Lekka Lekka Ka… Ka… Kapitalis

Minggu, 01 Maret 2009


Syahdan lagu Indonesia Raya merupakan sebuah lagu jiplakan. Penciptanya, Wage Rudolf Supratman, diklaim Amir Pasaribu juga Remy Silado sebagai seorang copycat. Tuduhan lumayan berat, W.R. Supratman disangka merubah lagu jazz tahun 1600-an; Pinda-Pinda atau Lekka-Lekka (Belanda), menjadi lagu yang saat ini sering dibawakan di setiap upacara bendera. Remy menambahkan kalau W.R. Supratman & band jazz-nya sering memainkan lagu tersebut setiap minggu untuk mengiringi dansa dansi Tuan & Noni Belanda. Kebetulan sekitar tahun 1927-an Lekka Lekka merupakan lagu yang sedang in. Bak Ular Berbisa-nya Hello, saking ngetrennya Lekka Lekka, lagu ini dirilis ulang dalam format piringan hitam dengan judul baru; Indonees Indonees.

Apa yang disampaikan Om Remy jelas menimbulkan kontroversi dan berbagai penyanggahan. Salah satunya dari Kaye A Solapung. Om Kaye menegaskan bahwa Indonesia Raya tetaplah lagu orisinal meski ada 8 beat yang sama dengan Lekka Lekka. Alasan ini disampaikan karena -proses dari sejak lahir hingga seperti sekarang ini- Indonesia Raya telah mengalami berbagai perubahan. Mulai dari inisiatif Kepala RRI Jusuf Ronodipuro, Jozef Cleber hingga Kusbini di era 60-an.

Namun ada hal menarik sempat terjadi di akhir proses perubahan lagu kebangsaan ini. Kusbini yang kala itu berniat membebaskan Indonesia Raya dari bayang-bayang Lekka Lekka malah mendapatkan komentar “intim’ dari Bung Karno: “Hai, kamu seniman goblok! Kamu tidak punya kesadaran politik! Apa yang sudah diterima secara politik, tidak usah diperkarakan secara estetik!” (Majalah Top No 29, Tahun IV). Itu juga yang menjadi salah satu alasan kenapa Om Remy mengatakan bahwa Indonesia tak ubahnya dari Lekka Lekka.

Benar atau tidaknya jelas saya tidak tahu. Soalnya Om Remy mengambil data tersebut dari kitab-kitab yang tidak lazim. Doski mahir berbagai bahasa sehingga mudah baginya mengakses berbagai kitab yang bahasanya tidak jelas sekali pun. Begitu pun dengan apa yang disampaikan Om Kaye. Doi dikenal sebagai orang yang mengerti banyak tentang partitur dan aransemen musik. Sudah pasti doi lebih cakap tentang bentuk dan struktur lagu ketimbang saya.

Diluar polemik antara yang pro dan kontra diatas, saya sendiri punya penilaian tentang lagu Indonesia ini. Benar atau salah tentu bukanlah suatu ukuran yang pantas dibandingkan dengan apa yang telah dikatakan kedua ahli diatas. Hal yang saya pikirkan ini ini hanya sebuah hasil komtemplasi murahan setelah melalui masa hibernasi di tempat yang sangat hiber; WC. Hahaha….

Coba saja pikirkan tentang bait ini!

Indonesia tanah airku, Tanah tumpah darahku. Disanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku.

Indonesia! Tanah yang mulia, Tanah kita yang kaya. Disanalah aku berada Untuk slama-lamanya
(Lirik lagu Indonesia Raya dari stanza yang lain)

Indonesia! Tanah yang suci, Tanah kita yang sakti. Disanalah aku berdiri menjaga ibu sejati.
(Lirik lagu Indonesia Raya dari stanza yang lain)

Lalu bait ini!

Hiduplah tanahku, Hiduplah negeriku. Bangsaku, Rakyatku, semuanya.

Suburlah Tanahnya, Suburlah jiwanya. Bangsanya, Rakyatnya semuanya (Lirik lagu Indonesia Raya dari stanza yang lain)

Pada bait awal tertera “Disanalah aku berdiri”. Menurut saya, ketika kata “Disanalah” digunakan berarti orang yang menyanyikan tidak sedang berada di wilayah Indonesia. Melainkan di luar Indonesia. Jadi lagu ini tidak cocok utnuk dinyanyikan oleh orang yang saat ini sedang berada di dalam wilayah Indonesia. Akan lebih pas kalau orang tersebut ada di luar wilayah Indonesia. Mereka mungkin saja orang yang kabur karena alasan politis, orang yang sedang piknik atau bisa jadi seorang TKI alias Tenaga Kerja Indonesia. Logikanya kan kalau seseorang berada di dalam negerinya bukan kata “Disanalah” yang digunakan tapi “Disinilah”.

Bait yang terakhir, bait dengan kata “Bangsaku, Rakyatku” atau “Bangsanya, Rakyatnya”, pun memiliki masalah yang tak jauh berbeda. Logisnya ketika dikatakan “Bangsaku, rakyatku”, tentu perkataan ini lebih pas ketika yang mengatakan adalah seorang pemimpin suatu bangsa/rakyat. Tak pas rasanya kalau rakyat mengatakan demikian. Kalau pun mau seharusnya mengatakan “Bangsa kami, Kami”. Pun dengan kata “Bangsanya, Rakyatnya”. Kata ini jelas memperlihatkan bahwa yang menyanyikannya bukanlah bangsa Indonesia atau pemimpin dari rakyat di Indonesia. Namun tidak menutup kemungkinan dia adalah orang yang begitu berkepentingan dengan negeri Zamrud Khatulistiwa atau seorang yang memiliki hubungan dengan pemimpin negeri bernama Indonesia.

Lantas kalau begitu apa konklusinya?

Konklusinya menurut saya jelas. Lagu Indonesia Raya tidaklah wajib disenandungkan secara resmi apalagi diagung-agungkan. Lagu tersebut bukanlah lagu yang diperuntukan untuk seluruh rakyat yang berada di negeri ini. Ia hanya sebuah lagu yang khusus dinyanyikan oleh pemimpin negeri & rakyat Indonesia yang berada di luar negeri (“Disanalah”) serta orang asing (“Bangsanya, rakyatnya”). Saya yang sejak lahir belum pernah jadi TKI atau sekalipun ke luar negeri tidaklah memiliki kewajiban untuk menyanyikan lagu ini. Kecuali kalau saya naik haji mungkin lain ceritanya. Itu pun sebatas hanya mengenang masa-masa bengal di kampung halaman saja. Biar di Tanah Suci banyak beristigfar. Hehehe…

Hanya saja terlepas dari semua itu, ada sesuatu yang saya takutkan. Bukan takut sih hanya sekedar curigesen. Sebab kalau dipikir-pikir bisa saja lagu ini memang sejak awal di-setting demikian. Paradigma awal penciptaan lagu ini memang hanya diperuntukkan untuk pemimpin atau orang yang “berkuasa’ atas negeri ini saja. Wujudnya bisa bermacam-macam. Yang jelas pemimpin dan sesuatu orang yang “berkuasa” meskipun dari luar adanya. Hal ini sangat mungkin terjadi hari ini. Apalagi di era globalisasi seperti sekarang. Pemimpin atau “penguasa” bisa sesuatu yang bukan berasal dari negeri tersebut.

Kalau begitu maka sangat sangatlah wajar apa yang dituliskan pada bait “Bangsanya, Rakyatnya”. Bisa jadi memang pemimpin dan penguasa itu berasal dari luar negeri. Apalagi kalau tahu bait lain pada stanza lagu Indonesia Raya yang full version. Disana dituliskan kata “Suburlah Tanahnya, Suburlah jiwanya, Pulaunya, lautnya semuanya”. Siapa sih yang tidak ngiler melihat kesuburan tanah, laut dan pulau-pulau yang ada disini? Hanya orang berkepentinganlah yang akan mengharapkan Indonesia seperti itu. Tentunya mereka -para pemilik capital dari luar sana- yang menginvestasikan koceknya disini merupakan salah satu yang sangat pas dengan apa yang dikatakan bait tersebut. Tak aneh kan?

Lantas kalau begitu berarti sejak awal Indonesia dilahirkan sebagai negera kapitalis berikut sasaran kapitalis dong? Saya tidak bisa menjawab iya atau tidak. Yang jelas W.R. Supratman sering melakukan dansa dansi dengan Meneer-Meneer VOC. Dan hanya dia yang tahu ikhwal sebenarnya. Ayo tanya W.R. Supratman kenapa?!




Sekedar tambahan:
Lambang Garuda Pancasila adalah seekor burung garuda yang menengok ke arah kanan. Selama ini kanan diidentikan sebagai sesuatu yang baik. Namun bagaimana kalau dipandang dari sudut lain? Ideologi misalnya. Ideologi Sosialis identik biasanya disebut ideologi kiri. Sedangkan ideologi kanan biasa digunakan untuk menyebutkan ideologi Kapitalis. Tolong lihat lagi kalimat diatas! (burung garuda yang menengok ke arah kanan) Nah loh??? Kalau Indonesia membantah bahwa negerinya bukan berpaham kapitalis, kenapa juga dulu burung garuda tidak dihadapkan ke depan? Atau malu mengambil ideologi yang lurus & benar???

0 komentar: