Sejenak Bersama Calon Menteri #2

Sabtu, 31 Oktober 2009




“Pak, Bapak suka masakan Sunda tidak?” tanya saya ditengah keheningan.

“Suka-suka saja, Mas” timpal si Bapak, “Emang kenapa?”

“Syukurlah. Soalnya tadi saya pesan masakan Sunda”

“Iya ya? Tapi bukannya tadi pesan makanan Londo (baca: bule)?”

“Bukan Pak! Yang tadi saya pesan itu masakan asli Sunda”

“Gitu ya?”

“Iya. Tadi kan saya bilang Banana Split and Raisin Sundae. Nah itu lihat Sunda kan?”

“Oh iya ya”

“Ya iyalah. Masa ya iya dong. Mulan aja Jamilah bukan Jamidong”

“Gimana Mas?”

“Sudah. Lupakan saja, Pak. Itu sudah datang pesanannya!”

Pelayan datang membawa 2 cangkir sundae dan 2 steak dalam hotplate yang masih bergemericik. Tanda masih panas.

“Ayo Pak dimakan! Mumpung masih hangat”

“Saya makan diluar saja, Mas”

“Si Bapak mah bagaimana sih. Kalau makan diluar mah buat apa saya ajak Bapak ke dalam” kata saya, “Sudah makan saja!”

“Malu Mas. Masa kayak gini?” sambil malu-malu si Bapak memperlihatkan baju usang dan celana kotornya.

“Sudah santai saja. Rasululah juga bajunya lebih parah dari Bapak tapi dia tidak malu. Yang penting itu hati dan imannya. Baju mah tidak jadi ukuran seseorang itu masuk surga atau tidak. Kecuali kalau Bapak tidak menutup aurat” jelas saya, “Bapak auratnya nongol tidak?”

"Ndak, Mas. Resletingnya nutup kok” jawab si Bapak dengan tersenyum.

Akhirnya kami pun makan dengan mahsyuknya. Seperti apa makannya, tidaklah perlu saya bahas. Yang jelas si bapak nampaknya kesulitan ketika makan dengan menggunakan garpu dan pisau. Tanpa sendok pastinya. Mungkin dia saat ini sedang berpikir, di tangan sebelah mana saya harus letakan kedua benda ini.

“Nah begitu, Pak. Dimakan. Kalau kurang bilang saja”

“Kalau mau sama pelayannya sekalian juga boleh” kata saya membukan pembicaraan lagi. Tanpa begini saya yakin si Bapak merasa bahwa ini neraka baginya.

“Mau Pak sama si Mbak tadi?” itu senyum saya menjadi nakal.

“Mas, ini tau aja. Saya ini sering nikah loh, Mas”

“Hah??? Serius Pak?” tanya saya terkaget-kaget, “Poligami dong?!”

Ndak poligami. Saya nikah 7 kali. Tapi setiap nikah dengan yang baru saya ceraikan dulu. Cerainya juga baik-baik”

Subhanallah. Hebat banget sampai 7 kali. Enak dong. Hehehe…” canda saya, “Kalau di Wiro Sableng sudah punya ilmu kedigjayaan tingkat tinggi tuh”

“Namanya juga cerai, Mas. Ndak enak. Apalagi ini cerai karena ndak punya keturunan”

“Kok bisa Pak?”

“Saya ini dibilang laki-laki mandul oleh dokter”

Glek. Saya menelan ludah. Mau berkomentar tapi khawatir salah. “Tapi bukannya Bapak punya anak yang menjadi guru SD?”

“Iya itu setelah saya berobat ke Sensei. Orang Cina sini”

Tokcer?”

“Iya tokcer” jawab si Bapak, “Pakai ramuan Cina”

“Hebat euy” kata saya, “Kalau obat biar bisa menambah istri ada tidak, Pak di Sensei itu? Saya mau lah. Mau poligami. Hehehe…”

“Argh… si Mas ini” Si Bapak terlihat manis-manis manja. Kulitnya yang tadinya coklat legam sedikit merona. Tapi tidak mengkilat seperti ketika baru datang tadi. Mungkin ini efek sundae yang sedang dia makan sekarang.

Sambil memotong daging steak yang tinggal setengah lagi, saya lantas bertanya lagi pada si Bapak perihal jumlah anaknya. Dia jawab tiga orang. Bukan dua seperti yang dia katakan sewaktu masih di Lawang Sewu.

“Satu lagi itu anak angkat, Mas” jelas si Bapak, ”Saya ambil dari Stasiun Tawang. Kasihan soalnya terlantar begitu”

“Orang tuanya kemana? Kok bisa anak 7 tahun keliaran di stasiun?”

“Ini anak tersesat. Sudah begitu tidak bisa menyebutkan alamat rumahnya. Tadinya dia ikut orang tuanya tapi ketika di stasiun Surabaya salah naik kereta. Orang tuanya naik yang satu, dia naik yang lain”

“Kayak Home Alone saja, Pak”

“Apa itu , Mas?”

“Lanjut terus, Pak! Tadi mah bukan apa-apa”

Akibat perintah saya itu menyebabkan si Bapak menceritakan tentang anak angkatnya itu lagi, yang katanya cuma bermodal celana dekil, yang katanya sudah seminggu tiduran di emperan stasiun, yang katanya kalau celananya basah itu biasa dijemur di lokomotif lalu dia duduk rapat menutupi kemaluannya, yang katanya korban keluarga brokenhome, yang katanya punya codet
di mukanya karena dituduh maling jemuran, yang katanya baru bisa bertemu orang tua aslinya setelah ia menikah, yang akhirnya si Bapak bawa ke rumahnya lalu syukuran sederhana mengundang pihak PT KA, warga, dan keluarga untuk mengenalkan anak itu.

“Kasihan, Mas. Masa sih kita tega melihat anak kecil begitu!” jawab si Bapak ketika saya tanya alasan mau menolong anak itu. Si Bapak lalu melanjutkan perbincangan lagi. Menurut si Bapak, hanya orang jahatlah yang tega melihat si anak terlantar di pelataran stasiun yang kotor. Bagi dia, kaya atau miskin keadaan seseorang bukan alas an untuk tidak menolong bocah tadi.

“Rizki itu sudah ada yang mengatur, Mas!” tegasnya, “Biar saya narik becak begini, saya yakin ini anak punya rizkinya sendiri”

“Tuh lihat sekarang dia sudah jadi sopir bus AC eksekutif jurusan Semarang-Surabaya” kata si Bapak lagi, “Dulu mikir sekolahin dia sampai SMA saja kayaknya tidak mungkin. Tapi nyatanya? Dia tamat SMA. Dia sudah nikah sekarang. Punya rumah dan tanah. Itulah rizki”

Subhanallah si Bapak ini luar biasa. Salut saya”

Si Bapak mesem-mesem saja.

“Bapak ini cocoknya jadi Menteri, Pak” kata saya, “Kalau calon Menteri-menteri yang sekarang sedang ramai di TV mah tidak ada yang pantas. Termasuk Presidennya. Masih lebih pantas Bapak”

Ndak segitunya lah, Mas”

“Eh benar ini, Pak” kata saya, “Coba saja Bapak lihat. Mana ada pemimpin negeri ini yang seperti Bapak? Ada pengungsi Afghanistan yang butuh tinggal malah diusir, digebukin. Padahal mereka sama-sama muslim. Sama-sama manusia pula”

“Saya yakin, tidak ada satu pun pemimpin negeri ini yang mau mengadopsi anak anak terlantar yang ada di Stasiun Gambir sana. Padahal mereka itu kerjanya bolak-balik di sekitar situ’ ujar saya lagi.

“Mereka kan sibuk mengurusi Negara, Mas”

Lha, anak terlantar juga kan urusan mereka. Mengurus mereka sama dengan mengurus Negara juga. Bukannya ada di Undang-Undang?” timpal saya, “Kalau yang Bapak maksud mengurusi Negara itu adalah membuat “kurus” negara, nah itu baru saya setuju”

“Hehehe…” si Bapak tertawa.

“Tapi benar loh, Pak. Kalau Bapak itu lebih cocok jadi Menteri ketimbang penarik becak. Saya usulkan Bapak menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan saja. Dan saya Menteri Pariwisatanya.”

“Kok Menteri Menteri Pertahanan dan Keamanan, Mas?”

“Soalnya Bapak mampu bertahan hidup membiayai keluarga meskipun hanya sekedar menjadi penarik becak. Sudah begitu malah angkat anak pula dan semuanya berhasil menjadi orang. Padahal logikanya kan mana mungkin Bapak dengan keadaan seperti itu dapat membuat anak-anak Bapak berhasil seperti sekarang ini”

“Hehehe…” si Bapak tertawa lagi, “Lha Mas sendiri kok kenapa pilih jadi Menteri Pariwisata?”

“Kan saya hobinya keliling-keliling. Berkelana kalau Rhoma Irama bilang. Ya kayak sekerang ini” itu saya buat bibir saya menjadi tersenyum.

“Hehehe…” lagi-lagi si Bapak tertawa tanpa logat Jawa tentunya. Soalnya tertawa tidak bisa pakai logat.

“Tapi, Pak! Kita jangan mau kalau ditawarin menjadi Menteri di Negara Indonesia!”

“Kenapa Mas?”

“Indonesia mah sebentar lagi juga hancur. Sudah tidak benar. Lagian sistemnya juga amburadul” jawab saya, “Mending nanti kita menjadi menteri di Negara Khilafah Islamiyah saja”

“Khilafah itu apa?”

Kebetulan sekali pikir saya. Ini pertanyaan yang menjadi sasaran empuk buat saya. Dan mungkin sangat diharap-harapkan oleh banyak orang yang juga punya pemikiran sama seperti saya. “Khilafah itu Negara untuk seluruh ummat Islam di dunia. Ia…”

Belum sempat saya meneruskan definisi Khilafah, sekonyong-konyong muncullah itu pelayan yang tadi menghilang memotong pembicaraan tanpa alat-alat seperti gunting atau pisau.

“Maaf Mas, pesanannya sudah siap”

“Oh ya. Terima kasih” kata saya, “Ayo ah Pak kita pulang”

Kami pun lekas pergi dari meja café. Si Bapak keluar, saya ke kasir. Saya bayar lalu angkat satu kardus pesanan yang sudah ditunggu-tunggu dari tadi. Setelah saling mengucapkan selamat jalan antara saya dan kasir, saya langsung keluar menuju si Bapak pengemudi becak.

“Ini Pak, ongkos naik becaknya” kata saya sambil menyerahkan uang sebesar perjalanan dari Lawang Sewu ke Hotel tempat saya menginap, “Sudah sampai sini saja”

Lha kan ke hotelnya belum, Mas?”

“Sudah tidak apa-apa. Saya mau jalan kaki saja”

“Jauh loh, Mas”

“Namanya juga calon Menteri Pariwisata. Harus rajin jalan-jalan dong. Kan wisata!”

“Duh gimana nih…”

“Santai saja” kata saya, “ Sebagai tanda perpisahan saya tanda tangan becak Bapak saja ya?” Saya keluarkan spidol dari tas kecil. Saya bubuhkan tanda tangan saya di bagian samping kanan becak si Bapak dengan ditambabi tulisan: CALON MENTERI PARIWISATA NEGARA KHILAFAH ISLAM WAS HERE.

“Susah ya, Pak” ujar saya.

“Iya, Mas. Makasi”

“Bapak hapal kan pulangnya?”

“Yang harusnya nanya gitu itu saya, Mas!”

“Oh iya ya” kata saya, “Tapi sebagai calon Menteri Pariwisata saya harus hapal dong. Kalau tidak hapal, ya inilah saat yang tepat untuk menghapal”

“Hehehe…”

Saya ajak salaman itu si Bapak. Lalu saya pergi berjalan kaki lagi. Meninggalkannya di parkiran Toko Bandeng Juwana.

Pak, mudah-mudahan obrolan dan khayalan kita tadi menjadi doa dan kenyataan. Itu tanda tangan saya tolong jangan dihapus. Biarkanlah itu menjadi prasasti yang akan bercerita bahwa dalam kehidupan ini kita pernah bertemu sebelumnya. Apabila suatu saat nanti kita berdua menjadi menteri di Negara Khilafah Islam, tentunya kita bisa berkata pada dunia bahwa doa kita beberapa tahun lalu ternyata terkabul. Pun kalau misalnya hanya salah satu dari kita yang menjadi Menteri, anggap saja saya, bukti tanda tangan itu tadi bisa menjadi suatu kebanggaan bagi Bapak, keluarga Bapak, dan anak angkat Bapak, sebab Ayahanda mereka, yaitu Bapak, pernah menarik becak orang yang kemudian menjadi Menteri Pariwisata Negara Khilafah Islam dan makan masakan “Sunda” bersamanya di sebuah café di Semarang.

0 komentar: