Diatas Sungai, Ditepi Jendela

Rabu, 25 Agustus 2010



Iman adalah mutiara
Di dalam hati manusia


Tiap kuputar lagu sendu dari Raihan, perempuan itu selalu berdiri di tepi jendela. Matanya selalu menatap jauh lurus ke aliran sungai Citarum yang bergemuruh. Aku acapkali perhatikannya. Kadang terbersit perasaan untuk mengenal. Bahkan lebih dari sekedar "mengenal". Namun, jarak kamarku dengan kamarnya terlalu jauh. Terpisah oleh bentangan sungai yang membelah kota Bandung ini.

Di sepanjang sungai yang airnya mirip bajigur, disekitar Tamansari Bandung, rumah-rumah berjajar, kamar-kamar bertingkat didirikan dan disewakan. Ada yang permanen. Ada pula yang sekadarnya. Semua laku bak kacang goreng. Mulai mahasiswa tingkat pertama hingga akhir, pegawai toko, waitress, pemandu lagu, scoring girl, WTS kelas teri, banci yang sering berkeliaran di sekitar Dago, semuanya mencari kost di sekitar sini.

Aku salah satu dari mereka. Sudah sekitar 3 bulan aku menjadi SSG sekaligus pegawai di supermarket Daarut Tauhid. Meski gaji tidak seberapa, aku coba sisihkan sebagian buat menyewa kamar 2x3 m. Sisanya aku kirim ke Ambu di Banjaran. Aku pilih kamar yang berbatasan langsung dengan sungai agar aku bisa melihat air yang beriak-riak dengan latarbelakang gunung Tangkuban Perahu yang tersembul dibalik pepohonan. Sejak kecil aku memang terbiasa dengan suasana alam. Rumahku sendiri di Banjaran tepat di sebuah kaki bukit dengan sungai yang mengalir di bawahnya.

Bisa saja aku tinggal di Gegerkalong, Pesantren DT. Tapi aku memilih tidak bergantung pada fasilitas yang DT berikan. Aku ingin belajar mandiri dan mencoba bertahan hidup dengan caraku. Biar di sela-sela waktu kerja, sepulang kerja, sekitar Isya, sebelum mandi aku bisa duduk-duduk di pinggir jendela sambil minum teh manis hangat. Tape butut yang aku beli di Cihapit hampir selalu memutar lagu yang itu-itu saja. Saat itulah, ketika diputar lagu Iman Mutiara, aku selalu melihat perempuan berkerudung itu berdiri di tepi jendela.

***

Tanpamu iman bagaimanalah
Merasa diri hamba padaNya



Mungkin ini lagu kenangannya. Lagu yang selalu dia dendangkan bersama teman-temannya sepulang pengajian. Atau lagu yang selalu menyemangati dia ketika kondisi futur menghinggapi dirinya. Bukankah tidak ada yang lebih menggetarkan di dunia ini ketika hati dan otak kita terkenang pada suatu hal yang pernah singgah? Atau malah dia seorang jamaah DT juga yang sedang menghapalkan lagu. Atau semuanya hanya kebetulan saja. Kebetulan saja dia ingin berdiri di tepi jendela setiap aku putar lagu ini. Tidak mustahil kan?

Dugaan seperti itu sebenarnya bukan masalah yang harus dimasukan ke otakku. Hidupku sudah penuh dengan hal-hal yang tak terduga. Sampai sekali waktu, ketika aku sedang memandangnya, perempuan itu tersenyum. Sontak aku terhenyak. Kupalingkan mata agar tidak ketahuan kalau aku memandangi dia sejak tadi. Sambil melirik kanan kiri kalau-kalau dia tersenyum ke arah penghuni kamar yang lainnya. Tapi tidak ada satu kamar pun yang terbuka malam itu. Berarti dia tersenyum kepadaku. Aku coba balas senyumnya sambil perlahan aku tundukan pandanganku darinya. Sekilas aku melihat dia tersenyum kembali. Kikuknya aku.

***

Iman tak dapat diwarisi
Dari seorang ayah yang bertakwa


Sejak saat itu, aku terbius oleh senyum perempuan berkerudung di seberang kamarku. Ada perasaan tak biasa tentang pandanganku kepadanya. Entah itu perasaan apa. Yang jelas setiap pulang kerja, aku jadi selalu memutar lagu itu. Berharap dia melihat dan tersenyum kembali. Akupun berjanji pada diriku sendiri tentang dirinya. Pernah suatu kali aku mata-matai penghuni rumah kostan itu, tapi perempuan itu tidak sekali pun keluar dari rumah. Padahal aku menunggunya selepas shalat shubuh di masjid hingga pukul 8 pagi. Kebetulan hari itu aku tidak ada kerja. Suatu ketika sepulang kerja, aku menemukan secarik kertas berwarna merah muda tepat di bawah pintu kamarku.


Assalamu’alaykum, akhi syukran ya selalu memutarkan lagu favorit ana.
Seorang hamba yang dhaif: Fitri.



Apa berlebihan kalau dibilang aku sudah jatuh cinta padanya? Tapi namanya juga manusia yang memiliki naluri pasti ada kecenderungan kesana. Terlebih dihadapkan kepada sosok yang seperti dia. Wajahnya yang lembut, senyumnya yang menawan, kerudungnya yang lebar, mengingatkan aku pada cerita ustadz yang dulu mengajarku di rumah kala Abah masih ada. Ustadz berkata kalau surga itu indah sekali. Disana, taman dialiri telaga susu hingga harum bunganya pun belum pernah seorang manusia menciumnya. Subhanallah… andai akhirat adalah sebuah kertas, akan kupotong saat bunga-bunga surga bermekaran dan air telaga susu mengalir dengan lembut. Aku akan membawanya kemana-mana. Aku akan menciumnya dalam-dalam dan tak sedikit pun aku lepaskan.

Itulah kedahsyatan perempuan berkerudung tadi. Apalagi saat matanya memandang arus sungai, saat senyum tercerah menjadi satu-satunya fenomena terindah yang muncul di tengah kekumuhan rumah-rumah tepi sungai. Saat kerudungnya tergerai tertiup angin, aku mendapatkan cekaman-cekaman yang mempesona seolah aku begitu dekat dan tahu segala sesuatu tentang dirinya. Padahal pengetahuanku tentang dirinya hanya sebatas menduga-duga dari mata, senyum dan kerudung saja.

Esoknya aku menemukan lagi secarik kertas merah muda di bawah pintu. Isinya seperti sebuah pertanyaan; Tahukah kamu bagaimana menyakitkan dicintai ketika kita tidak beriman oleh orang yang kita cintai? Tahukah kamu bagaimana menyakitkan dicintai ketika kita beriman oleh orang yang tidak kita cintai? Jagalah imanmu sebab besok atau lusa siapa yang tahu dia masih ada.

Aku jelas-jelas tidak mengerti apa maksudnya. Mengapa harus keluar kata-kata yang berbelit-belit begitu. Kenapa harus memusingkan kata cinta kalau memang ada yang mencintai. Agh! Otakku ternyata terlalu bebal untuk mengerti apa yang dia maksud. Aku bermaksud bertanya kepada perempuan di tepi jendela yang aku kira si pengirim kertas-kertas ini. Namun, sejak pesan terakhir yang aku terima, tak sekalipun ia perhatikan aku lagi. Berkali-kali aku sengaja memainkan volume lagu kesukaannya. Tapi hasilnya nihil! Dia tetap saja memandang arus sungai Citarum. Sampai aku sendiri menjadi capek melihatnya. Disatu sisi perasaan di hati ini semakin tak tertahan.

Walau apapun caranya jua
Engkau mendaki gunung yang tinggi
Engkau merentas lautan api namun tak jua dimiliki
Jika tidak kembali pada Allah


Mungkin pernyataan itu ada kaitanya dengan lagu ini. Tapi aku tetap saja tak mengerti. Apalagi sejak perempuan berkerudung itu enggan perhatikan aku. Dia makin asyik dengan dunianya yang sepi, dingin, hampa dalam kesenyapan malam, deru air sungai, bulan purnama, siluet Tangkuban Perahu, suara kendaraan, bunyi suara tukang nasi goreng dan lainnya.

Seketika itu juga janjiku tentang dia seakan terhempas angin topan yang datang secara tiba-tiba. Niatan untuk mengenalnya lebih jauh menjadi haru biru. Walaupun tidak selayaknya seorang muslim berputus asa. Sejak itu aku tidak bersemangat lagi pulang begitu kerja selesai. Ritual menyalakan tape butut pun seolah jadi sesuatu yang tabu. Malam itu tepat pukul 22.00, sepulang kajian di DT, aku menemukan beberapa carik kertas yang sudah sedikit lecek dan menguning. Aku tatap lebih dalam. Bentuk hurufnya sama seperti yang selalu aku terima sebelumnya. Dengan perasaan ingin tahu yang menggebu aku segera bersandar di kursi lantas membacanya:

Namaku Nur Fitri. Saat ini usiaku 22 tahun. Saya lulusan pesantren di Tasikmalaya. Bapakku adalah pemilik pesantren itu. Keluarga saya termasuk keluarga terpandang. Saya sendiri anak ke sebelas dari dua belas bersaudara. Dulu saya adalah seorang santriwati teladan di pesantren. Dari ilmu-ilmu alat hingga bernasyid selalu saya yang dikedepankan. Lagu Iman Mutiara selalu saya nyanyikan setiap pulang dari masjid bareng sahabat-sahabatku. Keistimewaan saya bukan berarti membuat saya semakin betah. Saya justru pergi dari pesantren. Ini saya lakukan sebagai protes kepada bapak yang menjodohkan saya dengan pilihan yang bapak mau. Padahal saya sudah punya pilihan dan ingin sekolah yang lebih tinggi lagi di Bandung.

Dengan bantuan seorang teman, saya tiba di Bandung. Demi menghidupi diri sendiri dan biaya sekolah, saya bekerja menjadi pelayan part time sambil memberi privat anak-anak SD hingga suatu malam di kamar kost, saya diperkosa oleh pacar teman saya itu. Kesucian dan keyakinan hidup yang saya bangun selama ini seakan hancur berkeping-keping. Seketika itu saya hancur. Akhirnya dengan bersusah payah saya mencoba membangun dunia saya kembali dengan air mata dan kesakitan. Segala apa yang saya punya, apa yang Allah berikan, saya jual sebagai bentuk kesakitan dan frustasi.

Suatu ketika ada seorang akhwat menghampiri saya. Ketika itu saya menangis sendirian di pojokan mushola sambil membaca Al-Qur’an kenang-kenangan juara MTQ antar pesantren. Padahal sejam sebelumnya saya baru memuaskan seorang babah pemilik perusahaan kayu dari Semarang. Sungguh menggelikan ketika akhwat tadi mengatakan terpesona dengan suaraku. Dia tak sadar kalau mulut ini memang mendayu-dayu dan indah. Tapi sebenarnya hati saya berdarah. Saya hanya bisa tersenyum getir. Tapi kedekatan dia, cara dia memberikan perhatian, sungguh merupakan bahasa kalbu yang baru bagi saya. Saya terhenyak dan mengingat kembali segala sesuatu yang ada jauh sebelum saya datang ke kota ini. Setiap hari dia menemui saya. Setiap hari dia memberi tulisan-tulisan bernada nasihat. Setiap hari juga dia kirim sms untuk mengingatkan shalat tahajud. Padahal setiap malam itu dia kirim sms, saya sedang berada didekapan laki-laki yang selalu berganti-ganti. Setiap minggu juga dia selalu berikan selebaran berwarna putih biru dan ujung-ujungnya ajakan untuk ikut Qudwah. Begitu dia bilang.

Saya makin takjub ketika dengan tulus dia menawarkan kakak laki-lakinya kepada saya. Digenggamnya tangan saya erat dan meluncurkan kata-kata itu. Meski akhirnya dia tahu siapa sebenarnya saya tapi tidak menyurutkannya untuk berhenti berkata. Ah, diam-diam air mata saya mulai menetes melihat ketulusan sahabatku yang satu ini. Namun setiap pelanggan menjemput, saya diingatkan kembali bahwa iman saya telah hilang entah kemana. Karenanya, ucapan dan permintaan tulus sahabat saya itu seakan masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Tapi di lubuk terdalam saya butuh semua yang dia katakan. Jujur saya butuh itu. Saya butuh kedamaian. Saya capek hidup di dunia yang kotor ini. Hidup saya yang sebenarnya bukan di alam nista ini. Dalam keadaan seperti itu, tahukah kamu bagaimana menyakitkan dicintai ketika kita tidak beriman oleh orang yang kita cintai? Tahukah kamu bagaimana menyakitkan dicintai ketika kita beriman oleh orang yang tidak kita cintai? Saya memang sudah terbiasa menangis dalam hati. Tapi tidak meratap seperti halnya saat itu. Ketika akhwat tadi mencegah saya dijemput oleh mucikari pengelola night club tempat saya bekerja. Ia malah diperkosa oleh kaki tangan si mucikari sebagai balasan penolakan saya untuk bekerja lagi. Ratapan saya semakin menyanyat ketika kakak sahabat saya -yang akan dijodohkan kepada saya- meninggal ketika mencoba menolong adiknya yang sedang diperkosa. Tiga buah tusukan sangkur tepat menusuk jantung kiri dan lambungnya. Sungguh saya tidak tahan.

Selembar lainnya hanya berisi sebuah kalimat: Terima kasih Pras, kau telah mengingatkan saya tentang iman. Sesuatu yang bertahun-tahun saya coba kubur tapi tak pernah sedikit pun dia mati.

Hah?! Bagaimana dia tahu namaku? Sontak aku terkejut ketika di kertas tersebut jelas sekali tertulis namaku. Apakah selama ini dia mencari tahu tentang aku juga. Kalau begitu perasaan aku dan dia ternyata sama. Kami saling merindukan masing-masing. Aku segera bergegas menuju jendela kamar untuk menyapa perempuan di tepi jendela itu. Belum sempat aku menggerakan tangan, perempuan itu tersenyum lantas melambaikan tangan dan masuk ke dalam. Benarkah ini kisah perempuan yang suka lagu Iman Mutiara itu?

Esoknya aku datangi rumah bertingkat di seberang sungai. Niatku saat itu untuk mengungkapkan segalanya dan meminta penjelasan dia. Tapi tak ada seorang pun yang tahu tentang Fitri. Penghuni kamar yang jendelanya menghadap sungai sekarang bernama Irma, seorang scoring girl yang terlalu liar di mataku. Aku merasa seisi rumah kost itu menyembunyikan Fitri. Karenanya setiap pagi aku menunggu di depan rumah itu. Sampai seorang tetangga memanggil aku.

"Pras, Saya dengar kamu mencari seseorang ya?" katanya.

"Ya" jawabku singkat.

"Kamar itu memang pernah ditinggali Fitri. Tapi itu enam bulan yang lalu."

"Enam bulan yang lalu?" aku keheranan.

"Benar enam bulan yang lalu. Entah kenapa dia melompat ke sungai dan meninggal. Sengaja cerita itu disembunyikan biar yang kost tidak takut. Masalahnya kematian dia sedikit janggal. Kayaknya dia bukan bunuh diri tapi dibunuh. Kamu kenal Fitri darimana?"

"Innalillahi," Saat itu juga aku bergegas pulang. Tak tahu harus melakukan apa. Tapi aku sempat menuliskan sebuah kalimat di agenda harianku: Tahukah kamu bagaimana menyakitkan dicintai ketika kita tidak beriman oleh orang yang kita cintai? Tahukah kamu bagaimana menyakitkan dicintai ketika kita beriman oleh orang yang tidak kita cintai? Jagalah imanmu sebab besok atau lusa siapa yang tahu dia masih ada. Ya….semoga begitu Fit!


Untuk Aku, Kamu, dan Mereka

September 2005



Keterangan:
Abah = bapak (Sunda)
Ambu = ibu (Sunda)
Babah = Panggilan utk bapak-bapak beretnis Cina
Bajigur = minuman khas Jawa Barat
Banjaran = Kecamatan kecil di selatan Bandung
Butut = Jelek (Sunda)
Cihapit = Nama jalan tempat jualan barang loak di Bandung
Scoring Girl = Perempuan penghitung angka di meja bilyar
Waitress = pelayan

Ini Air Mata Hujan Terakhir, Gi



Sore ini sebenarnya cerah tapi entah kenapa aku ingin sekali ke sini, tempat kita dulu selalu duduk sehabis latihan fotografi. Di bawah angka 1 yang terbuat dari stainless steel itu. Aku ingin, benar-benar ingin, kesini. Untuk melihat kamu, walau hanya bayang samarmu. Heran, setelah adzan Isya tiba-tiba udara berubah. Gerimis kembali turun. Tak lama hujan kian melebat. Bandung saat ini memang sedang musim hujan.

Pantas tadi panas sekali,” kata seorang laki-laki kurus pada temannya. Mungkin mereka anak-anak Akutansi semester 1. Beberapa memegang Accounting Principles-nya Kieso, beberapa bercerita tentang balance sheet. Arah datangnya tepat dari kelas Pengantar Akutansi.

Panas? Ah cerah kok siang tadi, pikirku. Mungkin mereka saja yang kepanasan otaknya memikirkan angka-angka kredit dan debit.

Hujan ini ternyata membantuku melihat bayangmu. Di sini, di bawah angka 1. Dulu, kau pernah memberi kehangatan padaku. Ya persis disaat hujan-hujan seperti ini. Saat itu, kita pacaran sudah delapan bulan. Sejauh itu kau baru “bisa pegang tanganku”. Untuk mengelus pipi atau bahkan mencium kening saja kau belum pernah melakukannya. Kontras sekali dengan pembawaanmu yang terkesan berandal.

Suatu sore, hari selasa juga seperti hari ini, atau tepatnya malam, kita pulang latihan. Kita selalu sengaja memutar. Melewati FE dan Ruang Seni.

Biar lebih lama bisa pegang tanganmu, Lin!” katamu dengan wajah yang tak berani menatap mataku. Aku tahu kamu pemalu. Karenanya aku tertawa. Ternyata kamu berani juga. Aku setuju saja. Kita selalu diam-diam menyelinap pulang. Hanya Fauzi, Siska, dan Agung yang tahu kita pacaran. Siska dan Agung malah tahu sejak pertama kali aku kenal kamu.

He…he…, lucu juga mengingatnya! Aku ingat, saat itu aku sedang mengambil angle masjid dengan Pentax K-1000. Aku berteriak-teriak pada Siska agar menjawab hasil hitungan lightmeter untuk pilar masjid yang terakhir. Saat itu, kamu yang kala itu memakai baju Bad Religion berkata “Pakai F30, 1/125 detik.!”. Aku terheran, seraya mengernyitkan hidungku. Tak lama, “F30, 1/125 detik!” teriak Siska diseberang sana. Kamu tertawa. Astaga……, taring kananmu gingsul, Gi!

Sejak saat itu aku menyebutmu Gigi. Itu karena taringmu yang gingsul. Habis, namamu susah sih. Eh, sekarang aku ingat: Sancyaki. Sancay, katamu sambil tersenyum. Aku terkekeh. Memangnya ini Meteor Garden. Aku bilang pada Siska cuma naksir karena pribadi kamu. Kalau dari fisik jelas masih banyak teman lain yang jauh lebih tampan. Tapi kamu punya sesuatu yang lain. Dibalik kesan kamu yang nerd juga nge-punk, aku tahu hati kamu justru lebih halus dari Pram yang menjadi idola mahasiswi-mahasiswi. Aku bilang pada Siska paling cuma sebulan aku naksir kamu. Setelah 6 bulan ternyata aku tetap naksir kamu, Siska mentertawakan aku. Rasain, begitu dia bilang. Aku sudah bilang bingung, tadinya aku tak mau berpacaran denganmu. Sebab banyak yang mengejar aku. Tapi tidak tahu kenapa tahunya mentok juga. Sudah bingung, sebab aku pikir, aku ge-er saja terhadap sikapmu yang kok aneh (he…he…!). Buat seorang yang pemalu seperti kamu, aku menilai itu sesuatu hal yang berani. Biasanya kamu selalu membuat puisi-puisi manis seperti yang aku minta. Tapi saat itu, di dalam mobil Starlet merahmu, kamu mengatakan………, begitu deh! Malu ih mengingatnya!

Meski memang tidak seperti yang banyak orang lakukan, aku tahu kalau maksud kamu adalah menjalin hubungan yang lebih. Kamu tidak berkata “Maukah kau jadi pacarku?!” Tapi kau dengan caramu. Dengan hatimu.

Gaya pacaran kita umumnya adalah hunting foto. Disana kita melihat berbagai objek, atau kamu berikan jaket lusuhmu untuk menutupi kamera dan badanku dari hujan. Sampai suatu saat, ketua jurusanku tiba-tiba berada di depan kita. “Linda, kenapa kamu biarin teman kamu basah? Kamu kan pakai dua jaket,” tanya ketua jurusanku. Lantas kamu menjawab dengan seenaknya, “Tidak apa-apa kok Pak. Saya lagi cari inspirasi. Lagian gerah.” Aku tersenyum sekaligus terheran-heran. Masa Bandung lagi hujan dan dingin begini disebut gerah. Dasar gokil!

Hujannya kian deras Gi! Gi inget tidak Senin dulu itu? Kita lari-lari sambil menenteng kamera dari samping Gedung Sate bagian Barat, terus menumpang berteduh di kanopi gedung yang tadi kita ambil gambarnya.

Kita sedikit basah karena angin menyebabkan air hujan tiris. Tiba-tiba kamu selipkan tasmu di antara badan kita. Lalu kamu raih aku dengan lembut, ketika kau melihat aku terkantuk-kantuk bersandar kedinginan.

Ngantuk, Lin?

Sial, sudah tahu begitu kok malah bertanya. Aku pindahkan tasmu ke bawah kaki. Aku sandarkan kepala di pundakmu tanpa penghalang tadi. Pertama setelah delapan bulan berpacaran! Ah! Aku menikmatinya. Meskipun aku ragu dengan kamu. Sekilas aku lihat wajahmu kikuk dan degup jantungmu keras memacu. Kamu salah tingkah. Tapi aku menikmatinya. Aku nyaman berada disamping kamu yang begitu terjaga. Aku yakin bersamamu akan aman. Kemudian aku tertidur sejenak dalam sandaranmu. Terbangun ketika tiba-tiba aku merasakan hembusan hangat berada di depan mukaku. Aku memandangmu.

Kau terpaku. Kelopak mataku sayu. Syahdu. Kau bilang, “Tidur ya!” Aku hanya mengangguk. Berharap kamu meneruskan apa yang tadi kamu mau. Jantungku mulai berdetak keras. Berharap sesuatu yang lembut dan indah mengisi hari ini. Kamu diam lama. Lalu menyibakkan rambutku yang basah. Bibirmu meluncur tepat di keningku.

Gila, aku hampir kehilangan keseimbangan saking terkejutnya, Gi! Kamu yang begitu pemalu pada perempuan. Tenyata. Kamu memberlakukan aku dengan hormat. Berbeda dengan pacar-pacarku dulu. Disaat seperti ini mungkin mereka bisa berlaku lebih dari apa yang kamu buat. Kamu malah menyia-nyiakan kesempatan itu. Mungkin itulah cara kamu mengungkapkan rasa padaku. Tidak mengedepankan nafsu. Tapi sungguh itu adalah kelembutan yang luar biasa, menurutku.

Kemudian kita berdiam diri dengan tetap pundakmu aku jadikan sandaran. Hujan reda dan kita saling berbimbingan berlari-lari kecil menuju jalanan Cimandiri. Dalam angkot kosong, kau berkata, “Maaf Lin.

Aku heran, dan kau jawab pertanyaanku dengan “Aku tadi terbawa suasana. Bukan maksudku menggunakan kesempatan, Lin. Tadi aku benar-benar ingin melakukannya pada orang pertama yang benar-benar aku sayangi. Kamu kan tahu sendiri biasanya aku seperti apa.

Aku tersenyum dan mengeratkan genggamanku. Kemudian kau menarik tanganku ke depan dadamu lantas sesaat mencium lembut jemariku. Rasa aneh yang nikmat lagi-lagi menyerang ulu hatiku. Ah!

Sebuah mobil tiba-tiba lewat di depanku. Kencang. Aku terkejut. Kesal karena bayangmu segera melenyap. Namun himpunan bayangmu datang lagi ketika aku menatap ke depan. Di situ, dulu ada lapangan bola. Entah sekarang, sepertinya sudah tidak ada lagi.

Dulu aku sering menunggumu ketika anak-anak Mapala sedang bermain bola, ya di sini ini. Melihat kau teriak-teriak, berlari kencang, dan tertawa terbahak. Sedangkan aku makan kwaci sambil tersenyum sendirian, sampai bibirku jontor. Biasa, gara-gara garam kwaci. Bagaimana tidak jontor melihatmu bermain sambil becanda terus di lapangan. Jelas tak matching dengan posisi kamu, penyerang yang larinya kencang sekaligus piawai menjebol gawang.

Wih! Terus agak tersembunyi di sana ada ruang himpunan mahasiswa jurusan IESP yang dulunya markas anak eksponen 66 Bandung. Aku ingat ketika kau, entah dalam rangka apa, diklatsar pecinta alam. Kau lari, bilang mau ke WC tapi malah ke telepon umum di pojok tembok itu. Kau bilang, kau ada dua puluhan uang receh, jadi bisa mengobrol lebih dari setengah jam. Bayangkan, itu sudah hampir jam sebelas malam. Bukan malam minggu pula. Malam jumat. Untung saja ibu dan ayah sedang pergi ke Padang. Kalau tidak, bisa-bisa diintrograsi. Tidak sampai “dinyanyiin” sih, tapi pasti nanyanya aneh.

Kamu lalu laporan, “Banyak nyamuk Lin, genit-genit seperti kamu.” Sial, aku disamakan dengan nyamuk. Aku tanya “Gatal tidak?” Jawaban kamu pasti jayus: “Tidak kok, cuma sedikit pedes!

Beberapa hari kemudian kamu bercerita lagi. Katamu, sehabis menelpon aku, kamu “dikasih” norit dan pil kina dalam jumlah yang banyak oleh ketua diklatsarmu. Ha…ha…ha…, rasain! Sebab waktu ditanya ke WC lama benar, kamu jawab sakit perut. Ketua diklatsarmu memang baik. Dia kan harus bertanggungjawab ke rektor. Tapi kasihan juga pas sih dengar kamu mabuk gara-gara kelebihan dosis.

Wah… wah…! Banyak kenangan kita ya! Tapi yang paling aku ingat adalah ketika kita tiba-tiba bertemu di pameran buku. Begitu ketemu, aku langsung marah. Sebab sebelumnya kamu batalkan janji kita karena ada perlu katamu. Nyatanya kamu malah ada di pameran buku. Bertiga dengan teman-teman barumu yang berjenggot dan aktif di DKM Masjid Universitas. Tiga bulan sebelumnya, sikap kamu memang menjadi aneh. Kamu seperti orang asing di depanku. Bahkan kamu seakan-akan berusaha menjauh. Meski aku yakin sebenarnya bukan itu yang kamu mau.

Wah! Jengkel. Kamu bilang: “Maaf Lin. Tadi aku ada halqah, eh pengajian dulu. Kebetulan memang dekat pameran buku tempatnya.” Aku kesal tapi tidak bisa protes sebab alasan yang kamu bilang pengajian. Biar begini aku masih menghormati orang untuk belajar agama. Kebetulan ayahku memang muslim yang taat. Tiap beberapa bulan sekali dia selalu pergi ke luar kota bahkan luar negeri untuk pergi khuruj.

Tapi tetap perubahanmu membuat aku tidak mengerti. Penampilanmu yang nge-punk sekarang berubah menjadi lebih rapih. Sikapmu yang cuek tapi pemalu malah semakin pemalu dan tertutup terlebih kepada teman-teman perempuan. Siska malah pernah bilang kalau kamu sekarang malah hanya tersenyum saja bila disapa. Lantas pergi tanpa berkomentar apa-apa. Begitu juga padaku. Telepon-telepon jenaka dan hangatmu mulai jarang aku dengar. Biasanya kamu nongkrong di tempat jualan gorengan bareng teman-teman mapalamu, sekarang mereka bilang juga tidak tahu keberadaanmu. Padahal aku berharap masih bisa menyusuri jalanan Bandung sambil mencari objek-objek menarik buat kita ambil gambarnya.

Bayang-bayangmu lenyap lagi sejenak, saat aku sadar hujan telah habis. Kulangkahkan kakiku meninggalkan angka 1 seraya berbisik, “Kutinggalkan sepotong cinta kita disini, Gi.

Lalu ingatanku melayang pada beberapa hari berselang. Kau yang tadinya menjauhi aku tiba-tiba menghubungiku. Lantas mengajakku untuk mau menerima khitbah kamu. Itu yang kamu bilang tentang melamar dalam bahasa baru kamu. Aku terhenyak. Gila pikirku. Baru sebelas bulan pacaran. Kau bilang kau serius. Sebab Islam mengatur seperti demikian. Kamu tidak ingin aku terjebak dosa yang disebabkan rasa sayangmu kepadaku. “Ini sesungguhnya yang aku mau. Yang sesuai dengan aturan-Nya,” pinta kamu. Aku tahu kamu takut kehilangan aku. Aku terpaku dan tak terasa butiran air mata jatuh membasahi pipiku, “Tidak akan ada yang dapat memisahkan kita, Gi. Asal kamu kembali menjadi Gigi-ku yang dulu!

Ada. Ada yang dapat memisahkan kita,” jawabmu, “Ada, Lin! Maut dan keimanan kita!
Dadaku bergegup keras.

Ya, maut…..,” sahutku berbisik. “Tapi bukankah keimanan kita sama, Gi? Aku muslim, kamu pun muslim.

Ya benar. Tapi muslim yang seperti apa?” jawabmu.

Lalu kau berikan sebuah buku berwarna putih dengan tulisan merah menyala. Bertulisankan “Sistem Pergaulan Pria-Wanita dalam Islam”. Aku menatap dalam buku tersebut. Biasanya aku kesal apabila kau sudah berbicara tentang pergaulan pria-wanita dalam Islam. Tapi saat itu rasanya nilai buku itu terlalu sakral. Dalam hati aku berjanji akan membaca buku itu dan mengikuti saranmu untuk mendiskusikannya dengan Mbak Novi. Kakak angkatanku yang aktif di DKM Masjid Universitas. Seperti kau saat ini.

Tanpa membiarkan aku berbicara lagi, kau lantas pergi meninggalkanku. Di tengah hujan rintik-rintik. Kau hanya berkata, “Tolong pikirkan permintaanku, Lin!”. Kau lantas pergi menuju serombongan mahasiswa yang membawa spanduk & bendera.

Esoknya. Tak sengaja kita berjalan bersama. Lalu kita berpisah di unit lima gedung fakultasku. Sebelumnya kau sempat berkata, “Hari Ahad aku akan pergi ke Aceh menjadi relawan disana. Bersama teman-teman. Mungkin sekitar dua mingguan aku disana. Afwan, kalau kemarin aku terlalu memaksa. Aku tunggu jawabanmu sepulangku dari sana.

Aku menggangguk, tak terasa aku menggegam keras buku pemberianmu. Kembali air mataku menetes. Aku ingin mengucap sepatah dua patah kata sebelum kau pergi. Tapi kau mungkin tidak mau kalau aku berkata berduaan. Siska tiba-tiba sudah mengamit lenganku sementara aku masih menatap punggungmu.

Rupanya angkot malam ini sudah habis. Kelas fotografi malam ini memang menyita waktuku. Teknik kamar gelap butuh waktu yang banyak. Kuhentikan sebuah taksi. Sopirnya memandangku heran. Biarlah! Terserah apa yang mau dipandangnya melihat seorang cewek sendirian di malam hari. Yang jelas ini hari pertamaku menggunakan kerudung meski belum seperti apa yang dijelaskan dalam buku yang seminggu lalu kau berikan padaku.

Ah Gi, kenapa harus kau,” bisikku. Air mataku menetes. Lagi-lagi menetes. Sekali lagi kugenggam buku putih pemberianmu dan kuraih sebuah koran hari ini dari dalam tasku. Sekali lagi kubaca sebuah berita di kolom kiri atas. Mengenai meninggalnya dua orang relawan Aceh akibat terjatuh ke jurang ketika sedang membawa obat-obatan. Salah seorang dari kedua orang itu adalah kamu, Sancyaki kekasihku. Disudut hatiku, kulihat kau. Lengkap dengan senyum gingsulmu.