Lihatlah itu saya sudah ada di Bandung. Ibukota Priangan. Yang sudah lama beta tidak berjumpa dengannya. Juga dengan pohon Jambu Bol Jamaica yang di depan rumah. Juga dengan Mang Gozali si penjual baso tahu. Juga dengan Jindow, Akmal & Altaf balita tetangga sebelah. Juga para petani yang sibuk mencangkul di belakang rumah. Juga dengan para pengemudi ojeg dan becak yang biasa mangkal. Juga dengan kucing belang yang pernah kepergok lagi kawin di halaman rumah. Ah tapi rasanya tidak perlu saya jelaskan lebih lanjut tentang keadaan rumah saya. Kalau dijelaskan pun pasti tidak akan ada yang tahu di negara apakah itu rumah orang tua saya gerangan. Kecuali, kalau mau membeli rumah orang tua saya, nanti tentunya akan saya beri tahu. Soalnya itu rumah memang sedang mau dijual.
Sekarang di depan rumah saya sudah tidak boleh parkir mobil. Tanah kosong yang dulu biasanya buat kumpul bocah dan menikmati buah kersen, sekarang sudah dipagari. Otomatis romantis sudah jarang terdengar keributan lagi disana. Begitu juga dengan mobil-mobil Bapak saya. Selaku jutawan yang tidak punya tempat parkir, Bapak saya akhirnya memilih tanah kosong yang lebih jauh untuk menyimpan mobil-mobilnya. Maklumlah, namanya pedagang jual beli mobil. Dia butuh selalu tempat yang lumayan luas untuk mengkandangkan asetnya itu.
Sekonyong-konyong itu Bapak saya menyuruh saya pergi. Saya terkaget-kaget. Berjuta-juta pertanyaan berkumpul-kumpul di kepala saya. Anak durhaka kah saya? Perasaan tadi itu Jambu bol yang saya lempar ke bawah tidak mengenai kepala dia. Tidak juga saya menolak mengakuinya sebagai bapak. Lantas apakah salah saya? Begitu pikir saya diatas pohon jambu.
Ibu saya, Adek saya, Um-Um Surum Um, dan Revo pun terdiam. Mereka yang tadinya tertawa-tawa menangkapi jambu akhirnya terdiam bagaikan arca Batara Kala di candi-candi.
Oh ternyata yang menyebabkan Bapak saya begitu bukanlah karena saya durhaka. Dia hanya meminta saya untuk pergi ke ATM BCA. Katanya ada orang yang mau membeli mobil jualannya tapi uangnya ditransfer via bank.
Tidak sampai setahun semalam Bapak menunggu saya turun dari pohon jambu lantas pergi ke ATM BCA. Cukup hanya 15 menit itu saya sekarang sudah ada di dalam mobil bersama Revo, Adek, dan Um-Um Surum Um. Tidak lupa dengan ATM BCA milik Bapak juga selembar kertas berisi nomer pin.
Berulang kali si pembeli menelepon saya. Menanyakan posisi dan kesiapan melakukan transfer. Saya jawab saja sedang di jalan. Namun itu tidak menyurutkan si pembeli untuk tidak menelpon saya. Hingga terakhir menelpon ketika saya mengatakan bahwa transferannya yang sebesar 5.000.000 sebagai uang DP ternyata belum masuk.
Itu saya sudah berada didalam ATM. Dan si Bapak yang mengaku bernama Hendra Sujarwo akhirnya menjadi kalut. Lantas menanyakan saldo rekening ATM Bapak saya. Saya jawab posisi saldo masih seperti awal (baca: 150.000 rupaih). Jumlahnya adalah lah kata saya kepada itu si Bapak. Pokoknya transfer dia belum masuk. Tapi si Bapak Hendra ini terus menanyakan. Saya bilang lagi saja seperti yang saya katakan tadi. Mendengar itu si Bapak Hendra semakin mengeluh dan memberikan solusi akan mencoba mengkontak pihak BCA. Sekaligus meminta saya mencari pengganti ATM lain selain BCA. Kebetulan kata saya. Ada ATM Bank Jabar milik Bapak saya tapi kartunya ada di rumah. Sontak si Bapak Hendra meminta saya untuk segera mengambilnya ke rumah
Ya sudahlah saya memutar balik mobil menuju rumah. Di sepanjang perjalanan si Bapak Hendra terus mencoba mengkontak saya. Tapi sengaja tidak saya angkat. Males. Mana si Revo mengamuk ingin es krim lagi.
Karena bosan mendengar HP berbunyi terus, saya berikan HP ke adik saya. Biarlah dia yang berbicara. Saya mau mencari es krim dulu buat Revo. Samar-samar terdengar kalau adik saya diminta untuk membawa Bapaknya, Bapak saya juga, ke ATM. Entah kenapa alasannya. Nada bicaranya terkesan gelisah dan galau. Mungkin karena uangnya yang gagal transfer itu tadi.
Melihat kenyataan itu, mobil dan orang-orangan didalamnya saya cepat bawa lagi ke rumah yang memang tidak terlalu jauh dari tempat tadi belanja. Sampai di depan rumah, nampak Bapak saya beserta sopir sedang bersiap untuk pergi menggunakan mobil jualannya yang lain. Tergesa-gesa kelihatannya.
“Bade kamana, Pak? (Mau kemana, Pak?)” itu saya bertanya.
“Ieu ka Bank. Itu nu bade meser ceunah artosna teu lebet ka BCA nya?! (Ini mau ke Bank. Itu yang mau beli katanya uang dia tidak masuk ke BCA)” jawab Bapak saya, “Sok geura parkirkeun! Urang ka ATM ayeuna! (Ayo parkirkan. Kita ke ATM sekarang)”
“Ke…ke….ke…. aya nu aneh yeuh (ada yang aneh nih)” kata saya ke Bapak, “Kalebet heula mending Pak. Sapertosna aya nu teu beres (Ke dalam dulu mending, Pak. Kayaknya ada yang tidak beres)”
Saya lekas-lekas masuk. Lekas-lekas bawa itu orang-orangan yang ada di dalam mobil untuk bersaksi atas kejadian selama perjalanan. Lekas-lekas bercerita kenapa saya menjadi seperti Sherlock Holmes. Lekas-lekas saya bilang bahwa orang yang bernama Hendra Sujarwo ini sepertinya sejenis penipu.
Ini hanya sekedar asumsi saya belaka. Begitu saya bilang ke orang-orang di ruang tengah. Kenapa begitu? Pertama, masalah beli mobil tapi tanpa dilihat barang. Bagi orang yang mengaku hobbies & kolektor secara logika tidak mungkin membeli mobil tanpa memeriksa barangnya. Kedua, masih dugaan saya juga, sangat tidak mungkin Bapak Hendra dapat berkomunikasi dengan CS BCA sebab itu hari sudah Minggu dan itu jam sudah menunjukan pukul 4 sore. Ketiga, seingat saya, BCA itu bank arogan. Ia tidak bisa melakukan transfer via ATM BCA ke bank lain kecuali k BCA lagi. Jadi mustahil si Bapak Hendra dapat melakukan apa itu yang ia mau. Sebab rekening dia BNI bukan BCA.
”Kringgggg.............kringgg...............” Hp tiba-tiba berbunyi. Meski sesungguhnya bunyinya tidak seperti itu. Tapi yang penting pokoknya berbunyi lah. Tak perlu saya bahas lebar-leba rmengenai bunyi HP.
”Iya” Saya sambut dengan suara yang dimanis-maniskan. Mirip bencong-bencong di Jalan Tera sana, ”Pak Hendra ya?”
”Dengan Dek Linda?” suara Pak Hendra memastikan dengan siapa dirinya berbicara. Linda itu ceritanya nama adek saya (sengaja saya samarkan nama Adek saya)
”Iya Pak. Ini Linda” balas saya.
”Kok jadi beda suara?” tanya si Bapak lagi.
”Lagi agak pilek. AC di ATM-nya dingin banget. Jadi agak meler hidung saya” jawab itu saya sambil senyum-senyum ke orang rumah yang lagi menonton akting aktor terkenal ibukota.
”Oh, sudah di ATM ya? Bapaknya mana?”
”Bapak tidak ikut. Linda saja yang urusin. Begitu kata Bapak” kata saya, ”Terus bagaimana nih Pak?”
”Sebentar saya hubungi CS BCA dulu”
”Bapak tadi transfer pakai ATM BNI kan ke rekening Bapak saya?” saya pancing dengan pertanyaan jebakan mau.
”Iya tadi saya kirim via ATM BNI saya’ jawab si Bapak,” Sebentar ya Dek Linda, saya coba hubungi CS BCA dahulu. Biar masalah transfer ini beres hari ini”
Lalu tiba-tiba bunyi telepon berubah. Suara nada memanggil terdengar nyaring. ”Halo, Selamat Sore. Costumer Service BCA. Dengan Hadi Purnomo disini. Ada yang bisa saya bantu?” Mendadak terdengar suara laki-laki lain selain suara Bapak Hendra.
”Begini Pak, Saya Hendra Gunawan. Saya tadi transfer ke rekening milik Bapaknya Dek Linda sebesar 5 juta rupiah. Tapi belum sampai hingga saat ini. Tolong dibantu ya Pak” itu suara Pak Hendra terdengar lagi. Tapi dengan nama yang bukan Hendra Sujarwo lagi.
”Oh begitu ya Pak. Baik nanti kami bantu untuk menyelesaikan masalah transfer ini. Bisa saya dihubungkan dengan pemilik rekening yang ditransferkan?” tanya CS BCA lagi.
”Oh iya Pak. Silakan. Ini sudah saya siapkan” jawab Hendra Gunawan atau Hendra Sujarwo.
”Halo selamat sore” CS BCA mengucapkan salam dengan ramah dan syahdu, ”Maaf dengan siapa saya bicara?”
”Saya Linda” segera saya rubah lagi suara sungai Barito saya menjadi suara Betty Bencong Slebor.
Itu CS BCA akhirnya menanyakan nomer rekening BCA milik Bapak saya. Beserta jumlah saldo yang ada. Lalu menanyakan apakah ada rekening lain selain itu. Saya katakan saja ada. Dan saya bilang juga kalau saya sedang di depan ATM Bank Jabar. Menunggu panduannya untuk transfer.
”Saldonya 57 juta, Pak” kata saya menjawab pertanyaan CS BCA yang memastikan agar selisih setelah transfer tidak salah.
”Tepatnya berapa Mbak?” tanya dia lagi.
”Jumlahnya 57.700.123 rupiah” kata saya sambil melihat nomer seri snacknya Revo.
”Baik. Mari saya pandu” kata CS BCA ramah.
”Sekarang masukan kartu ATM-nya terus pilih bahasa lalu masukan juga pinnya!” CS BCA menyuruh saya
Saya lantas masukan singkong rebus ke mulut. Lalu pencet-pencet jerawat di hidung sambil berdiri di depan cermin. ”Sudah Pak” kata saya.
”Ada apa sekarang ditampilannya?” tanya CS BCA.
”Disini ada Indormasi Saldo, Penarikan Tunai, Pemindahbukuan, Lain-lain”
”Ok. Tekan pemindahbukuan!” perintah CS BCA.
”Iya sudah” kata saya sambil senyum melihat orang-orang itu pada semuanya. Adik saya senyum, Um-Um Surum-Um senyum. Bapak saya senyum. Revo tidak senyum. Dia lagi main dengan boneka.
”Sekarang ada tampilan apa?”
”Mhmm...” saya kaget juga ditanya begitu. Tak disangka-sangka. Seketika itu juga saya tanya ma adik saya dengan bahasa isyarat. Kita semua menjadi panik tapi itu tidak lama berselang.
”Disini ada masukan nomer rekening yang akan ditransferkan” kata saya ke CS BCA tadi.
”Oh iya sudah benar. Sekarang masukan nomer rekening ini. XXXXXXXXXXXXXX” kata CS BCA,”Sudah?”
”Sudah” jawab saya.
”Coba diulang Mbak” pinta CS BCA.
Gubragsss.... Mati saya. Tapi tenang pikir saya. Saya belum mati. Dan beruntung Adik saya mencatat apa yang tadi dikatakan si CS BCA. Lalu saya sebut saja kembali nomer yang tadi disebutkan oleh sang CS BCA. Tentunya dengan PD.
”Iya benar Mbak. Sekarang masukan jumlah angka ini” pinta dia lagi,”4.994.873”
”Iyah sudah” saya bilang, ”4.994.873”
”Sekarang tekan kirim!”
”Ya sudah”
”Ada apa lagi tampilannya sekarang?”
”Masukan nomer referensi anda” jawab saya.
”Silakan masukan nomer rekening Mbak atau kalau tidak abaikan saja” kata si CS BCA, ”Sekarang ada tampilan apa?”
”Terkirim. Uangnya telah ditransfer” kata saya.
”Mhmm.... Tidak ada tampilan sebelumnya?” tanya CS BCA, ”Sudah keluar resinya?”
Saya baru ingat. Biasanya muncul nama pemilik rekening bank yang akan kita tuju. Berhubung saya tidak di depan ATM, jelas saya tidak tahu nama siapa gerangan disana. Saya bilang saja tadi langsung dipencet tanpa dilihat dulu. Ingin cepat beres kata saya. Tapi kemudian CS BCA bertanya tentang resi. Saya bilang saja belum keluar.
”Ya sudah diulang saja kalau begitu” kata CS BCA lagi.
Saya disuruh mengikuti perintah yang seperti tadi lagi. Dari mulai memasukan nomer hingga mengirim angka yang sama. Persis tidak ada bedanya. Setiap perubahan tampilan gambar di ATM pun selalu dia tanya.
”Sudah keluar resinya, Mbak?” tanya si CS BCA
”Sudah” saya jawab saja begitu sambil senyum penuh kemenangan. Begitu juga senyum Adek saya, Um-Um Surum Um, dan Bapak saya. Mereka punya senyum yang menang.
”Benar Mbak sudah keluar?”
”Sudah. Nih sudah di tangan” kata saya lagi
”Jadi berapa angka saldonya?”
Waduh (itu saya katakan dalam hati). Segera saya suruh itu Adik saya menghitung dengan kalkulator. Berhasil. Angka yang didapat adalah 52.705.250.
”Berapa Mbak?” tanya si CS BCA.
”52.705.250” jawab saya.
”Sudah keluar kan ya?” suara si CS BCA mendadak berubah. Ada kesan suara yang senang sekaligus menahan tertawa disana.
”Iya” jawab saya, ”Terus bagaimana lagi”
”Coba baca isi resinya dari atas perlahan-lahan!” lagi itu CS BCA tidak bosan-bosan menyuruh saya rajin membaca. Seaan-akan saya masih belajar membaca. Padahal saya sudah lulus SD.
Disuruh begitu jelas saya gelagapan. Saya tidak tahu tulisan apa yang selalu ada di resi ATM. Belum lagi kalau disuruh membaca nama pemilik rekening yang ditransfer. Itu saya, Adek, Um-Um Surum Um, dan Bapak saya terdiam membisu. Mati gaya.
”Ya begitu saja seperti biasa” kata saya mencoba menenangkan diri, ”Namanya juga resi ATM”
”Coba dibaca ulang saja Mbak!”
”.......” saya bingung. Jawab apalagi ya. Sepertinya sandiwara ini harus segera diakhiri. Sekonyong-konyong itu jam dinding yang ada diatas kepala berbunyi nyaring. Tepat pukul 5 sore. Berisik. Kata saya
”Loh, Mbak di rumah atau di ATM sih?” sekonyong-konyong juga muncul suara si Hendra Gunawan atau Sujarwo dibalik telepon.
”ATM dong!” sungut saya.
”Jangan boong lu. Ni bukan di ATM ya?! Ini di rumah” eh itu tiba-tiba suara Hendra Sujarwo binti Gunawan berubah logatnya menjadi seperti orang Batak. Tak lama disusul suara orang ketawa. Suara si CS BCA dengan logat Batak juga. ”Dasar pembohong!”
”Ih siapa yang bohong?” kata saya dengan genit.
”Alah sudah lu jangan bohong lagi. Katanya punya uang 57 juta. Padahal tidak punya. Tidak usah pura-pura gitu lah!” si Hendra Sujarwo aka Gunawan berlogat Batak lagi.
”Lah kalau saya bohong kenapa? Lebih pembohong mana saya atau kalian?” saya mulai membalikan keadaan.
”Hahaha... Sudahlah mending kita ketemuan di hotel saja, Mbak!” kata si Hendra
”Memangnya kamu mau apa dengan saya? Mau mesum sama saya? Kamu kelainan seksual ya” seketika itu saya rubah kembali suara saya ke suara gagah saya, ”Mau mesum ma saya?”
”Klik........” itu telepon akhirnya diputuskan dari sana. Entah kenapa tiba-tiba mereka memutuskan begitu saja. Yang jelas pembicaraan kami sudah lebih dari 45 menit. Dan sesingkat itu pula akhirnya kami harus berpisah.
Tertawalah kemudian itu kami yang berada di ruang tengah dengan lepas. Sampai-sampai si Revo datang menghampiri. Sambil membahas hasil perbincangan tadi, saya mengirimkan sms ke nomer orang yang mengaku Hendra tadi;
Selamat anda telah terlacak pihak kepolisian. Sebentar lagi bakal ada tim yang datang menangkap anda. Saya siap menjadi saksi nanti di pengadilan anda......... Lu mah salah Cuy. Bapak gua kan reserse. Nipu bapak gue itu namanya cari mati. Dasar tukang tipu. Liat-liat dong klo mo nipu. Tukang tipu lu tipu:p!!!
Menipu Penipu
Kamis, 07 Januari 2010
Diposting oleh Begundal Militia di 17.58 6 komentar
Babaongan Made In Bandung
Selasa, 05 Januari 2010
Diposting oleh Begundal Militia di 06.43 0 komentar
Langganan:
Postingan (Atom)