Ke Kebun Raya#2 (KRB)

Jumat, 14 Agustus 2009



Akhirnya sampai juga saya ke Stasiun Bogor. Itu saya tahu setelah melihat tulisan Bogor di dinding stasiun. Dan makin yakin ketika kereta sudah tidak mau maju lagi. Mundur pun tidak. Dia memilih diam. Dan terus diam. Menyebabkan dirinya seperti batu.

Khawatir keretanya mundur lagi ke Jakarta, saya giring Revo & Ummi Brun-brun. Menyebabkan saya seolah-olah sedang menggiring bebek. Saya di belakang, Revo & Ummi Brun-brun di depan. Dia, Ummi Brun-brun, hanya mematuhi instruksi dari saya saja. Belok kanan atau kiri, maju atau mundur, semua saya yang arahkan. Tidak ada lagi selain saya. Masa Revo.

Coba saja lihat. Ketika saya suruh Ummi Brun-brun maju, dia pun ikutan maju. Maju bergerak ke depan seperti orang-orang itu. Bergerak kesana. Ke arah sana. Ke arah gerbang EXIT. Entah siapa yang mengajarkan orang-orang pergi ke sana. Saya pun jadinya ikut-ikutan. Seperti mereka. Bergerak kesana.

Namun saya pikir itu adalah sebuah ide cemerlang. Namun meskipun cemerlang saya tidak yakin kebiasaan ini berasal dari ide orang Bogor. Pasti lihat di buku. Pasti search di internet. Pasti meniru Barat. Sebab sejak kapan orang Bogor di kamus Sunda-nya ada kata EXIT. Pasti tidak ada.

Kami akhirnya menyusuri lorong kecil itu. Hingga sampailah di halaman stasiun. Disana sudah banyak orang menyambut kedatangan kami. Membuat saya seolah-olah menjadi David Beckham. Atau Lionel Messi. Semua tersenyum, menyapa, dan mengajak saya bicara. Terharu saya jadinya. Belum masuk TV saja sudah menjadi artis. Apalagi kalau sudah masuk TV. Bisa jadi saya diidolakan tua dan muda.

Naek beca Pak?” seorang bertanya pada saya.

Ka Kebon Raya Pak?” seorang yang lain bertanya pada saya. Lagi.

Sok Pak! Enggal (Ayo Pak! Cepaat)”

Sabaraha lami (Berapa lama)?” tanya saya.

Sapuluh menitan lah. Insyallah (Sepuluh menit saja. Insyallah)”

Naha Nganggo Insyallah sagala (Kenapa pakai Insyallah segala)?”

Nya Insyallah atuh Pak (Ya insyallah dong Pak)”

Insyallah Arab atanapi Sunda (Insyallah Arab atau Sunda)?”

Nge-hang dia ditanya seperti itu oleh saya. Larak lirik kanan kiri. Melihat temannya. Mereka juga sama tidak mengerti.

Ah moal wae, Pak, (Ah tidak jadi, Pak),” kata saya, ”Abdi peryogi nu dugina 30 Menit. Upami 10 menit mah engke kedah ngantosan 20 menit. Hawatos Japra teu acan angkat ti bumina (Saya butuh yang sampai 30 menit. Kalau 10 menit nanti harus menunggu 20 menit. Kasihan Japra belum pergi dari rumahnya)”

Nya ku abdi engke dicandak kukulilingan we heula Pak (Ya oleh saya dibawa keliling dulu saja, pak)”

Hawatos atuh ka Bapak kedah ngaboseh nanjak sareng mudun (Kasihan Bapak harus mengayuh naik dan turun)”

”Oh”

Bapak kenal Japra teu (Bapak Kenal Japra tidak)?” tanya saya.

Rerencangan Bapak (Temennya Bapak)?”

Muhun (Iya)”

Heunteu Pak (Tidak Pak)”

Saurna kapungkur dicopet di dieu. Padahal anjeuna nu gelo. Tega pisan copet teh nyopet nu gelo (Katanya dia pernah dicopet disini. Padahal dia ini sakit jiwa. Tega banget copet mencopet orang sakit jiwa)”

Ah didieu mah seueur copet Pak (Ah disini memang banyak copet Pak)”

Suara peluit berbunyi. Wasit goblogkah? Ternyata bukan. Itu polisi sedang meniup peluit agak becak dan angkot tidak menyemut di gerbang stasiun.

Para pilot becak dan tukang angkot menggerakan kendaraan mereka. Akhirnya. Sejurus itu, saya lekas-lekas giring lagi Revo & Ummi Brun-brun. Lekas-lekas saya suruh mereka masuk 03. Lekas-lekas saya suruh mereka duduk di pojok belakang.

Angkot pun kemudian melaju. Meninggalkan polisi yang seperti wasit. Meninggalkan Taman Topi. Lalu bergerak ke arah gereja tua. Belok kiri melewati Gedung Pemda Bogor yang diseberangnya nampak rusa-rusa Istana Bogor sedang dicekoki wortel oleh pejalan kaki.

Lalu entah kemana lagi. Saya kurang tahu nama-nama jalan di Bogor. Tapi sedikitnya saya tahu arah angkot 03 ini. Dia pasti akan melewati banyak pohon rindang raksasa. Lantas banyak bangunan tua peninggalan Meneer-meneer. Sangat indah. Sangat tertata. Apik. Romantis.

”Bangunan Belanda-nya bagus-bagus ya?” itu Ummi Brun-brun tiba-tiba memecah kesunyian.

”Iya,” jawab saya, ”Kayaknya kalau lihat kayak begini, kita lebih baik mengajukan proposal ke Belanda”

”Proposal apa?”

”Proposal permintaan dijajah lagi sama mereka. Biar bangunannya kuat. Tertata rapih. Pohonnya bagus-bagus”

”Hehehe...” itu Ummi Brun-brun malah tertawa.

Daripada tertawanya berlebihan, saya minta sopir menghentikan angkotnya di depan Kampus IPB. Benar kan kata saya. Ummi Brun-brun akhirnya berhenti tertawa. Dia sibuk konsentrasi mencoba keluar dari angkot. Sambil gendong Revo tentunya.

Tepat diseberang sana sudah berkumpul banyak orang. Iya tepat dibawah bangunan yang diatasnya ada tulisan Kebun Raya Bogor. Itu saya kemudian menjadikan diri saya sebagai Komo. Saya melintas jalanan. Eh, mobil-mobil berhenti. Semua jadinya malah melihat saya, Ummi Brun-brun, dan Revo. Kenapa ya mereka tiba-tiba berhenti. Saya tidak tahu.

Di bangunan yang tadi saya bilang. Tersebutlah seorang pria. Pria yang gila kerja. Workaholic. Bayangkan saja hari Minggu begini dia masih berkerja. Disaat semua orang libur. Disaat orang seperti saya malah ke Kebun Raya Bogor. Eh, dia malah bekerja. Saya menduga dia pasti kaya raya. Sebab kerja tiada henti. Atau jangan-jangan dia pemilik Kebun Raya???

”Boleh masuk Pak?” tanya saya dengan senyum dimanis-maniskan.

”Iya boleh. Berapa orang?” dijawab oleh si pria tadi. Benar tebakan saya. Dia pemilik Kebun Raya. Buktinya dia memberi saya izin. Kalau pun bukan pemiliknya, saya menduga dia ini pasti pemegang saham Kebun Raya Bogor.

”Banyak Pak”

”Rombongan?”

”Iya. Rombongan Rumah Sakit Jiwa Bandung”

”Oh ya?”

”Iya”

”Berapa orang?”

”Berapa ya?” saya sedikit bingung. Soalnya yang datang masíh belum pasti jumlahnya. Yang sudah mengaku akan datang, saya hitung dibawah 12 orang.

”Sekitar 12 orang”

”Sebentar ya”

Si Bapak pemilik KRB berjalan menuju teman dibelakangnya. Ada 2 orang disana. Tiga orang jadinya termasuk si Bapak tadi. Mereka mengobrol. Saling bertukar pandang. Saling mengoceh tak karuan. Sambil sesekali melirik saya.

Tak lama. Si Bapak kembali lagi.

”Dari Rumah Sakit Jiwa Bandung?”

”Tidak boleh ya Pak kalau orang Bandung kesini?” sengaja tidak saya jawab pertanyaan si Bapak. Biar dia semakin bertanya-tanya.

”Ih boleh atuh. Siapa saja juga boleh masuk. Ini kan umum”

”Oh saya kira khusus orang Bogor dan orang Belanda saja”

”Ya nggak segitunya atuh Pak”

”Kalau saya bertiga boleh masuk duluan?”

”Berdua Pak. Anak dibawah 5 tahun tidak dihitung”

”Jadi boleh Pak?”

”Boleh saja. Tapi yang lain mana?”

”Nanti Pak. Mereka mah menyusul. Mungkin 1 jam lagi. Masih di Cikunir. Soalnya tadi ada yang mengamuk”

”Ngamuk?” Mereka suka ngamuk?”

”Kadang sih Pak. Makanya dibawa kesini juga. Ini bentuk pengobatan terapi khusus”

”Oh...”

”Jadi boleh saya masuk duluan?”

”Oh iya silakan saja”

”Berapa?”

”Jadi 18 ribu rupiah”

Saya keluarkan uang dua puluh ribuan dari dompet. Lalu berikan pada si bapak.

”Saya heran. Sekarang-sekarang banyak uang palsu beredar. Kebanyakan yang 20 ribu dan 50 ribu” kata saya setelah uang dipegang si Bapak dan tiket dipegang saya.

”Iya...” kata si Bapak. Dia langsung terawang, raba, dan periksa uang dari saya. Kayaknya asli. Soalnya dia mengembalikan 2 ribu rupiah pada saya.

Tanpa banyak bicara lagi, saya giring lagi Revo & Ummi Brun-brun menuju ke dalam. Menuju Kafe Dedaun. Yang dulu halamannya sempat dijadikan landasan helikopter si Kampret Bush. Sayang sekarang proyek seharga 2 milyar itu tidak ada bekasnya sama sekali. Sialan kata saya.

Ummi Brun-brun yang belum pernah masuk terkagum-kagum. Revo malah minta turun. Lantas berlari-lari. Saya berikan bola yang saya pegang sejak dari rumah padanya. Buat dia tendang-tendang. Mumpung lapangannya luas. Tidak seperti di rumah yang serba sempit.

Saking luasnya saya bingung harus mencari tempat dimana. Tempat buat kumpul bareng kawan-kawan yang sebentar lagi bakal datang. Itu rumput yang ada pohon berbuah kelapa besar akhirnya saya pilih. Lumayan teduh. Meski sedikit tersembunyi. Biarlah kata saya. Toh yang datang pun memang orang-orang berbahaya. Jadi lebih baik dijauhkan dari manusia-manusia kebanyakan.

Menit menit berlalu. Akhirnya satu persatu orang-orang yang saya bilang dari Rumah Sakit Jiwa Bandung datang. Pertama datang Beybek, Purwa, dan Naura. Mereka perwakilan dari RS Jiwa Cilendek Bogor. Tak lama datang Japra, Ira, dan Nyawa. Menyusul kemudian Anak Baik, istrinya, Fatih, Basoka, Lia, Hana, dan Iah. Yeahhh.... party dimulai.


Bukan keterangan tambahan:
Isi party tidak dipublikasikan karena rahasia dan banyak kata-kata yang tidak akan lolos lembaga sensor. Bagi kawan-kawan yang tidak hadir, diminta bersabar dalam usaha penyembuhan penyakitnya.

0 komentar: