Ke Kebun Raya#1 (Naik Kereta)

Rabu, 12 Agustus 2009



Pagi. Jam 6 kurang 100 menit. Seperti biasa itu saya sudah bangun tidur. Tapi tidak tidur lagi. Dan tidak bangun lagi. Tidak seperti yang (alm) Mbah Surip nyanyikan.

Setiap jam segitu, mata saya memang otomatis selalu terbelalak. Bukan terbelalak akibat melihat Kuntilanak. Ini sudah otomatis dari sananya. Mungkin ketika pabrik mata saya memproduksi mata saya, mereka sudah mengaturnya seperti ini.

Hanya saja pagi ini saya tidak bangun seperti biasa. Seperti hari-hari biasa maksudnya. Hari ini saya harus ke Kebun Raya Bogor. Bertemu dengan para eks pasien RS Jiwa Bandung yang dulu sempat dirawat bareng dengan saya.

Revo masih tidur di kasur. Kebetulan kata saya. Saya bisa persiapan dulu dengan tenang. Tanpa direcoki dia. Soalnya semalam saya tertidur lebih awal. Kecapekan habis bersih-bersih rumah kayaknya.

Saya pergi ke dapur. Membuat dapur berantakan. Membuat akhirnya lengkeng dicampur sirup. Membuat telur dadar menjadi spesial. Membuat mendoan menjadi hangat. Membuat tas saya menggembung oleh barang yang sengaja saya masukan.

“Kita naik kereta ke stasion ya?”saya sedikit berteriak ke orang yang ada di dalam kamar mandi.

“Ya iyalah” Ummi Brun-brun menjawab dari dalam kamar mandi. Dia tadi yang membantu saya membuat dapur berantakan. Akibatnya dirinya menjadi kecapekan. Mungkin karena itulah dia pergi ke kamar mandi. Tapi hal itu membuat saya bertanya-tanya. Kenapa capek malah pergi ke kamar mandi.

“Lagi mandi?” tanya saya

“Cuci muka” dia kemudian membuka pintu kamar mandi

“Cuci muka saja kok ditutup?”

“Sekalian pipis tadi”

“Memang bisa pipis sambil cuci muka?”

“Hah???”

Ummi Brun-brun terhenyak dengan pertanyaan itu. Tidak bisa menjawab. Seperti biasa.

Setelah itu adegan-adegan kehidupan saya mengalir bagai air. Tapi saya kira tidak semua adegan harus dibahas. Termasuk tidak usah dibahas, bagaimana kalau setelah kami keluar pagar rumah ternyata Ummi Brun-brun lupa membawa helm.

Jagakarsa, pagi itu sudah ramai. Motor sengaja saya bawa pelan-pelan. Tidak saya gunakan seperti orang balapan. Maklumlah namanya juga melewati pasar. Kalau saya bawa motor seperti pembalap, bisa-bisa saya digebukin orang sepasar. Dari pasar, saya lajukan motor ke pertigaan jalan Jagakarsa – Lenteng Agung. Lalu belok kiri setelah tanjakan. Terus. Lurus menyusuri Lenteng Agung. Nah itu disana. Di depan kampus IIP saya putar arah motor menuju Depok. Lantas lurus lagi. Namun tidak sampai Depok. Sekitar 500 meter saya belokan motor ke kanan. Masuk ke Stasiun Lenteng Agung.

Akibatnya motor saya parkir. Revo dan Ummi Brun-brun terpaksa harus merelakan motor ditinggal sendiri. Eh, banyakan deng. Sudah banyak temannya disana. Malahan ada penunggunya juga. Jadi mirip kuburan pikir saya.

“Piknik Pak?” tanya si penunggu tadi. Ramah. Penuh senyum.

“Ih kok tahu?” balas saya kembali bertanya.

“Keliatan” si penunggu tersenyum. Matanya melirik ransel saya yang menggembung dan bola plastik yang saya pegang dari tadi.

“Sebenarnya sih mau reunian”

“Temen sekolah Pak?”

“Bukan. Teman sesama mantan pasien Rumah Sakit Jiwa. Ada Japra, Basoka, adiknya Wati kakaknya Iwan. Bebek, banyak deh pokoknya”

“Oh” mimik si penunggu berubah drastis.

“Mau ikutan, Pak?” tanya saya mencoba membalas keramahan si penunggu.

“Eh… Eh… Nggak . Makasih”

“Kalau Rumah Sakit Cilendek jauh ya dari Kebun Raya?”

“Saya kurang tahu Pak?”

“Oh ya sudah. Saya nitip motor ya?!”

“Heeh”

Saya bawa Revo dan Ummi Brun-brun menjauhi si penunggu tadi. Biarlah dia begitu kata saya. Biar motor saya nantinya tidak banyak diusik. Memangnya berpengaruh ya dengan cara seperti itu? Tidak tahu.

Di depan saya ada dua orang. Pakai seragam. Ganteng. Bukan berarti saya suka orang ganteng. Ini karena saya jujur saja apa adanya.

“Kemana Pak?” tanya salah satu dari si ganteng maut tadi.

“RS Jiwa Cilendek”

“Hah?”

“Itu dekat Kebun Raya Bogor”

“Oh Bogor. Pakai apa?”

“Pakai kereta dong”

“Iya kereta yang mana? Ekonomi atau AC?”

“Oh… AC saja. Biar sampai Bogor”

“Dua-duanya juga sampai Bogor Pak”

“Biar ah saya mah pakai AC saja” balas saya sambil tersenyum.

Itu setelah saya membeli 2 karcis, kami pergi menuju tempat duduk. Menyebabkan kami menunggu terdiam selama ¼ jam disana.

Tak lama kereta datang. Saya masuk. Sebelumnya sudah masuk terlebih dahulu Revo dan Ummi Brun-brun. Ternyata kereta lumayan penuh. Semua kursi sudah diisi. Terpaksa saya berdiri. Begitu juga Ummi Brun-brun. Revo tidak. Dia digendong.

Entah kasihan, entah bisulan. Ada seorang bapak mempersilahkan Ummi Brun-brun duduk. Dia memilih berdiri. Seperti saya. Heran jadinya saya. Kenapa tadi bukan saya yang disuruh duduk. Kurang apa saya. Padahal saya bawa ransel yang begitu berat. Tidak jauhlah dengan Ummi Brun-brun yang gendong Revo. Kalau kemudian disambungkan dengan isu kesetaraan gender, harusnya hal demikian sudah tidak boleh terjadi. Iya itu. Mendahulukan wanita karena mereka lemah. Kan kalau sudah setara harusnya laki-laki juga bisa didahulukan dong. Tapi biarlah. Saya tidak akan mendemo DPR gara-gara masalah gender ini. Dari dulu saya memang tidak percaya DPR. Apalagi demokrasi dan kesetaraan gender ala para feminis itu.

Semakin kereta merayap menuju Bogor, semakin silih berganti pula orang yang masuk dan keluar. Hingga tak disangka tak diduga saya dihadapkan pada sebuah lahan kosong di depan mata saya. Tepatnya di depan tempat saya berdiri. Tentu saja hal ini tidak saya sia-siakan. Duduklah saya penuh suka cita disana.

Beruntungnya saya. Sudah dapat tempat duduk empuk eh disamping ada teteh-teteh cantik pula. Cantiknya tidak kepalang. Selangit lah. Jujur saja, saya memang suka teteh-teteh cantik. Masih mendingan kan daripada suka laki-laki ganteng.

Si Teteh nampaknya tidak sedang akan kuliah. Sebab hari sudah menjadi minggu. Tidak pula akan bermain bola. Sebab tidak membawa bola seperti saya. Tapi yang jelas nampaknya dia masih mahasiswi. Umurnya dibawah 25 tahun.

“Bom… bom… bom…” sengaja saya berbicara begitu. Pelan. Sengaja juga saya arahkan suara saya biar hanya dapat didengar si Teteh saja. Begitu saya lakukan berulang-ulang.

“Mas!” bahu si Teteh menggoyang-goyang badan saya.

“Oh ya??!” saya seolah-olah kaget. Padahal aslinya gembira ria.

“Ada apa?” tanyanya

“Oh… tidak ada apa-apa. Saya sedang melihat korang yang dibaca si bapak” tunjuk saya ke arah bapak-bapak diseberang kami. Dia memang sedang membaca Koran. Headline korannya tentang penangkapan Noordin M Top di Temanggung.

“Ooo…”

Suasana kembali hening. Hanya deru kereta melaju yang terdengar.

“Hahaha…” saya tiba-tiba terkekeh.

Si Teteh mahasiswi melirik saya penuh tanya. Tapi tidak berkata-kata. Diam. Mulutnya membatu.

“Polisi tuh salah tangkap. Yang mereka tembak itu bukan Noordin”

Dia kembali melirik. Namun kembali tidak merespon.

“Ibu tahu tidak kalau Noordin M Top masih hidup?”

Dia mendelikkan matanya. Lagi. Tapi kayaknya masih enggan merespon saya. Rona mukanya menjadi semakin berubah. Sialnya dia tetap cantik meskipun begitu.

“Ibu tahu Noordin M Top masih hidup?”

“Saya bukan ibu-ibu”

“Oh iya maaf Mbak”

“ Tapi Mbak tahu tidak?” tanya saya kembali.

“Nggak” Dia merogoh sesuatu dalam tasnya. Sebuah buku tebal. Sepertinya sebuah textbook.

“Kalau Noordin M Top masih hidup, takut tidak Mbak?”

“Maaf saya lagi membaca, Mas” jawab dia tidak menoleh sedikit pun. Mulutnya komat-kamit. Persis orang sedang mmembaca mantera. Dukunkah dia?

“Mbak, kalau saya Noordin M Top itu bagaimana?”

“Eh!” dia memandang saya aneh. Ada unsur terkejut. Tapi judesnya tidak ketinggalan.

“Percaya tidak kalau saya Noordin M Top?”

“…” masih tidak ada jawaban. Matanya mulai menelanjangi saya dari bawah hingga atas. Pelecehan seksual kata saya.

“Percaya tidak ransel yang saya bawa isinya bom?”

“…” dia bergerak. Kepalanya menengok ransel saya yang sudah bolong. Nampak baju Revo dan termos berisi air minum didalamnya. Namun dari bahasa tubuhnya, seolah-olah dia mau bilang; Ih sape sih elu? Aneh banget dech. Pake sok-sok akrab segala. Nakut-nakutin pula. Punya jenggot seuprit aja belahu ngaku-ngaku Noordin M Top. Muke lu jauh tuh! Asal elu tahu, saya sudah bertunangan. Nih lihat cincin berlian di jari manis gue. Tunangan gue itu keren. Kara raya. Sekolahnay luar negeri. Kerja di perusahaan asing. Nah elu siape?

“Teroris” jawab saya dalam hati sambil melihat kaos hitam saya yang memang bertuliskan TERRORIST.

0 komentar: