KURET Bag.3 (Bye Bye Avicenna)

Sabtu, 20 Juni 2009


Sesampai di ruang penyiksaan, saya lihat Um-Um sedang menggendong Revo. Kelihatannya sesi penyiksaan sudah selesai. Buktinya si Um-Um sudah bias tersenyum-senyum simpul hidup begitu.

“Ke bawah aja dulu! Bayar ongkosnya!” kata Um-Um sambil menunjukan jari telunjuknya seperti seorang preman.

“Ekoy dech” timpal saya sambil mengambil Revo dari gendongannya.

Bergegas saya turun menujuk kasir sambil mencoba mendiamkan Revo yang mulai menangis & menjerit-jerit karena dipisah dari Um-Um.

Dengan muka cuek tapi tetap ganteng saya mendekati kasir yang berparas Arab dan berkerudung lebar itu.

“Yang baru dikuret tadi ya Pak?” tanya si kasir ramah penuh senyum.

“Bukan”

“Lho jadi ini siapa?”

“Saya tidak dikuret. Yang dikuret Um-Um”

“Iya maksud saya beliau”

“Oh kalau begitu iya. Jadi total berapa?”

“Biaya operasi dan lain-lain terus obat jadinya (sensor) rupiah” jawab sang kasir dengan sangat lancar.

“Oke, sebentar”

Saya buka resleting tas. Saya cari-cari uang disana. Masyallah. Yang ada hanya potongan kertas-kertas bekas tiket dan parkiran. Tiga lembar uang seribuan nyempil diantara kertas-kertas tadi.

Ya Allah, uang saya habis. Ternyata yang tadi saya kasihkan ke bapak-bapak di trotoar itu adalah semua uang saya.

Jujur wajah saya cukup pucat pasi di depan kasir berdarah Arab itu. Mana si Revo nangis tidak mau berhenti.

“Gimana Pak?”

“Bisa saya kasih cek tidak disini?” ujar saya menenangkan diri.

“Lebih baik cash saja Pak”

“Oh ya sudah. Sebentar saya hitung dulu”

Saya masukan kembali tangan ke dalam tas sambil pura-pura menghitung uang. Padahal aslinya hanya menghitung kertas-kertas parkiran.

“Berapa tahun si kecil Pak?” Tanya si kasir kembali

“Yang ini?! Baru 15 bulan”

“Kalau anak masih kecil harusnya ga boleh punya adek, Pak!”

“Kenapa tidak boleh?”

“Kan KB, Pak!”

“Lha justru saya ini KB, mbak. KB, Keluarga Berencana kan?”

“Iya”

“Saya ini berencana punya anak 12 orang. Semua sudah saya set nantinya mereka akan dijadikan apa. Dari mulai ilmuwan sampai dokter, semua sudah saya rencanakan dari dulu. Setiap tahunnya sudah saya perhitungkan untung ruginya. Dan lagi menurut saya tidak akan ada kerugian dengan apa yang Allah titipkan pada saya. Dia Maha Berencana. Saya hanya pelaksana rencana Dia di lapangan”

“Jadi darimana asalnya saya tidak disebut keluarga berencana?”

“Oh…hehehe…” mbak kasir mesem-mesem tidak jelas.

“Sebentar ya Mbak saya mau cairkan cek dulu”

Saya berjalan menjauhi meja kasir. Menuju kea rah ATM. Lantas mengirim SMS dan menelpon beberapa karib kerabat barangkali akan berinvestasi pada tender yang saya tawarkan.

Alhamdulillah, tidak terlalu lama saya berhasil mendapatkan para investor. Hanya saja dana dari investor hanya cukup untuk membayar biaya yang tadi si kasir katakan saja. Padahal besok hari saya harus berangkat kerja, makan dan pergi ke Bandung bareng Revo & Um-Um. Apa harus saya jalan kaki ke Bandung?

Tapi mau gimana lagi. Ya sudah yang penting si mbak kasir Arab tidak nanya lagi masalah KB. Daripada nanti si Um-Um disiksa lagi karena tidak ikutan KB.

Di tengah kegalauan yang teramat sangat. Berat banget kayaknya bahasanya.Saya terdiam di sebuah kursi kayu. Memandangi orang-orang yang berlalu-lalang. Tak lama kemudian, entah darimana datang seorang Bapak setengah abad.

“Lagi nunggu?” tanyanya.

“Iya Pak. Um-Um habis dikuret”

“Oh”

“Silakan duduk Pak!”

“Maaf saya sudah ditunggu. Duduknya nanti lagi aja. Harus segera pergi”

“Oh silakan Pak”

“Oh yah, ini buat kamu!” si Bapak memberikan selembar amplop putih polos.

“Apa ini Pak?” Tanya saya keheranan. Meskipun jujur saya berharap dan melihat wujud amplop itu berubah menjadi gepokan uang.

“Udah ambil aja!”

“Eh Pak, ini bukan acara Kena Dech kan?”

Si Bapak hanya tersenyum dan menghilang di tengah kerumunan orang.

Saya yang ditinggalkannya masih duduk terheran-heran. Memikirkan amplop apa gerangan yang ada di tangan saya ini. Surat cinta kah? Jangan-jangan si Bapak ingin menyatakan cinta pada saya. Yah hari gini pakai surat. Kan sudah ada email.

Tapi daripada dibuat penasaran terus menerus, saya perkosa saja itu amplop.

Subhanallah!

Isinya uang. Totalnya cukup untuk bolak-balik ke Bandung bertiga pakai Prima Jasa dari Lebak Bulus. Alhamdulillah. Alhamdulillah pangkat tiga.

***

Sekitar jam 2 yang sudah siang, saya berikut Um-Um dan Revo berjalan menuju pelataran parker. Rencananya langsung pulang ke rumah. Tapi sebelum sampai sana, kami harus melewati ruangan kaca penuh bayi-bayi yang baru dilahirkan.

“Kalau saya menikah dengan ibu-ibu mereka bagaimana ya?” tiba-tiba saya membuka pembicaraan.

“Mang kenapa? Jadi mau poligaminya? Tanya Um-Um.

“Tidak juga sih. Cuman pengen tahu kalau saya nikah dengan ibunya mereka hasilnya bakal seperti apa. Apa seperti mereka?”

“Huuuu… parah!”

Parah apanya pikir saya. Namanya juga eksperimen. Lagian justru dengan menikahi ibu-ibu mereka dan melahirkan mereka tentunya bakalan memperbanyak rezeki. Rezeki yang tadinya hanya untuk saya saja. Sekarang malah bisa berkali lipat. Terbantu oleh rezeki si ibu-ibu dan bayi-bayi itu.

Dengan adanya Um-Um dan Revo saja sudah ada 1 orang bapak tua yang member saya amplo. Bayangkan kalau 4 orang ibu dan anggap 1 ibu 1 anak, sudah pasti bakal ada 4 orang yang member saya amplop misterius. Syukur-syukur kalau dari 4 orang istri tadi ada yang semakmur dan sesholehah seperti Khadijah istri Rasulullah. Tidak bakal ada lagi cerita saya cari-cari investor kesana kemari. Semua sudah ditangani ma istri yang lain. Enak kan?

Tapi kalau semuanya dikuret bareng dalam satu waktu? Mhmmmm… Saya yakin Allah Maha Berencana. Dialah Perencana yang benar-benar Terencana.

0 komentar: