…and the real bomber is….

Sabtu, 25 Juli 2009


Itu hari mendadak Jumat. Entah kenapa saya tidak Jumatan. Mungkin karena saat itu jam masih menunjukan 7 pagi. Atau mungkin karena khatibnya belum datang. Ah biarlah. Itu urusan dia. Saya kan tidak akan sholat Jumatan di deket kontrakan. Saya sholat di kantor saja yang Jumatannya jam 12 siang. Bagi saya jumatan di kantor lebih menarik. Sebab banyak orang jualan. Jualan apa saja. Dari bibit toge sampe moge. Semua ada. Menyebabkan mesjid seperti pasar yang kaget. Meski tidak ada orang-orang yang kaget karena hal tersebut. Mungkin sudah terbiasa. Mungkin.

Namun sebelum saya pergi ke pasar eh ke masjid. Tentunya saya harus ke kantor dulu. Sebelum ke kantor pasti saya harus mandi dulu. Kalau tidak mandi saya suka kasihan dengan keberadaa sabun & shampo di kamar mandi saya. Mereka jarang saya pakai. Bukan saya jorok atau tidak suka mandi tapi hal ini sebenarnya merupakan pilihan yang dilematis. Sebab bila saya sering memakai mereka, saya laksana seorang pembunuh berdarah dingin yang pelan-pelan membunuh mereka.

Seperti halnya pagi tadi. Saya menyengajakan diri menjadi pembunuh lagi. Itu saya lakukan ketika menjadikan diri saya seperti Inem si Pelayan Seksi. Obral pantat kesana kemari sambil tak lupa mengepel lantai. Namun sebelum menjadi pembunuh. Saya jadikan diri saya Tuhan. Saya hidupkan TV. Berhasil. TV-nya hidup. Dia berbicara bahasa manusia. Katanya ada bom di sebuah tempat di pusat Jakarta sana. Busyet! Saya bunuh itu TV. Tapi tak lama saya hidupkan. Penasaran ceritanya.

Awalnya saya mengira apa yang TV bincangkan pada saya adalah sebuah adegan sinetron. Baik juga ini TV memberi saya kisah menarik di pagi hari. Mentang-mentang saya Tuhan baginya. Padahal buat Tuhan seperti saya, tidak usahlah membalas budi seperti itu kalau hanya mau mencuri hati Tuhannya. Saya cukup tahu diri kok sebagai Tuhannya TV saya. Saya Tuhan yang Maha Tidak Arogan.

Selang beberapa menit sejak saya hidupkan TV, saya membuat diri saya bagai arca Buto Cakil akibat gambar-gambar dan keterangan yang TV berikan pada saya.

Lama saya berpikir. Antara sadar dan tidak. Saya kebingungan antara meneruskan mengepel lantai atau duduk dengan tekun melihat TV. Sebab di waktu yang akan datang, tidak lama lagi, saya harus pergi bekerja. Ah biarlah kata saya. Sekali-kali telat tidaklah mengapa. Apalagi tempat dimana yang mana TV katakan itu sangat dekat dengan jiwa saya. Kuningan itu dekat Ciamis. Dan Mak Erot itu legenda segala jaman yang berasal dari Tatar Sunda. Kebetulan saya terlahir dari orang tua bersuku Sunda. Tapi bukan Mak Erot tentunya.

Sayang saya salah dengar. Ternyata yang dimaksud Kuningan disana bukanlah Kuningan yang dekat dengan kampung orang tua saya di Ciamis sana. Kuningan yang dikatakan TV adalah Kuningan yang dekat dengan gedung-gedung itu. Ya itu yang tinggi-tinggi disana. Kelihatan kalau dari kantor saya. Tidak tahu kalau dari situ. Begitu juga dengan Mak Erot. Ternyata yang benar Marriot. Pantas saja saya kebingungan dari tadi. Setahu saya kan Mak Erot sudah meninggal dunia. Kenapa kok tiba-tiba muncul di TV lagi. Arwah penasaran kah?

Sembilan orang tewas. Belasan luka-luka. Begitu yang si TV bilang. Korban yang is dead kebanyakan dari luar negeri. Luar negerinya bukan Timor Leste. Luar negeri sana. Kampungnya orang-orang seperti Rambo & James Bond. Lihat saja nama 15 top executive yang terciprat bom kemarin; Patrick Foo, Edward Thiessen, Pedro Sole, David Potter, Andy Cobham, Timothy Mackay, Garth Mcevoy, Mariko Yoshihara, Noke Kiroyan, Natan Verity, James Castle, Max Boon, dan Kevin Moore. Hampir semua namanya khas tipikal negerinya James Bond dan sejenisnya. Atau mungkin jangan-jangan mereka masih saudara dengan James Bond.

Apalagi kalau dilihat 3 nama terakhir, sekilas saya bisa menangkap kalau mereka ada hubungan dengan James Bond. Bisa James Bond sedang menyamar atau bisa juga mereka sedang reunian sesama mantan James Bond. Lihat saja ada nama James. Kalau Bond-nya dipakai kan jadi James Bond. Trus ada Max Boon yang kalau “O”-nya dibaca panjang 2 harakat hasilnya sama seperti baca Bond. Terakhir ada nama Moore. Nama ini sangat identik dengan pemeran klasik agen 007 yaitu Roger Moore.

Sayangnya analisa ini tidak digunakan oleh media. Entah kenapa. Saya tidak tahu alasannya. Seperti tidak tahunya saya kenapa analisa Dr Carl Ungerer (Australia) dan Noor Huda Ismail (direktur sebuah LSM) yang justru lebih mereka terima. Padahal analisa mereka tentang para alumni Afghan yang terlibat belumlah kuat adanya.

Apa ini dikarenakan saya bukan doktor atau direktur LSM. Ah kalau alasannya karena itu saya bakalan protes dengan media-media itu. Cantik-cantik begini saya ini lulusan bimbingan belajar sampai tiga tahun berturut-turut. Belum lagi kuliah selama 7 tahun di dua kampus yang berbeda. Jadi kalau ditotal saya ini sudah 30 tahun menuntut ilmu. Tentunya dengan pengalaman menuntut ilmu sebanyak itu, tingkatan saya sudah selevel dengan profesor. Kalau doktor seperti Carl Ungerer itu mah masih ecek-ecek namanya. Pun begitu kalau alasannya gara-gara saya bukan direktur seperti Noor Huda Ismail. Saya memang bukan direktur LSM tapi saya direktur sebuah CV di Bandung. CV beneran. Bukan fiktif. Dan bukan Curiculum Vitae.

Jujur, saya merasa jealous dengan pilih kasihnya media yang tidak mewawancara saya. What da hell it is??? Pekik saya sok kebarat-baratan. Tentunya dengan logat Sunda nan kental. Saya selaku pengamat yang dari dulu memang bisanya hanya mengamati, jadinya curigeseun (baca; curiga) dengan pilihan media ini. Saya merasa media sengaja memilih opini yang memang diarahkan agar masyarakat semakin antipati terhadap kelompok tertentu. Khususnya kelompok aktivis Muslim yang konsern terhadap perjuangan Islam.

Dugaan saya makin kuat setelah mendengar pidato SBY yang—meskipun menunjukkan alternatif tersangka lain, berupa ancaman politis terhadap dirinya—tetap mengarahkan tuduhannya pada aksi teror yang saya tanda kutipi; “telah kita kenal sebelumnya.” Siapa coba?

Saya jujur belum berkenalan. Dan saya yakin SBY pun belum kenalan. Tapi kenapa dia sok kenal? Apa SBY tidak punya malu sok-sok kenal dengan orang? Nanti kalau ditanya oleh orang tersebut “Siape elu?” apa yang mau dijawab. Tapi biarlah itu kan resiko SBY yang sok akrab. Kalau saya, saya akan jawab semau saya. Tidak akan saya publikasikan. Takut dicontek jawabannya. Sebab kata ibu guru mencontek dan memberikan contekkan itu dosa.

Balik lagi ke tuduhan diatas. Saya rasa kalaulah mau melihat realita di lapangan dan meja pengadilan (dengan asumsi tuduhan terorisme itu benar dilakukan oleh aktivis Islam yang dituduh teroris), sebenarnya para aktivis Islam saat ini sudah tidak memiliki “apa-apa” lagi. Jangankan untuk memiliki sarana-sarana militer, pergi berdakwah saja sekarang sulitnya minta ampun. BBM mahal. Belum ongkos-ongkos lainnya yang ikutan melonjak.

Kawan saya, Pendekarpemetikbunga, sempat membuktikan kalau ternyata untuk pergi berdakwah saja saat ini memang tidaklah mudah. Kebetulan beberapa waktu lalu dia menjadi panitia keberangkatan para ulama Bandung untuk pergi ke Muktamar Ulama Nasional di Jakarta.

”Lagi pada kosong nih. Kas tidak ada sedikit pun” jelas Pendekarpemetikbunga.

“Lantas butuhnya berapa?” kata saya seolah-olah Bos. Maklum namanya juga direktur.

“Satu milyar euy!” jawabnya

“Alhamdulillah! Satu milyar ya? Tidak kurang banyak tuh.”

“Ini untuk memberangkatkan 1.000 ulama”

“Oh. Memang kurangnya berapa?”

“Ya segitu!”

“Kapan terakhir harus tersedia dana?”

“Satu jam lagi. Soalnya DP naik pesawat harus masuk.”

“Ya sudah ini saya ada 1 trilyun. Kira-kira cukup tidak?”

“Gimana kalau dua belas setengah saja? Nanti dapat setengah lusin?!”

“???” saya heran

Kawan saya yang satu ini memang aneh. Diberi satu trilyun malah ingin dua belas setengah. Memangnya ini sedang jual beli celana kolor. Tapi ya memang begitulah. Saking susahnya cari dana untuk pergi dakwah, segala cara dicoba. Meskipun kadang tidak menyambung.

Itulah kenapa saya bilang kalau tuduhan yang dilakukan orang-orang yang ada di paragraph 12 & 15 rasanya masih jauh panggang daripada api. Seharusnya tuduhan itu justru lebih tepat ditujukan pada pihak-pihak yang memiliki keuntungan atas kejadian ini. Bukan pada orang yang ujung-ujungnya malah mereka sendiri yang jadinya merugi.

Tanpa mengecilkan orang-orang yang telah melakukan analisa tentang siapa saja yang diuntungkan dan siapa yang tidak, saya mencoba membuat analisa sendiri tentang pihak yang diuntungkan dan yang ada dibalik semua ini. Benar atau tidaknya, namanya juga analisa. Setiap analisa kemungkinannya hanya dua itu. Akan tetapi kalau ditanya kredibel atau tidak, jelas analisa saya tidaklah kredibel. Meskipun begitu, maunya saya itu analisa dipercaya dan menjadi mitos dimana-mana.

Sesuai dengan apa yang saya indera, James Bond sebenarnya layak untuk dijadikan tersangka dari salah satu/kedua pengebom. Ini dikaitkan dengan nama daftar 15 orang top executive yang terkena bom. Yang tadi itu sudah saya sebut-sebut. Yang kata saya itu mereka memiliki hubungan dengan James Bond.

Sangat mungkin motif aksi ini adalah untuk menaikan rating film James Bond terbaru. Ataupun agar film James Bond berikutnya menjadi laku. Ini dikarenakan salah satu dari James Bond yang ada benar-benar terkena bom. Sehingga dengan matinya salah satu James Bond, diharapkan ada simpati serta dukungan yang lebih dari penonton kepada film James Bond. Dan kematian salah satu Bond ini pun saya rasa sudah direncanakan oleh pihak yang terkait dengan film Bond. Mematikan satu Bond bisa jadi dianggap sebagai wadal (ket: kurban) agar tujuan ke depan manglaris (ket: laris manis). Yah namanya juga Bond di Indonesia. Mau tidak mau, sedikit demi sedikit, mereka juga mempelajari budaya nyeleneh negeri ini. Mungkin Bond juga mencoba mengapliasikan petuah ”Dimana langit dijunjung, disitu bumi dipijak”. Wabond’alam.

Sedangkan salah satu/kedua tersangka pengebom lainnya yang menurut saya bisa dijadikan tersangka adalah Manajemen MU. Sangat mungkin mereka orang-orang suruhan manajemen MU. Motifnya tentu saja uang. Mereka ingin uang tanpa harus keluar keringat. Saat ini MU mendapatkan 1,9 juta dolar AS atau Rp 19,1 miliar. Dana ini mereka dapat dari panitia lokal Indonesia. Belum dari sponsor-sponsor swasta.

Makanya sangat mungkin kalau mereka ikhlas memberikan kemenangan untuk Indonesia 3:0 (baca tulisan Indonesia taklukan MU 3:0). Padahal sebenarnya itu hanyalah trik untuk menyembunyikan siasat mereka. Lagi pula saya yakin mereka ogah bermain di lapangan yang rusak bekas digunakan kampanye pilpres. Bagi mereka, kesehatan pemainnya -yang bernilai trilyunan rupiah- lebih penting daripada harus bermain bola di Indonesia. Satu saja pemainnya cedera, ongkos ke tukang urut dan mantri kesehatan jauh lebih mahal ketimbang dibayar oleh Indonesia.

Namun dibalik dua pihak tadi, sebenarnya masih ada pihak lain yang patut dicurigai menjadi tersangka meskipun kecil kemungkinannya. Mereka adalah para bobotoh MU yang kecewa tidak mendapatkan tiket nonton MU. Bagi mereka yang benar-benar setia pada MU, kalaulah ada yang tidak menonton satu orang saja maka semua pun tidak boleh menonton. One For All. All For One.

Hanya saja kemungkinan itu sangat kecil. Seperti yang tadi saya bilang. Untuk mendapatkan semua peralatan dan ilmu tentang bom saat ini bukanlah sesuatu yang mudah. Terlebih bagi bobotoh MU yang notabene kebanyakan dari kalangan sipil. Paling separah-parahnya mereka, mereka hanya mampu membuat bom karbit yang efeknya memekakan telinga saja. Tidak menghancurkan.

Sudah memekakan telinga saja sebenarnya sudah harus disyukuri. Itu pertanda karbit yang dipakai masih asli. Harap dimaklum, Indonesia negeri manipulasi. Segala sesuatu bisa dibuat tiruannya. Karbit yang masih tidak terlalu mahal pun kalau demi kepentingan ekonomis bisa diracik agar murah dengan –mungkin- campuran tepung dan boraks. Ya seperti cerita tentang sosis, baso, dll yang serba palsu kemarin itu.

***

Lalu siapa yang melakukan pengeboman? Silakan saja cari tahu sendiri. Mau percaya apa yang saya bilang terserah. Mau percaya ini konspirasi juga terserah. Mau percaya ini kerjaan intelejen asing juga terserah. Yang jelas jangan pernah berharap kalau pelaku pengebom ini bakal seperti di piala Oscar kan. Iya itu seperti begitu. Seperti …… and the real bomber is……

0 komentar: