Hari itu sudah menjadi Selasa. Saya tidak lagi upacara bendera. Sengaja saya begitu. Bukan karena tidak ada sebab. Sebab kalau disebab-sebabkan maka akan banyak sebab. Dan saya kira itu memang tidak perlu. Kalau masih dianggap perlu, baca saja buku-buku di Palasari. Itu pasar buku yang ada di Bandung. Naik angkot Buahbatu-Sederhana kalau dari rumah saya. Turun di Jalan Gajah. Jalan sedikit ketemulah dengan banyak penjual buku. Nanti pilih salah satu dari mereka. Lalu tanya sama pedagangnya, ada buku yang bilang nasionalisme ibarat menggigit kemaluan sendiri tidak. Kalau ada beli. Kalau tidak ada, naik lagi angkot Buahbatu-Sederhana ke rumah saya, insyallah nanti saya bajakkan bukunya.
Tapi sumpah, saya sudah sejak SMA dulu paling malas untuk upacara bendera. Makanya setiap pergantian KM (baca; Ketua Murid), setiap itu pula saya melakukan lobby-lobby tingkat tinggi pada pejabat KM baru. Bukan untuk menjilat (ket: sebab saya tahu kalau menjilat mereka rasanya asam. ABG begitu loh!) tapi itu saya sengaja agar saya ditempatkan piket kelas di hari Senin. Hari dimana upacara bendera selalu diselenggarakan, hari dimana yang datang telat dipajang di lapangan upacara, hari dimana anak-anak berlomba berbaris untuk menjadi yang paling belakang, hari dimana pembacaan Pancasila oleh Kepala Sekolah selalu dijadikan gurauan, hari dimana saya selalu datang lebih pagi dari biasanya.
Begitu setiap tahunnya. Selama di kalender masih ada hari Senin, saya konspirasikan agar sayalah mendapatkan kursi empuk petugas piket kelas hari itu. Pokoknya selama Teori Konspirasi masih bisa dijalankan, saya usahakan tidak berupacara. Hingga kemarin akhirnya saya ditanya oleh seorang ibu-ibu di tempat kerja.
“Kok kamu tidak upacara sih?”
“Sudah hobi, Bu” jawab saya sambil cengengesan.
“Hobi kok aneh gitu?”
“Hobi orang kan beda-beda Bu. Namanya juga manusia. Tidak ada yang sama di seluruh dunia ini. Maka wajar saja kan kalau hobinya berbeda-beda”
“Begundal, kamu tidak cinta Indonesia ya?”
“Ya cinta dong, Bu. Jelek-jelek bobrok juga Indonesia tempat saya lahir”
“Cinta apanya? Disuruh upacara saja tidak pernah. Padahal ini kan upacara buat mengenang pahlawan-pahlawan kita”. Kebetulan kemarin tanggal 10 November. Itu hari Pahlawan Indonesia.
‘Yeee… si Ibu mah”
“Yee gimana? Itu tanda kamu tuh gak menghormati pahlawan kita yang berjuang dulu”
“Buat saya mencintai tanah air dan menghormati pahlawan itu tidak perlu hari khusus, Bu”
“Kok begitu?”
“Soalnya cinta dan pahlawan saya luas serta banyak”
“Luas dan banyak gimana?”
“Iya saya tuh cinta Indonesia. Tapi cinta juga Malaysia, cinta Brunei, cinta Thailand, cinta Sudan, cinta Palestina, cinta Sudan, cinta Afghanistan, cinta Chechnya, Cinta Filipina, cinta Spanyol, cinta Arab Saudi” begitu kata saya, “Pahlawan saya tersebar di negeri-negeri tadi. Makanya saya mah cinta semua”
“Banyak amat”
“Harus banyak dong, Bu”
“Lha kok malah harus?”
“Buat saya, yang namanya pahlawan itu ya para mujahidin. Tidak adil dong kalau saya cinta Indonesia dan pahlawan Indonesia saja. Kan mujahidinnya tersebar dimana-mana. Jadi mau tidak mau cinta saya harus luas. Tersebar. Menembus sekat-sekat territorial”
“Agrh… kamu ini ada-ada aja. Cari-cari alasan”
“Ibu ini bagaimana. Justru harusnya Ibu bangga pada saya. Sebab cinta saya begitu luas. Saya berani diadu besar mana cinta mereka yang tadi upacara dengan saya. Mau sebanyak apapun orang upacara, cintanya tidak bisa mengalahkan luasnya cinta saya”
“Luas dari Hongkong!”
“Tidak usah jauh-jauh ke Hongkong, Bu. Disini saja kalau mau mendengarkan saya. Toh, meskipun saya cinta Hongkong, saya belum tentu bisa pergi ke Hongkong. Tidak ada uangnya, Bu”
“Hehehe…” si Ibu tertawa.
“Bu, mari kita berandai-andai. Kalaulah cinta Ibu dan saya dibandingkan, cinta Ibu itu hanyalah rahmatan lil Indonesia. Nah, sedangkan saya rahmatan lil alamin”
“Hehehe…”
“Di negeri apapun kita hidup, mau di Timbuktu atau di Etophia, yang terpenting adalah kita menjadikan diri kita sebagai makhluk yang paling bertaqwa sekaligus cantik (seperti saya, itu dalam hati saya). Makhluk yang berguna bagi dunia karena perbuatan baiknya. Yang semata-mata didasari atas nama Allah dan agamanya”
“Hehehe… iya Pak Ustadz” Si Ibu ketawa sambil menyindir (barangkali)
“Ibu sepakat tidak?”
“Ya sepakat aja sih tapi masa pahlawan di negara orang dihormati juga”
“Namanya juga Mujahidin, Bu. Mau di negeri mana pun ya harus dihormat. Mereka itu generasi terbaik setelah generasinya Rasulullah.”
“Ntar gimana kalau tentara negara kita perang dengan tentara negara lain atau mujahidin versi kamu? Mau kamu anggap mereka pahlawan juga?”
“Bu, yang namanya Mujahidin itu pantang perang dengan sesama muslim. Kan sesama Muslim itu saudara. Innamal mukminuna ikhwah. Lagian tentara atau pahlawan yang benar itu pasti perangnya karena didasari nama Allah semata. Selain itu hendaknya dipertanyakan lagi status ketentaraan dan kepahlawanan mereka. Kecuali kalau konteksnya seperti yang saya bilang tadi, tentara/pahlawan yang rahmatan lil Indonesia atau yang rahmatan lil alamin”
“Serem ah ngobrol ma kamu. Kayak teroris aja”
“Kok teroris sih, Bu? Memangnya kalau saya teroris bagaimana, Bu? Apa wajah imut-imut begini seperti teroris ya?”
“Hehehe…”
“Jadi tidak salah kan kalau saya punya pendapat begitu?”
“Nggak salah sih. Cuman serem aja”
“Biarin ah seram juga. Yang penting saya masih tetap imut. Benar kan, Bu?”
“Terserah kamu deh. Hehehe…”
Upacara Hari Pahlawan
Rabu, 11 November 2009
Diposting oleh Begundal Militia di 06.28
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar