Hidup Sebelum Dimatikan

Jumat, 27 Maret 2009


Hell yeahh!!!

Lama sudah saya tidak memperkosa kompi kesayangan ini. Tepat pukul 4.00 dini hari ini –akhirnya- saya berhasil berbuat mesum kembali Flatron LG yang seksi hitamnya ini. Tiga minggu tanpa menjamah serta membelai mesra body sintal selingkuhanku ini rasanya terasa begitu hampa (kayak Obbie Meshakh aja bahasanya. Hahaha…)

Ya itulah resiko yang harus saya terima setelah si Montok (panggilan saya kompi saya) terhantam petir. Sialnya bukan hanya doski saja yang kena tapi 3 buah TV, 2 buah DVD serta 1 perangkat PC mampus diterjang amuk godam Thor minggu sore 3 pekan yang lalu. Beruntung saya tidak ikut tersambar. Soalnya ketika itu saya sedang di luar membenarkan selokan mampet yang mulai menggenangi halaman rumah saya. Seorang tetangga melihat nyala petir begitu merah dan besar.

“Mirip sambaran rambut berapinya Megaloman, cuy!”, takjub seorang tetangga.

Sebenarnya ada rasa menyesal tidak ikut tersambar petir. Bukan maksud saya ingin segera off dari dunia fana ini namun saya membayangkan kalau tersambar petir mungkin pasien Ponari akan segera beralih ke Jalan H. Bardan VI. 320 Bandung. Hahaha… Atau mungkin saja saya bisa menjadi Gundala Putra Petir yang bakal menggeledek para caleg gebleg. Hehehe…

Diluar semua itu, sebenarnya sejak kilatan berkekuatan jutaan watt itu mampir ke rumah, banyak hal yang telah terjadi di sekeliling saya. Ironisnya semua berhubungan dengan kematian. Mulai dari komputer & modem yang mati, arloji berhenti berdetak, baterai handphone ogah menyalakan HP, Paman & Bibi yang meninggal karena tabrakan, anak sepupu hasil bayi tabung yang ikut menyusul kembarannya kembali pada Allah, hingga pohon jambu yang mati setengah akibat sabetan petir. Malahan arus lampu di rumah saat ini masih belum beres. Kadang meredup lantas terang lalu meredup lagi. Kalau saja yang terang redup, redup terangnya lampu disko sih bagus. Lha ini yang terang redupnya lampu rumah. Mana terang redupnya tidak konsisten & tidak jelas ritmenya. Kan jadinya mau dugem pun nanggung rasanya. Hehehe…

Well, sebenarnya saya tidak mau memikirkan masalah kematian. Namun karena banyak hal diatas membuat saya mau tidak mau harus memikirkannya. Akan tetapi saya tidak akan serta merta mengupas kematian itu secara dalam sebab saya belum menjadi praktisi kematian. Kalaulah saya sudah mengalami kematian mungkin saya akan sangat fasih membicarakan ini. So, daripada membicarakan kematian mending membicarakan kehidupan yang sinergis dengan kematian itu sendiri.

Buat saya berbicara tentang kematian sebenarnya berbicara juga tentang masalah bagaimana mengisi kehidupan yang ada. Kematian adalah sebuah keniscayaan. Itu sudah pasti. Ia adalah sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Sedangkan yang tidak pasti dan selalu berubah adalah kehidupan itu sendiri. Kehidupan tergantung pada individu yang mengisi kehidupan itu sendiri. Ia akan selalu berubah dan senatiasa berubah dari detik per detiknya.

Seorang manusia dapat mengarahkan hidupnya untuk menjadi apapun yang ia inginkan semasa hidupnya (tentunya kecuali hal-hal yang telah menjadi qada dari Allah). Ia bisa menjadi penjahat sekaliber Abu Jahal atau Caligula. Bahkan ia pun bisa menjadi seorang manusia yang begitu baik dan sabar seperti halnya para nabi Allah. Semua bisa dilakukan sampai akhirnya kematian itu tiba menjemput mereka.

“You can be as mad as a mad dog at the way things went. You could swear, curse the fates, but when it comes to the end, you have to let go.” Begitu Kapten Mike bilang kepada Benjamin Button.

Seperti juga halnya dengan Benjamin Button yang terlahir bak seorang kakek-kakek, keriput, rapuh, beruban serta rabun. Baginya keganjilan tubuhnya bukan berarti dia tidak dapat merubah hidupnya. Justru kehidupanlah yang harus dia isi dengan kondisi yang ada sekarang hingga ajal menjemput. Dengan kata lain bahwa manusia terlahir untuk tidak dapat mengalahkan waktu. Ia hanya tercipta untuk mengisi waktu-waktu selama hidupnya (dalam ilmu manajemen biasanya dikenal istilah “mengelola waktu”). Waktu mungkin memang bisa dibalik, dari Omega menuju Alfa. Tetapi entah berjalan maju atau mundur, tidak ada yang bisa menghentikan waktu.

Raut tua dan umur keriput Benjamin Button tidak lebih dari sekadar penanda eksistensi bukan esensi. Meskipun ia dilahirkan dalam sosok kakek berusia 80-an dan meninggal sebagai bayi, sesungguhnya umur (waktu) dia tidaklah mundur, sama seperti manusia lainnya, maju. Jatah hidupnya pun tidak bertambah atau berkurang. Kisahnya juga tidak berbeda dengan manusia pada umumnya: gembira, sedih, jatuh cinta, kecewa, dan bekerja.

Pun demikian dengan kematian-kematian yang terjadi di sekitar saya. Komputer, modem, jam tangan, dan baterai HP yang mati serta Paman, bibi dan sepupu-sepupu saya yang wafat hingga pohon jambu yang gosong setengah, semuanya tidak dapat mengatur umurnya. Ketika umurnya telah rampung maka rampunglah sudah tugas dia di dunia fana ini. Tinggal kenangan saja yang tertinggal. Serta hari-hari ketika mereka telah mengisi kehidupan bersama saya.

Inilah yang membuat bahwa apa yang telah dilakukan semasa hidup -sebelum dimatikan- begitu sangat berarti. Ia bagai nyawa dan pelita yang tidak boleh disia-siakan begitu saja. Mengisinya dengan hal-hal yang berguna merupakan sebuah konsekuensi yang seharusnya dilakukan. Sebab suatu saat nanti hal tersebut akan mungkin akan berguna baginya atau orang yang ada disekitarnya.

“Life isn’t measured in minutes, but in moments.”

4 komentar:

Divan Semesta mengatakan...

Rek balik ka Imah loba petir! Nyingsieunan! Hell Yeah!

Begundal Militia mengatakan...

aing jadi parno siah mun aya bentar.
Langsung komputer dipareuman masing keur penting oge. Damn!

diaNice mengatakan...

apah? jadi porno???? ckckckckck
makanya ketika petir datang, semua barang elektronik sebaiknya dimatikan karena mengalirkan gelombang elektromagnetik tsaaaahhh tapi ini bener lhoo

Begundal Militia mengatakan...

nya si diance mahhhh.... otakna ngeres wae!!!!
Beh, anakmu tuh pengen kawin ma Ganjar!