Sejenak Bersama Calon Menteri #1

Jumat, 30 Oktober 2009




Andai saja pagi itu saya ada di Afghanistan ikut berjuang dengan Syekh Osama bin Laden, mungkin saya tidak akan termenung di pos jaga Lawang Sewu ini. Sialnya tidak, sehingga itu saya hanya bisa duduk di sebuah kursi rotan di bawah pohon mangga yang sedang berbuah ranum dengan membolak-balik foto hasil jepretan saya tadi.

Sehingga pagi itu saya bisa mendapati seorang pengemudi becak sedang indehoy di becaknya. Duduk atau tiduran di kendaraan penghasil emas baginya, di depan gerbang Gedung Lawang Sewu. Sehingga hari itu, saya bisa mendekati seorang pengemudi becak itu dan berbicara dengannya, dan menawarkannya agar mau bercapek ria mengayuh becaknya dengan saya diatasnya. Dan terbersit saya punya pikiran, jangan-jangan orang ini adalah intel yang sedang menyamar untuk memata-matai mahasiswa-mahasiswa KAMMI yang sedang demo. Sehingga kalau justru saya malah menghardiknya karena menghalangi jalan masuk dan mengganggu saya sedang lihat akhwat-akhwat KAMMI, maka besok-besok hari ketika saya ditangkap intel dia tidak akan membantu melepaskan saya. Justru malah yang paling sadis menyiksa saya.

Tapi, bukan karena itu yang membuat saya menawarinya uang atas keikhlasannya membiarkan saya yang duduk disitu dan dia mengayuh di belakang. Karena saya tidak peduli saya akan ditangkap intel atau tidak. Seingat saya, saya ini adalah orang baik-baik. Manis, ramah, bersosialisasi dengan tetangga dan begitu hangat menyenangkan terhadap sesama. Lain halnya dengan kawan-kawan saya seperti Tupai, Bahcuy, Pepi, Japra, Mang Umen, Chireng, Dudung, Dimas, Tio Asoy, dll. Mereka pemuda-pemuda yang nakal. Yang kemungkinan esok atau lusa bakal segera dirumahprodeokan. Hahaha…

Saya ajak bicara Bapak yang entah siapa namanya itu, yang katanya kelahiran tahun 40-an, yang katanya asli dari Kudus, yang katanya pernah merantau ke Jakarta pada saat Ibu Tien membangun TMII, yang katanya dulu kerja di gudang-gudang tentara dan berlimpah uang karenanya, yang katanya punya anak perempuan ayng menjadi guru SD, yang katanya dilarang anaknya pakai baju Korpri pas sedang menarik becak, yang katanya tahu makanan yang hala dan haram di seantero Semarang, yang katanya bisa mengantar saya ke tempat esek-esek kalau saya mau, yang kegirangan setelah saya minta dia mengantar saya pulang ke hotel tapi sebelumnya mampir ke Toko Bandeng Juwana utnuk mengambil pesanan. Serta merta Bapak pengemudi becak pun mempersilahkan saya menikmati ranjangnya di malam hari itu.

“Pak, kalau ada PM Tanya, tolong bilang saya sudah tidak ada di Semarang, ya!” kata saya pada penjaga Gedung Lawang Sewu yang kebetulan sedang berjalan ke arah pintu gerbang.

“Polisi Militer? Lha, Mas ini tentara juga ya?” tanya Bapak penjaga yang memang pensiunan Korps Kavaleri. Itu saya lihat dari tato Yon Kav di lengan kanannya.

“Pokoknya bilang begitu saja, pak!”

“Mang kenapa, Mas? Ada masalah apa?”

“Dulu saya sempat menginap lama di sel kantor PM tapi lupa belum bayar billing kamarnya”

“Maksudnya?”

“Saya lagi tidak punya uang Pak. Jadi saya dulu izin menumpang hidup di sel PM. Tapi setelah puas, saya lupa bayar ke PM”

“Kenapa tidak bilang dari tadi kalau tidak punya uang. Ini Mas, pakai saja lagi uang yang tadi Mas kasih ke saya” Bapak penjaga mengembalikan uang yang saya berikan padanya atas jasa memperbolehkan dan menemani saya keliling Lawang Sewu.

“Ambil saja, Pak! Itu rezeki Bapak” kata saya, “Saya tidak punya uang itu dulu bukan sekarang. Sekarang sih saya sudah menjadi milyuner. Lihat nih buktinya saya naik becak”

“Yuk, Pak!” saya pinta Bapak pengemudi becak untuk segera menunaikan tugas mulianya. Dia pun naik, saya juga ikut naik, menyebabkan becak segera melaju.

“Eh, Mas gimana nih?” teriak Bapak penjaga gerbang.

“Sudah bilang saja begitu kalau PM datang. Uang dari saya mah pakai saja buat sunatan Bapak” jawab saya sambil berteriak.

Si Bapak penjaga gerbang melongo. Entah paham atau tidak dengan perkataan saya. Yang jelas saya dan Bapak pengemudi becak tertawa cengengesan.

Becak melaju. Belok kiri ke jalan Pandanaran. Melewati Toko Bandeng Juwana yang kata si Bapak pengemudi becak adalah toko yang asli, sedangkan yang saya akan tuju adalah yang palsu. Saya tidak mengerti kenapa dia bilang begitu. Padahal setahu saya Toko Bandeng Juwana yang saya tuju adalah cabang resmi dari Toko Bandeng Juwana yang tadi si Bapak tunjuk. Saya lihat itu di brosur. Dan kebetulan brosurnya sedang saya pegang erat-erat. Takut meletus lagi sebab tinggal empat.

Meskipun si Bapak begitu, tidak membuat saya membencinya. Justru semakin saya ajak mengobrol. Mengobrol apa saja. Seperti apakah Bapak masih punya ibu. “Sudah tidak punya, Mas” katanya.

“Pernah tidak suatu saat Bapak rindu?”

“Rindu apa?”

“Rindu ingin berkata-kata kasar kepada ibunya Bapak”

Ditanya begitu si Bapak malah tertawa. Aneh kata saya. Harusnya ia bersyukur sudah tidak mungkin berbuat durhaka. Sudah tidak mungkin menjadi batu seperti Malin Kundang.

Tak terasa, perjalanan kami berdua hinggap pada tujuan. Lihatlah, disana sepi. Tidak seperti di Toko Bandeng Juwana yang asli menurut si Bapak. Sambil turun dari becak saya meminta si Bapak menunggu sebentar. Karenanya saya akan mengambil pesanan terlebih dahulu.

Tapi tidak lama itu saya kembali lagi ke luar. Karena pesanan saya belum siap seperti yang si Mbak yang ada di balik pintu kaca itu.

“Pak, sudah sarapan belum?” itu saya sengaja mengagetkan si Bapak dari belakang. Membuat dirinya terkejut.

Belum katanya. Lantas saya ajak saja dia makan ke dalam. Kebetulan ada café di toko itu.

“Ayo Pak pilih mau makan apa!”

“Ah gimana Mas aja” kata si Bapak setengah berbisik. Duduknya mirip tentara ketika diberi aba-aba “Duduk Siap Grak”. Matanya lirik kanan kiri. Mencermati beberapa pasang mata pegawai toko yang dari tadi melihat kegiatan romantis kami berdua

“Ya susah kalau begitu” kata saya, “Samakan saja dengan saya ya?!”

“Iya Mas”

Saya panggil pelayan untuk segera mendekat. Saya pesan Tenderloin Double Steak Combo with Black Peppers Sausage dan Banana and Raisin Sundae. Dengan sedikit dikeraskan, saya ulangi pesanan saya itu agar terdengat oleh si Bapak.

“Sama kan Pak dengan saya?” tanya saya.

“Eughhh…. Iya” jawab dia ragu-ragu tapi mau.

“Mau ditambah pakai Beer atau Intisari tidak?” tanya saya lagi.

“Ih… gak ah Mas!”

“Mbak, Memangnya ada oseng-oseng Kuskus Australia disini” tanya saya pada pelayan.

“Hehehe…. Ndak ada, Mas”

“Tuh Pak, tidak ada menu begitu disini. Adanya di Australia tempat dulu Bapak tinggal” kata saya membuat bingung, “Sama saja seperti saya?”. Si Bapak mengangguk.

“Ada lagi?” tanya pelayan.

“Pak, mau Sate Jamu tidak?”

“Sate Jamu?”

“Iya itu loh…. RW… RW…!!!” saya mengingatkan si Bapak.

“Oh itu. Nggak, Mas!”

“Sudah itu saja Mbak pesanannya” saya bilang pada pelayan.

“Saya baca lagi pesanannya” kata pelayan.

“Tidak usah, Mbak. Sudah tahu kok” tolak saya, “Pak, baca ulang lagi jangan?”

Bapak penarik becak menggeleng-gelengkan kepalanya. Tanda penolakan yang halus tapi kentara.

“Hehehe… takut saya salah pesanan” kata pelayan.

“Lha kok takut sama pesanan?” kata saya, “Takut itu hanya kepada Allah. Kalau pun mau takut selain ke Allah, takutlah berbuat dosa. Sebab itu juga sebenarnya wujud dari takut kepada Allah”

Pelayan terdiam. Lantas tersenyum. Lantas meminta izin membaca ulang. Lantas saya mengangguk menginyakan. Lantas selesai membaca, dia yang balik mengangguk pada saya. Lantas dia pergi meninggalkan kami berdua. Lantas dia tidak terlihat. Menyebabkan dirinya seperti Suzzana dalam film Sundel Bolong. Menghilang.

[bersambung]

0 komentar: