Setelah 2 hari lalu seorang dokter memproklamasikan kuret di depan saya, saya tidak lantas mengkibarkan Sang Saka Merah Putih di Pegangsaan Timur. Coba untuk apa pentingnya saya kibarin bendera disana? Saya kan anti nasionalisme. Lagian kalau saya kibarin bendera, bendera bergambar apa yang pantas dikibarkan untuk proklamasi kuret. Masa bergambar serabi & pembalut wanita. Kesannya porno banget. Salah-salah saya dijerat UU Pornografi. Atau gambar bayi montok yang banyak stiker bertulisan “No Problem”. Ah tidak ah. Nanti malah disangka fedofili.
Daripada saya pusing-pusing mikirin bendera, mending saya segera mencari rumah bersalin atau rumah sakit saja. Kayaknya ini lebih menyelesaikan masalah kuret ketimbang mencari gambar bendera. Tapi yang jadi pertanyaanya, rumah bersalin mana? Soalnya di kota ini praktek-praktek “persalinan” banyak bertebaran hingga pojok gang sempit.
Beruntung saya ingat seorang sahabat saya yang sukses didzalimi rahimnya oleh dokter. Saya hubungi segera suaminya. Kebetulan juga si suaminya ini sahabat saya juga. Namanya Bramantio. Dipanggil Bagus. Tapi ada juga yang manggil dia Tio. Sebagian yang lain manggil Akang, Asoy. Kalau saya manggil dia Kampring.
Saya tidak tahu sejarahnya kenapa dia dipanggil nama ini itu. Seperti tidak tahunya saya kenapa istrinya bernama Aulia. Sampai sekarang saya selalu bertanya-tanya kenapa orang tua mereka memberi nama seperti itu. Kenapa tidak Romeo dan atau Juliet. Atau Hitler dan atau Eva. Kenapa juga tidak diberi nama Muhammad bin Abdullah dan atau Khadijah. Kan kalau namanya seperti itu, setidaknya saya bisa masuk dalam kategori “sahabat”. Calon ahli surga yang semua pernyataan saya adalah ijtihad serta layak masuk ijma. Senangnya kalau begitu. Ah, saya suruh si Kampring & Aul ganti nama jadi itu aja ah.
Namun sayang. Saya lupa kasih saran itu ketika bicara di telepon dengan Aul (baca: Aulia). Saya terlalu fokus mendengar penjelasan rumah bersalin yang pernah Aul didzalimi hingga berdarah-darah didalamnya. Sampai-sampai akhirnya saya pun terhipnotis untuk memutuskan meng-free transfer-kan Um-Um kesana.
Biarlah didzalimi juga yang penting sembuh dan berbiaya mahal. Sengaja saya cari yang mahal. Biar saya tidak tanggung mengeluarkan uang. Soalnya bawa uang bermilyar-milyar itu bikin berjalan pun akhirnya harus diseret-seret. Rasanya menyiksa. Mana bikin lecet pula saking beratnya.
Itu terbukti ketika saya sedang berusaha pergi ke rumah sakit bersalin mahal itu. Saking beratnya, saya sudah tidak bisa menanggung beban uang milyaran yang ada. Daripada ambeien lebih baik saya buang sebagian saja. Ya kalau tidak saya berikan saja pada seseorang. Seseorang yang sedang duduk di trotoar itu.
“Lagi ngapain, Pak?” tanya saya.
“Kasihan Pak”
“Siapa yang kasihan?”
“Saya Pak. Saya belum makan dari pagi”
“Wah bapak hebat. Masih kuat di tengah panas begini tapi kerja. Saya kalau mau kerja tidak sarapan dulu pasti bisa pingsan Pak”
“Pengennya begitu, Mas. Tapi saya tidak punya uang”
“Ih nama saya bukan Mas, Pak”
“Oh maaf, Pak”
“Panggil saja saya DJ Wingki!”
“Iya”
“Saya mirip DJ Wingki ga Pak?”
“DJ Wingki siapa Pak?”
“Wah si Bapak mah ga gaul euy. Terkenal lagi DJ wingki mah”
“Saya ga tau, Mas”
“Kok Mas lagi?”
“Oh iya maaf”
“DJ Wingki itu ganteng Pak. Sohibnya Osama bin Laden di Afghan sana. Malah pernah tidur bareng sama Rambo”
“Osama yang teroris?”
“Hush! Osama bukan teroris! Dia itu mujahid. Pejuang Islam. Orang yang berjuang demi Islam!” tegas saya
“Gitu ya Pak. Kalau Rambo bukannya film?”
“Rambo itu bener-bener ada. Buktinya dia tidur bareng sama DJ Wingki. Tapi otaknya jangan ngeres ya!”
“Ya ga dong Pak” angguk si Bapak
“Bapak butuh berapa duit sih?”
“Ah Bapak sih seikhlasnya aja. Tapi 1000 perak juga boleh”
“Katanya seikhlasnya. Gimana sih si Bapak ini”
“Eh iya, silakan gimana Bapak aja”
“Kalau 1000 perak eamng cukup buat makan? Bukannya sekarang sekali makan saja paling murah 3000 perak?!”
“Ga cukup sih Pak”
“Kenapa mintanya cuman 1000 perak?”
“Bapak punya anak? Punya rumah? Sekolah kan anaknya? Bayar listrik ga di rumah? Keluar ongkos ga ke tempat kerja?” saya kasih pertanyaan bertubi-tubi agar si Bapak serasa menjadi public figure.
“Banyak banget pertanyaanya” jawab si Bapak dengan muka kebingungan.
“Sengaja Pak biar kayak SBY yang sedang diwawancara”
“Jadi gimana Pak?” tanya saya lagi
“Iya punya semua dan butuh semua” balas si Bapak mesem-mesem
“Ya sudah kalau begitu jangan minta 1000 perak. Nih saya kasih 1 milyar!”
Saya buka tas. Lalu keluarkan sepokan uang dari dalamnya. Saya berikan semua didepan tempat duduk si Bapak.
“Ini serius, Pak?”
“Ya iyalah. Ambil saja semuanya. Ini bukan acara Kena Deh atau sejenisnya kok” timpal saya.
“Bener Pak?”
“Iya beneran. Eh, saya mau antar orang buat disiksa dulu di markas dokter-dokter ya”
“Disiksa?” si Bapak tersenyum kecut tapi tetap kelihatan bahagia.
“Oh iya sebelum pergi. Saya mau tanya lagi. Saya mirip DJ Wingki temannya Osama Bin Laden tidak?”
“Ehhhh… gimana ya”
“Ya sudah jangain dipikirin. Sebagai salam perpisahan, panggil saja saya Osama Bin Laden”
“Eh iya Osama Bin Laden”
“Wah makasih kembali Pak. Ketemu lagi nanti di Afghanistan ya! Btw, mau titip salam buat Rambo sekalian tidak?”
“Eeee…. Iya boleh”
“Ya sudah kalau begitu nanti saya coba salamin. Assalamu’alaykum” saya pamit meninggalkan bapak tua yang masih tampak bingung campur bahagia.
Lega rasanya. Beban saya akhirnya sedikit berkurang. Sekarang tinggal jemput Um-Um & Revo yang sudah dari kemarin bolak-balik Avicena (sebuah rumah bersalin di daerah Cipulir Jakarta). Tunggu ya. Sebentar lagi sampai!
(masih bersambung & tidak ada bonus)
KURET Bag.2 (Osama bin Laden)
Sabtu, 20 Juni 2009
Diposting oleh Begundal Militia di 12.06
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar