyai golongan darah. Agh, ga penting!

Jangan-jangan mereka mau menyambut kedatangan Revo. Begitu GR-nya saya. Wah bisa-bisa kecentilan nih si Revo kalau tahu dia sudah banyak yang nungguin. Untungnya dia masih tertidur pulas sejak pergi dari di rumah. Namun biar tidak salah, saya paksakan untuk orang bertanya kepada saya. Eh, tidak bisa ternyata. Ya sudah saya saja yang bertanya ke mereka.

“Lagi latihan baris berbaris De?” saya bertanya ke orang yang tubuhnya lebih kecil dari saya.
“Eeee.. Nggak.” si manusia yang lebih kecil dari saya garuk-garuk keheranan
“Lagi ngapain atuh kalau bukan baris berbaris?”
“Siapa yang lagi baris berbaris?”
“Tuh liat, bus ama mobilnya rapih gitu berjajar. Kirain lagi latihan baris” tunjuk saya ke kerumuman kendaraan segede alaihim gambreng.
“Hehehe, nggak Mas. Lagi nunggu masuk”
“Masuk kok ditunggu?”
“Iya. Mang harusnya gimana?”
“Kalau mau nunggu mah mending nunggu Revo”
“Revo siapa?”
“Pahlawan masa depan Indonesia”
“Ih ngaco dech”
“Terus lagi apa disini?”
“Mau masuk tapi kuncinya belum ada”
“Lha belum tahu ya?”
“Mang kenapa, Mas?” tanya si orang yang lebih kecil dari saya. Plus beberapa temannya yang ikutan memperhatikan saya dari tadi. Entah apa yang ada dipikiran mereka. Kaget mungkin ada pangeran subuh-subuh menyapa mereka.
“Sekarang kan Siaga Merah”
“Yang bener Mas?”
“Mang kalau gak bener gimana?”
“Yahhhh……”, serempak mereka. Koor kayak paduan suara mahasiswa.
“Udah ya saya mau kasih tahu itu saja”
“Jadi bener nih Mas Siaga Merah???” tanya mereka lagi. Salah satu diantaranya.
“Bener!!! Kata penjaganya juga gitu”

Setelah menjawab pertanyaan mereka, saya berjalan kembali ke arah mobil. Lalu duduk di belakang setir yang bulat. Tidak di belakang ban meskipun ban sama-sama bulat. Soalnya saya masih belum mau ajdi bulan-bulanan ban. Digiles maksudnya. Saya masih ingin memperlihatkan pada Revo kalau di Tangkuban Perahu tidak ada perahu yang tengkurap.

Adek saya tanya,”Kok balik lagi?”
“Payah ah. Panjang banget antriannya! Ga jelas juga kapan dibukanya”
“Terus tadi ngobrol apa ma ABG-ABG itu?”
“Iya tuh jadi heboh gitu. Orang-orang tua juga jadi heboh gitu!” Si Um-Um ikutan nimbrung sambil tunjuk kerumuman orang yang mulai kebingungan.
“Tadi bilang lagi Siaga Merah” jawab saya singkat.
“Emang bener Siaga Merah?”
“Tergantung apanya dulu!”
“Tergantung apa? Cau (terjemah. Pisang) yang digantung mah!” Adek saya bertanya lagi.
“Kan tadi sebelum sampai sini sudah ketemu ma penjaga pintunya”
“Tadi emangnya dia bilang apa?”
“Dia bilang tidak enak perut. Mau ke rumahnya dulu di Lembang”
“Hehehe… Terus hubungannya Siaga Merah?”
“Buat si penjaga kan itu Siaga Merah. Kalau tidak segera bisa-bisa meletus ditepat yang tidak diinginkan. Lagian siapa juga yang bilang Tangkuban Siaga Merah!” Jawab saya penuh kemenangan.

Tanpa ba bi bu lagi saya putar 180 derajat mobil yang katanya berwarna biru Persib ini. Saya arahkan ke bawah bukan ke atas. Sebab mobilnya saya bukan mobil Knight Rider yang bisa terbang. Ini hanya mobil carry yang sama sekali tidak istimewa. Kalau dibilang sedikit beda sih iya. Berbeda di plat nomernya yang berwarna merah gincu.
“Mau kemana nih?”
“Tenang! Mau cari jalan tembus” kata saya.
Saya memang tidak mau menunggu antrian. Saya sedang buru-buru. Soalnya dari kemarin niatnya ingin melihat sunrise. Itulah kenapa tadi sengaja pergi dari rumah pun tepat setelah shalat subuh. Sampai-sampai si Revo yang lagi tidur pun langsung diangkut aja ke mobil. Tanpa dibagunkan terlebih dahulu.

Saya belokan mobil. Masuk dalam hutan pinus. Seingat saya jalan ini nyambung sampai ke kawah. Semoga saja masih ada jalannya. Tidak ikut ditebangi oleh pencuri kayu. Eh, kalau pohon bukan ditebang ya. Diapain ya? Ya pokoknya semacam dikorupsi gitu dech. Dirampok.

Sedang enak-enaknya melaju, dari arah depan nampak 2 siluet manusia menghadang di jalan. Mirip siluet Batman & Robin. Ternyata penjaga Tangkuban Perahu pakai kupluk dan sarung. Ceritanya menghadang mirip begal dech.
“Pagi Pak”
“Pagi” tersenyum saya lihatin gigi yang belum digosok dari kemarin.
“Berapa orang?”
“Banyak!” kata saya
“Banyak kok cuma 4 orang?”
“Dibawah akan segera menyusul Pak”
“Memang dari dinas mana Pak?” Penjaga tadi melihat plat nomer mobil yang merah.
“Departemen Pertanian, Pak”
“Wah, maaf Pak. Banyak yang mau datangnya?” tiba-tiba si penjaga penuh senyum-senyum centil kayak Agnes Monica.
“Menteri juga sedang menuju kesini. Masih dibawah”
“Oh kalau begitu silakan masuk Pak!”
“Nuhun, Pak. Si Bapak mani baik euy
“Ga papa Pak. Sesama aparat”
“Oh iyah ini buat rokok, Pak”
“Aduh ga usah Pak”
“Biar aja Pak. Ini 30 ribu itung-itung seorang 1 bungkus Malboro lah. Tapi Revo jangan diitung ya Pak.
“Revo siapa, Pak?”
“Ini nih yang lagi tidur!” telunjuk saya arahkan ke Revo yang sedang pulas digendongan.
“Oh itu mah santai aja, Pak”
“Iya, dia kan lagi tidur. Jadi ga lihat Bapak. Kalau lihat lain cerita Pak”
“Bisa aja si Bapak mah
“Harus bisa dong, Pak!”
“Hehehe… Iya Pak”
“Nuhun nya Pak”
“Eh iya sawangsulna, Pak. Ati-ati jalannya banyak yang berlubang!”
“Sip! Asal jangan berduit aja Pak!”
“Kok berduit?”
“Kalau berduit nanti saya ga sampai ke puncak. Dibawah aja mungutin duit”
“Ah si Bapak mah ada-ada aja”

Tak lama setelah itu, saya langsung geber mobil memasuki jalanan berbatu yang sangat-sangat bagus. Saking bagusnya, batu pun terlihat seperti batu apa adanya. Bulat-bulat dan menonjol ke luar. Perjalanan pun jadinya laksana digendong penyanyi dangdut yang goyangnya paling dahsyat seantero dunia.
“Emang bener ada Menteri Pertanian dibawah?” tiba-tiba Um-Um bertanya
“Ada!”
“Bohong ya?!”
“Nggak. Bener kok”
“Masa sih?”
“Tadi liat ga di Lembang ada mobil rombongan BPPT tur ke Tangkuban Perahu?”
“Iyah lihat”
“Nah Menteri ada di dalamnya”
“Masa Menteri ikut rombongan itu terus di mobil kayak gitu?”
“Memangnya mereka pergi atas nama siapa? Coba lihat surat tugasnya. Pasti atas nama Menteri. Menterinya kan ikut tuh. Malah diperlihatkan ke orang-orang yang baca surat tugas. Dia pasti ada disana. Selalu ada kemana pun”
“Hehehe”

***

Sampai di kawah yang bau kentut, Revo tiba-tiba bangun. Kayaknya dia mencium bau-bau yang tidak sedap juga. Tapi untungnya dia suka. Karena suka langsung saja kami hirup bareng-bareng. Sedap.

Beruntung puncak masih kosong. Hanya kami berempat saja pengunjung yang baru datang. Ini saatnya untung berfoto-foto tanpa terganggu oleh view-view yang mengganggu.

Lepas 2 jam semenjak mobil kami “was here” bus-bus dan mobil mulai berdatangan. Orang-orang turun dari sananya. Menyemut menuju pinggiran kawah. Termasuk orang-orang yang tadi ngantri di depan pintu gerbang utama Tangkuban Perahu.

Seperti yang sudah diramalkan Mama Loren, akhirnya saya dipertemukan kembali dengan beberapa orang dari mereka.
“Katanya Siaga Merah Mas? Kok sudah ada disini duluan? Kan bus kita yang pertama masuk”
“Iya lagi penelitian dari Deptan” jawaban saya tidak nyambung dengan apa yang ditanya.
“Mang meneliti apa Mas?”
“Vulkanologi”
“Mang Departemen Pertanian ngurusin vulkanologi?” salah seorang cerdik pandai ada diantara mereka.
“Ya iya dong!” jawab saya bersemangat, “Efek dari gunung berapi ini berpengaruh terhadap tanaman yang ada di sekitarnya. Apalagi di daerah sini kan banyak Balai-Balai milik Deptan”
“Gitu ya? Efeknya kayak gimana?”
“Iya. Efeknya, salah satunya, kalau seledri itu untuk menyuburkan pertumbuhan rambut. Nah kalau terkena lava dari gunung berapi efeknya rambut bisa rontok.”
“Ih seremmmm” kata salah satu dari mereka.
Serem apanya pikir saya. Dimana-mana juga kalau rambut terkana lava panas mah pasti rontok. Bukan cuma rambutnya aja, tengkoraknya pun ikut rontok.

Berhubung conference press mulai menghangat. Banyak dari mereka mulai mengerumuni saya. Termasuk guru-guru mereka yang berjalan ke arah saya (ternyata mereka itu murid-murid SMU yang sedang liburan). Ini tanda perbincangan sudah mulai tidak kondusif. Dan akan sangat berbahaya kalau diteruskan. Saya ambil si Revo dari gendongan Um-Um sambil menutup hidung saya pakai jari.
“Maaf ya, ini anak kecil ee”
“Ihhhhh….” Si mereka pun ikut-ikutan tutup hidung penuh mimik jijik.

Setengah berlari saya menuju mobil. Masuk mobil nyalain mesin. Brummm…… Mobil melaju menuruni puncak Tangkuban Perahu.

***

Bebas juga akhirnya. Ini semua berkat si Revo. Makasih ya Revo. Kamu telah menyelamatkan hidupku yang tiada tara ini. Sebagai balas jasanya nanti kita beli kelinci plus kandangnya ya di Asep Rabbit.
“Revo mau Kelinci, Macan atau Gajah?” saya ngetes si Revo.
“Gajah!”
“Kelinci atau gajah?”
“Gajah!”
“Kelinci aja ya. Ga usah gajah”
“Gajah!”
Dasar anak kecil. Bisanya ikut kata yang belakang saja. Pikir saya.
“Ya udah kita beli kelinci aja. Nanti kasih nama gajah juga tidak apa-apa. Ekoy?!”
“Ecoyyy!” jawab Revo

1 komentar:

Anonim mengatakan...

wah niru2 ceritanya pidi baiq ini mah!!!