Little Journey In Semarang

Kamis, 29 Oktober 2009


Akhirnya kesampaian juga saya benar-benar menginjakkan kaki di Semarang. Biasanya saya ke sini hanya sekedar lewat saja. Tidak pernah sampai si kaki ini menginjak tanahnya. Maklumlah namanya juga di dalam kendaraan. Kalau saya berani menginjakan kaki, alamat masuk rumah sakit nantinya.

Berbekal data-data serta peta yang sudah saya siapkan sebelumnya dari Jakarta, usai turun dari Stasion Tawangmangu, saya meluncur ke daerah Gajahmada. Perjalanan Jakarta – Semarang selama 12 jam membuat perut saya asli keroncongan. Padahal biasanya perjalanan normal hanya membutuhkan waktu 6 jam saja. Katanya sih ada kereta anjlok.

Sampai daerah Gajahmada memang sudah cukup larut. Sekitar jam 10 malam. Beberapa spot kuliner sudah menggulung tikarnya. Namun beruntungnya saya, ada sebuah tempat yang ramai yang masih menyala-nyala petromaknya. Segera saya dekati. Dan oh yah, ini salah satu targetan saya, Nasi Pecel Mbok Sador. Tanpa ba bi bu segera saya membuat diri saya terduduk di atas kursi yang disediakan.

Penjaja pecel duduk di tengah tenda dihadapan pecel dan berbagai menu sampingan. Jelas membuat air liur saya mengalir dengan derasnya. Saya pesan 1 porsi dengan toping usus, peyek, martabak. Tak lama saya disodori nasi pecel yang sudah dibungkus daun pisang. Meski kesannya ndeso tapi saya yakin rasanya ngota. Benar dugaan saya. Baru kedua kali ini saya makan nasi pecel yang rasanya enak. Sebelumnya saya pernah makan nasi pecel di Yogya. Itu enak. Tapi yang di Bandung & Jakarta rasanya jauh dari harapan saya. Hanya saja perbedaan pecel Semarang (Mbok Sador) dengan pecel Yogya (lupa namanya), bumbu pecel Mbok Sador sedikit lebih pedas dan berasa.

Kenyang makan nasi pecel yang harganya murah tapi nendang itu, saya segera merapat ke hotel yang tidak jauh ternyata dari Gajahmada. Cukup berjalan kaki sembari menurunkan makanan yang tadi. Biar tidak menjadi lemak jenuh.

***

Esoknya, pagi-pagi sekali, saya loncat dari hotel lalu berjalan menuju Kota Lama. Kebetulan hotel yang saya inapi berada di seputar Kota Lama. So, sudah tidak usah disangsikan lagi kalau banyak bangunan-bangunan oldschool disana. Bangunan era VOC yang masih tetap kokoh di tengah modernitas. Sayang penataan lingkungan di Kota Lama kurang diperhatikan oleh penguasa setempat. Pentaan ruang, drainase, jalan terkesan sembrawut dan kotor. Atau itu memang disengaja agar tanpa tua dan dekil? Mhmmm…

Sekitar 500 m pertama saya berjalan dari hotel, saya menemukan toko legendaris penjual Wingko Babad; Cap Kereta Api. Ini Wingko Babad cap Kereta Api yang asli. Sebab (katanya) banyak tiruannya dan susah dibedakan. Cap Kereta Api yang asli gambar keretanya bergerak dari kiri ke kanan dengan garis warna hijau. Tidak ada embel-embel lain.

Tak jauh dari sana, sekitar 200 m, ada sebuah gereja berarsitektur terracotta. Saya lupa namanya. Namun kalau saya lihat, gaya bangunannya seperti gaya bangunan gereja di film-film cowboy. Darisana saya belok ke kanan. Menyusuri kembali jalanan paving blok dan bangunan-bangunan usang berdebu. Tepat diseberang kiri Gereja Bleduk yang terkenal di Semarang. Warnanya putih kokoh dengan kubah berwarna merah mencolok. Yang menarik adalah ada dua buah tower yang di masing-masing tower-nya ada sebuah jam yang menunjukan jam 9. Sayang jamnya mati. Dari gaya bangunan, gereja ini mengingatkan saya pada Gereja Immanuel yang ada di depan Stasiun Gambir. Dan ternyata nama Gereja Bleduk itu sendiri pun adalah Gereja Immanuel.

Tak kurang 500 m dari Gereja Bleduk, ada sebuah tempat yang dinamakan Marabunta. Awalnya saya bertanya-tanya apa Marabunta itu. Ternyata ia adalah sebuah bangunan sejenis aula yang diatas atapnya bertengger 2 buah patung semut raksasa. Entah apa yang ada dipikiran arsitekturnya sampai menyematkan semut disana. Kenapa tidak bandeng saja yang sudah menjadi ciri khas Semarang.

Bosan melihat semut raksasa yang tidak bergerak-gerak, saya langkahkan kaki ke arah utara. Tepat 500 m terbukalah horizon di depan mata saya. Nampak Polder Tawang berikut Stasiun Tawang diseberangnya. Di sisi sebelah ujung kiri saya nampak juga Pabrik rokok tua merek Paroe Lajar.

Lama saya duduk-duduk di Polder Tawang. Menikmati pagi. Sambil melihat sunrise yang menguning di riak air danau buatan kolonial itu. Namun ketika matahari mulai merekah, saya putuskan untuk kembali ke hotel. Khawatir sudah banyak orang di jalanan. Sebab kalau demikian, saya susah untuk mengambil gambar bangunan yang suasananya mirip Sungai Thames di UK sana. Belum lagi saya harus ke Masjid Agung Semarang yang letaknya berada di sekitaran Pasar Johar, sebelah tenggara dari hotel tempat saya menginap.

Walhasil, saya tutup perjalanan pagi itu dengan sholat tahiyatul masjid di Masjid Agung Semarang yang memiliki 4 buah prasasti dalam bahasa yang berbeda-beda; Arab, Indonesia, Inggris, dan Belanda.

Malam pada hari itu juga, usai beres perkejaan, saya kembali “melangkahkan kaki” ke luar. Saya hentikan langkah di depan Hotel Dibyo Puri yang tepat di seberang hotel tempat saya menginap. Sebuah hotel tua yang nampaknya sudah tidak menerima tamu lagi. Dari sana kemudian saya langkahkan kaki langsung ke arah Selatan menuju Istana Wedang. Jaraknya lumayan. Entah berapa kilo meter. Yang jelas setengah jam saya berjalan kesana. Mungkin 4-5 km. Sampai sana sudah pasti langsung memesan minuman agar dahaga akibat berjalan tadi sirna. Saya pilih Wedang Klengkeng (saya lupa namanya. Seingat saya isinya rumput laut, lengkeng, es baut, cengkeh, gula merah, dan tentunya air). Rasanya seperti es lengkeng tapi gula yang dipakai adalah gula merah. Banyak sebenarnya berbagai minuman disana tapi saya tetap memilih wedang klengkeng tadi. Soalnya dulu penasaran mau beli tapi tidak sempat terealisasikan.

***

Dua hari kemudian, pagi-pagi saya sudah “keluar” dari hotel. Tapi sebelumnya, perut sudah saya isi terlebih dahulu dengan sarapan yang disediakan hotel. Sengaja saya pilih makan dulu. Sebab perjalanan hari ini pasti akan sangat melelahkan pikir saya. Saya akan berjalan kaki dari hotel menuju Simpang Lima lalu ke Tugu Muda dan kembali lagi ke hotel. Kalau dilihat dari peta bentuknya melingkar. Tak tahu berapa kilo per kilonya. Yang pasti jauh.

Keluar dari pintu hotel, saya ambil jalan menuju Pasar Johar. Terus menyusuri pasar dan jalanan yang tergenang banjir rob. Lantas belok kanan ke arah Pecinan. Kebetulan toko-toko masih tutup saat itu. Jadi Susana tidak terlalu padat. Aslinya, saya yakin, disana adalah tempat perdagangan yang sangat padat dan sibuk. Sayangnya, ini pun terjadi pada tempat tujuan saya berikutnya yang ada di daerah Pecinan situ; Lumpia Gang Lombok. Namun saya sedikit terobati sebab persis disamping toko tersebut, tampak megah sebuah miniatur kapal perahu Cina kuno di pinggir sungai dan sebuah Klenteng kuno; Kay Kak Sie. Yang paling menarik dari klenteng ini menurut saya adalah dua buah lilin besar di depan patung Budha yang sedang tidur & keranda-keranda peti mayat khas Cina. Ada vampire kah didalamnya? Hahaha…

Berbekal peta di tangan, saya susuri kembali jalanan kota Semarang. Terus menuju selatan. Terkadang ketika menemukan barang baru, saya hentikan sejenak langkah saya. Seperti ketika menemukan Pisang Plenet dan Tahu Pong di pinggiran jalan. Setelah itu saya ronggoh uang di saku celana. Lalu membelinya 1-5 buah. Pisang planet sendiri berupa pisang yang dibakar diatas tungku. Sebelumnya sudah dipipihkan. Setelah itu ditambahkan gula merah . Sedangkan Tahu Pong kata sih sih mirip dengan Tahu Sumedang. Hanya penamaan saja yang beda.

Tak terasa, sampai juga saya di Simpang Lima. Sebuah lapangan yang luas yang dikitari oleh bangunan-bangunan yang lumayan besar dan sebuah masjid. Masjid Baiturahman namanya. Setelah istirahat sebentar saya teruskan perjalanan kaki saya menuju ke arah Tugu Muda. Menyusuri jalan Pandanaran yang begitu populer bagi pendatang seperti saya. Jalannya sendiri sebenanrya biasa saja seperti halnya jalan protokoler. Kiri kanan banyak bangunan perkantoran. Namun makin mendekati Tugu Muda, makin banyak toko yang menjajakan oleh-oleh khas Semarang. Mulai dari Lumpia, Bandeng, Moaci, Wingko Babad, Enting-Enting Gepuk, Krupuk Tahu, Semprong, Madumongso, Jenang, Kripik paru, Gethuk, Wajik dll ada disana.

Nampaknya tak afdol kalau tidak membeli oleh-oleh setelah menyusuri Pandanaran. Ya akhirnya saya menepi. Masuk ke dalam sebuah toko yang menyediakan banyak pilihan; Toko Bandeng Juwana. Saya beli saja Wingko Dryana, Enting-Enting Gepuk Cap Klenteng, Mouci an Bandeng. Sayang karena masih pagi, banyak pilihan rasa barang yang belum ada. Akhirnya saya pesan dulu yang ada. Sambil menunggu rasa yang lain ada, saya pergi ke Lawang Sewu yang ada di putaran Tugu Muda.

Lawang Sewu sendiri adalah sebuah bangunan tua eks kolonial yang saat ini dibawah kepemilikan Departemen Perhubungan. Rencananya gedung yang katanya berhantu ini akan dihidupkan kembali menjadi tempat reservasi tiket KA bagi daerah Semarang. Makanya, ketika saya kesana, saya tidak diizinkan masuk karena tepat sore hari nanti bakal ada peresmian oleh Menteri Perhubungan. Namun hal tersebut bukan halangan buat saya. Saya diam-diam meloncati pagar dari tempat yang agak tersembunyi. Setelah itu masuk ke dalam sekalian sowan terlebih dahulu pada penjaga yang memang ditugaskan berjaga sehari-hari disana. Itu informasi saya dapatkan dari tukang beca yang ada di depan Lawang Sewu.

Puas melihati bangunan yang tidak jelas. Saya kembali ke Toko Juwana untuk mengambil pesanan. Ternyata masih belum komplit juga. Ya sudah saya putuskan membeli rasa yang ada. Untuk bandeng saya ambil yang Dalam Sangkar, Bandeng Asap, dan Teriyaki (ini yang terenak). Sedangkan Wingko saya ambil yang (Original dan Nangka). Lalu Mouci yang rasa duren dan ketan hitam.

Setelah itu saya segera kembali menuju ke arah hotel. Sebab jam 12 siang harus segera check Out. Namun sebelumnya saya kembali ke Toko Lumpia di Gang Lombok. Dan membeli beberapa buah plus menikmati Es gang Lombok. Dan saya tidak akan rugi setelah mencicipi rasa lumpianya yang memang benar2 maknyosss. Saking senangnya menikmati makanan enak, akhirnya membuat saya mampir ke dalam Toko Oen. Toko tua ternama penjual es krim dari dulu kala. Sialnya, disinilah saya menikmati es krim terenak yang pernah saya rasakan selama ini. Oh tidak…. Kenapa tidak dari kemarin-kemarin saya ke kedua tempat ini. Sedangkan sekarang waktu sudah pukul 11.50. Sepuluh menit lagi saya harus segera keluar dan meninggalkan Semarang. Agrhhhh…...

0 komentar: