Sejenak Bersama Calon Menteri #2

Sabtu, 31 Oktober 2009




“Pak, Bapak suka masakan Sunda tidak?” tanya saya ditengah keheningan.

“Suka-suka saja, Mas” timpal si Bapak, “Emang kenapa?”

“Syukurlah. Soalnya tadi saya pesan masakan Sunda”

“Iya ya? Tapi bukannya tadi pesan makanan Londo (baca: bule)?”

“Bukan Pak! Yang tadi saya pesan itu masakan asli Sunda”

“Gitu ya?”

“Iya. Tadi kan saya bilang Banana Split and Raisin Sundae. Nah itu lihat Sunda kan?”

“Oh iya ya”

“Ya iyalah. Masa ya iya dong. Mulan aja Jamilah bukan Jamidong”

“Gimana Mas?”

“Sudah. Lupakan saja, Pak. Itu sudah datang pesanannya!”

Pelayan datang membawa 2 cangkir sundae dan 2 steak dalam hotplate yang masih bergemericik. Tanda masih panas.

“Ayo Pak dimakan! Mumpung masih hangat”

“Saya makan diluar saja, Mas”

“Si Bapak mah bagaimana sih. Kalau makan diluar mah buat apa saya ajak Bapak ke dalam” kata saya, “Sudah makan saja!”

“Malu Mas. Masa kayak gini?” sambil malu-malu si Bapak memperlihatkan baju usang dan celana kotornya.

“Sudah santai saja. Rasululah juga bajunya lebih parah dari Bapak tapi dia tidak malu. Yang penting itu hati dan imannya. Baju mah tidak jadi ukuran seseorang itu masuk surga atau tidak. Kecuali kalau Bapak tidak menutup aurat” jelas saya, “Bapak auratnya nongol tidak?”

"Ndak, Mas. Resletingnya nutup kok” jawab si Bapak dengan tersenyum.

Akhirnya kami pun makan dengan mahsyuknya. Seperti apa makannya, tidaklah perlu saya bahas. Yang jelas si bapak nampaknya kesulitan ketika makan dengan menggunakan garpu dan pisau. Tanpa sendok pastinya. Mungkin dia saat ini sedang berpikir, di tangan sebelah mana saya harus letakan kedua benda ini.

“Nah begitu, Pak. Dimakan. Kalau kurang bilang saja”

“Kalau mau sama pelayannya sekalian juga boleh” kata saya membukan pembicaraan lagi. Tanpa begini saya yakin si Bapak merasa bahwa ini neraka baginya.

“Mau Pak sama si Mbak tadi?” itu senyum saya menjadi nakal.

“Mas, ini tau aja. Saya ini sering nikah loh, Mas”

“Hah??? Serius Pak?” tanya saya terkaget-kaget, “Poligami dong?!”

Ndak poligami. Saya nikah 7 kali. Tapi setiap nikah dengan yang baru saya ceraikan dulu. Cerainya juga baik-baik”

Subhanallah. Hebat banget sampai 7 kali. Enak dong. Hehehe…” canda saya, “Kalau di Wiro Sableng sudah punya ilmu kedigjayaan tingkat tinggi tuh”

“Namanya juga cerai, Mas. Ndak enak. Apalagi ini cerai karena ndak punya keturunan”

“Kok bisa Pak?”

“Saya ini dibilang laki-laki mandul oleh dokter”

Glek. Saya menelan ludah. Mau berkomentar tapi khawatir salah. “Tapi bukannya Bapak punya anak yang menjadi guru SD?”

“Iya itu setelah saya berobat ke Sensei. Orang Cina sini”

Tokcer?”

“Iya tokcer” jawab si Bapak, “Pakai ramuan Cina”

“Hebat euy” kata saya, “Kalau obat biar bisa menambah istri ada tidak, Pak di Sensei itu? Saya mau lah. Mau poligami. Hehehe…”

“Argh… si Mas ini” Si Bapak terlihat manis-manis manja. Kulitnya yang tadinya coklat legam sedikit merona. Tapi tidak mengkilat seperti ketika baru datang tadi. Mungkin ini efek sundae yang sedang dia makan sekarang.

Sambil memotong daging steak yang tinggal setengah lagi, saya lantas bertanya lagi pada si Bapak perihal jumlah anaknya. Dia jawab tiga orang. Bukan dua seperti yang dia katakan sewaktu masih di Lawang Sewu.

“Satu lagi itu anak angkat, Mas” jelas si Bapak, ”Saya ambil dari Stasiun Tawang. Kasihan soalnya terlantar begitu”

“Orang tuanya kemana? Kok bisa anak 7 tahun keliaran di stasiun?”

“Ini anak tersesat. Sudah begitu tidak bisa menyebutkan alamat rumahnya. Tadinya dia ikut orang tuanya tapi ketika di stasiun Surabaya salah naik kereta. Orang tuanya naik yang satu, dia naik yang lain”

“Kayak Home Alone saja, Pak”

“Apa itu , Mas?”

“Lanjut terus, Pak! Tadi mah bukan apa-apa”

Akibat perintah saya itu menyebabkan si Bapak menceritakan tentang anak angkatnya itu lagi, yang katanya cuma bermodal celana dekil, yang katanya sudah seminggu tiduran di emperan stasiun, yang katanya kalau celananya basah itu biasa dijemur di lokomotif lalu dia duduk rapat menutupi kemaluannya, yang katanya korban keluarga brokenhome, yang katanya punya codet
di mukanya karena dituduh maling jemuran, yang katanya baru bisa bertemu orang tua aslinya setelah ia menikah, yang akhirnya si Bapak bawa ke rumahnya lalu syukuran sederhana mengundang pihak PT KA, warga, dan keluarga untuk mengenalkan anak itu.

“Kasihan, Mas. Masa sih kita tega melihat anak kecil begitu!” jawab si Bapak ketika saya tanya alasan mau menolong anak itu. Si Bapak lalu melanjutkan perbincangan lagi. Menurut si Bapak, hanya orang jahatlah yang tega melihat si anak terlantar di pelataran stasiun yang kotor. Bagi dia, kaya atau miskin keadaan seseorang bukan alas an untuk tidak menolong bocah tadi.

“Rizki itu sudah ada yang mengatur, Mas!” tegasnya, “Biar saya narik becak begini, saya yakin ini anak punya rizkinya sendiri”

“Tuh lihat sekarang dia sudah jadi sopir bus AC eksekutif jurusan Semarang-Surabaya” kata si Bapak lagi, “Dulu mikir sekolahin dia sampai SMA saja kayaknya tidak mungkin. Tapi nyatanya? Dia tamat SMA. Dia sudah nikah sekarang. Punya rumah dan tanah. Itulah rizki”

Subhanallah si Bapak ini luar biasa. Salut saya”

Si Bapak mesem-mesem saja.

“Bapak ini cocoknya jadi Menteri, Pak” kata saya, “Kalau calon Menteri-menteri yang sekarang sedang ramai di TV mah tidak ada yang pantas. Termasuk Presidennya. Masih lebih pantas Bapak”

Ndak segitunya lah, Mas”

“Eh benar ini, Pak” kata saya, “Coba saja Bapak lihat. Mana ada pemimpin negeri ini yang seperti Bapak? Ada pengungsi Afghanistan yang butuh tinggal malah diusir, digebukin. Padahal mereka sama-sama muslim. Sama-sama manusia pula”

“Saya yakin, tidak ada satu pun pemimpin negeri ini yang mau mengadopsi anak anak terlantar yang ada di Stasiun Gambir sana. Padahal mereka itu kerjanya bolak-balik di sekitar situ’ ujar saya lagi.

“Mereka kan sibuk mengurusi Negara, Mas”

Lha, anak terlantar juga kan urusan mereka. Mengurus mereka sama dengan mengurus Negara juga. Bukannya ada di Undang-Undang?” timpal saya, “Kalau yang Bapak maksud mengurusi Negara itu adalah membuat “kurus” negara, nah itu baru saya setuju”

“Hehehe…” si Bapak tertawa.

“Tapi benar loh, Pak. Kalau Bapak itu lebih cocok jadi Menteri ketimbang penarik becak. Saya usulkan Bapak menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan saja. Dan saya Menteri Pariwisatanya.”

“Kok Menteri Menteri Pertahanan dan Keamanan, Mas?”

“Soalnya Bapak mampu bertahan hidup membiayai keluarga meskipun hanya sekedar menjadi penarik becak. Sudah begitu malah angkat anak pula dan semuanya berhasil menjadi orang. Padahal logikanya kan mana mungkin Bapak dengan keadaan seperti itu dapat membuat anak-anak Bapak berhasil seperti sekarang ini”

“Hehehe…” si Bapak tertawa lagi, “Lha Mas sendiri kok kenapa pilih jadi Menteri Pariwisata?”

“Kan saya hobinya keliling-keliling. Berkelana kalau Rhoma Irama bilang. Ya kayak sekerang ini” itu saya buat bibir saya menjadi tersenyum.

“Hehehe…” lagi-lagi si Bapak tertawa tanpa logat Jawa tentunya. Soalnya tertawa tidak bisa pakai logat.

“Tapi, Pak! Kita jangan mau kalau ditawarin menjadi Menteri di Negara Indonesia!”

“Kenapa Mas?”

“Indonesia mah sebentar lagi juga hancur. Sudah tidak benar. Lagian sistemnya juga amburadul” jawab saya, “Mending nanti kita menjadi menteri di Negara Khilafah Islamiyah saja”

“Khilafah itu apa?”

Kebetulan sekali pikir saya. Ini pertanyaan yang menjadi sasaran empuk buat saya. Dan mungkin sangat diharap-harapkan oleh banyak orang yang juga punya pemikiran sama seperti saya. “Khilafah itu Negara untuk seluruh ummat Islam di dunia. Ia…”

Belum sempat saya meneruskan definisi Khilafah, sekonyong-konyong muncullah itu pelayan yang tadi menghilang memotong pembicaraan tanpa alat-alat seperti gunting atau pisau.

“Maaf Mas, pesanannya sudah siap”

“Oh ya. Terima kasih” kata saya, “Ayo ah Pak kita pulang”

Kami pun lekas pergi dari meja café. Si Bapak keluar, saya ke kasir. Saya bayar lalu angkat satu kardus pesanan yang sudah ditunggu-tunggu dari tadi. Setelah saling mengucapkan selamat jalan antara saya dan kasir, saya langsung keluar menuju si Bapak pengemudi becak.

“Ini Pak, ongkos naik becaknya” kata saya sambil menyerahkan uang sebesar perjalanan dari Lawang Sewu ke Hotel tempat saya menginap, “Sudah sampai sini saja”

Lha kan ke hotelnya belum, Mas?”

“Sudah tidak apa-apa. Saya mau jalan kaki saja”

“Jauh loh, Mas”

“Namanya juga calon Menteri Pariwisata. Harus rajin jalan-jalan dong. Kan wisata!”

“Duh gimana nih…”

“Santai saja” kata saya, “ Sebagai tanda perpisahan saya tanda tangan becak Bapak saja ya?” Saya keluarkan spidol dari tas kecil. Saya bubuhkan tanda tangan saya di bagian samping kanan becak si Bapak dengan ditambabi tulisan: CALON MENTERI PARIWISATA NEGARA KHILAFAH ISLAM WAS HERE.

“Susah ya, Pak” ujar saya.

“Iya, Mas. Makasi”

“Bapak hapal kan pulangnya?”

“Yang harusnya nanya gitu itu saya, Mas!”

“Oh iya ya” kata saya, “Tapi sebagai calon Menteri Pariwisata saya harus hapal dong. Kalau tidak hapal, ya inilah saat yang tepat untuk menghapal”

“Hehehe…”

Saya ajak salaman itu si Bapak. Lalu saya pergi berjalan kaki lagi. Meninggalkannya di parkiran Toko Bandeng Juwana.

Pak, mudah-mudahan obrolan dan khayalan kita tadi menjadi doa dan kenyataan. Itu tanda tangan saya tolong jangan dihapus. Biarkanlah itu menjadi prasasti yang akan bercerita bahwa dalam kehidupan ini kita pernah bertemu sebelumnya. Apabila suatu saat nanti kita berdua menjadi menteri di Negara Khilafah Islam, tentunya kita bisa berkata pada dunia bahwa doa kita beberapa tahun lalu ternyata terkabul. Pun kalau misalnya hanya salah satu dari kita yang menjadi Menteri, anggap saja saya, bukti tanda tangan itu tadi bisa menjadi suatu kebanggaan bagi Bapak, keluarga Bapak, dan anak angkat Bapak, sebab Ayahanda mereka, yaitu Bapak, pernah menarik becak orang yang kemudian menjadi Menteri Pariwisata Negara Khilafah Islam dan makan masakan “Sunda” bersamanya di sebuah café di Semarang.

Sejenak Bersama Calon Menteri #1

Jumat, 30 Oktober 2009




Andai saja pagi itu saya ada di Afghanistan ikut berjuang dengan Syekh Osama bin Laden, mungkin saya tidak akan termenung di pos jaga Lawang Sewu ini. Sialnya tidak, sehingga itu saya hanya bisa duduk di sebuah kursi rotan di bawah pohon mangga yang sedang berbuah ranum dengan membolak-balik foto hasil jepretan saya tadi.

Sehingga pagi itu saya bisa mendapati seorang pengemudi becak sedang indehoy di becaknya. Duduk atau tiduran di kendaraan penghasil emas baginya, di depan gerbang Gedung Lawang Sewu. Sehingga hari itu, saya bisa mendekati seorang pengemudi becak itu dan berbicara dengannya, dan menawarkannya agar mau bercapek ria mengayuh becaknya dengan saya diatasnya. Dan terbersit saya punya pikiran, jangan-jangan orang ini adalah intel yang sedang menyamar untuk memata-matai mahasiswa-mahasiswa KAMMI yang sedang demo. Sehingga kalau justru saya malah menghardiknya karena menghalangi jalan masuk dan mengganggu saya sedang lihat akhwat-akhwat KAMMI, maka besok-besok hari ketika saya ditangkap intel dia tidak akan membantu melepaskan saya. Justru malah yang paling sadis menyiksa saya.

Tapi, bukan karena itu yang membuat saya menawarinya uang atas keikhlasannya membiarkan saya yang duduk disitu dan dia mengayuh di belakang. Karena saya tidak peduli saya akan ditangkap intel atau tidak. Seingat saya, saya ini adalah orang baik-baik. Manis, ramah, bersosialisasi dengan tetangga dan begitu hangat menyenangkan terhadap sesama. Lain halnya dengan kawan-kawan saya seperti Tupai, Bahcuy, Pepi, Japra, Mang Umen, Chireng, Dudung, Dimas, Tio Asoy, dll. Mereka pemuda-pemuda yang nakal. Yang kemungkinan esok atau lusa bakal segera dirumahprodeokan. Hahaha…

Saya ajak bicara Bapak yang entah siapa namanya itu, yang katanya kelahiran tahun 40-an, yang katanya asli dari Kudus, yang katanya pernah merantau ke Jakarta pada saat Ibu Tien membangun TMII, yang katanya dulu kerja di gudang-gudang tentara dan berlimpah uang karenanya, yang katanya punya anak perempuan ayng menjadi guru SD, yang katanya dilarang anaknya pakai baju Korpri pas sedang menarik becak, yang katanya tahu makanan yang hala dan haram di seantero Semarang, yang katanya bisa mengantar saya ke tempat esek-esek kalau saya mau, yang kegirangan setelah saya minta dia mengantar saya pulang ke hotel tapi sebelumnya mampir ke Toko Bandeng Juwana utnuk mengambil pesanan. Serta merta Bapak pengemudi becak pun mempersilahkan saya menikmati ranjangnya di malam hari itu.

“Pak, kalau ada PM Tanya, tolong bilang saya sudah tidak ada di Semarang, ya!” kata saya pada penjaga Gedung Lawang Sewu yang kebetulan sedang berjalan ke arah pintu gerbang.

“Polisi Militer? Lha, Mas ini tentara juga ya?” tanya Bapak penjaga yang memang pensiunan Korps Kavaleri. Itu saya lihat dari tato Yon Kav di lengan kanannya.

“Pokoknya bilang begitu saja, pak!”

“Mang kenapa, Mas? Ada masalah apa?”

“Dulu saya sempat menginap lama di sel kantor PM tapi lupa belum bayar billing kamarnya”

“Maksudnya?”

“Saya lagi tidak punya uang Pak. Jadi saya dulu izin menumpang hidup di sel PM. Tapi setelah puas, saya lupa bayar ke PM”

“Kenapa tidak bilang dari tadi kalau tidak punya uang. Ini Mas, pakai saja lagi uang yang tadi Mas kasih ke saya” Bapak penjaga mengembalikan uang yang saya berikan padanya atas jasa memperbolehkan dan menemani saya keliling Lawang Sewu.

“Ambil saja, Pak! Itu rezeki Bapak” kata saya, “Saya tidak punya uang itu dulu bukan sekarang. Sekarang sih saya sudah menjadi milyuner. Lihat nih buktinya saya naik becak”

“Yuk, Pak!” saya pinta Bapak pengemudi becak untuk segera menunaikan tugas mulianya. Dia pun naik, saya juga ikut naik, menyebabkan becak segera melaju.

“Eh, Mas gimana nih?” teriak Bapak penjaga gerbang.

“Sudah bilang saja begitu kalau PM datang. Uang dari saya mah pakai saja buat sunatan Bapak” jawab saya sambil berteriak.

Si Bapak penjaga gerbang melongo. Entah paham atau tidak dengan perkataan saya. Yang jelas saya dan Bapak pengemudi becak tertawa cengengesan.

Becak melaju. Belok kiri ke jalan Pandanaran. Melewati Toko Bandeng Juwana yang kata si Bapak pengemudi becak adalah toko yang asli, sedangkan yang saya akan tuju adalah yang palsu. Saya tidak mengerti kenapa dia bilang begitu. Padahal setahu saya Toko Bandeng Juwana yang saya tuju adalah cabang resmi dari Toko Bandeng Juwana yang tadi si Bapak tunjuk. Saya lihat itu di brosur. Dan kebetulan brosurnya sedang saya pegang erat-erat. Takut meletus lagi sebab tinggal empat.

Meskipun si Bapak begitu, tidak membuat saya membencinya. Justru semakin saya ajak mengobrol. Mengobrol apa saja. Seperti apakah Bapak masih punya ibu. “Sudah tidak punya, Mas” katanya.

“Pernah tidak suatu saat Bapak rindu?”

“Rindu apa?”

“Rindu ingin berkata-kata kasar kepada ibunya Bapak”

Ditanya begitu si Bapak malah tertawa. Aneh kata saya. Harusnya ia bersyukur sudah tidak mungkin berbuat durhaka. Sudah tidak mungkin menjadi batu seperti Malin Kundang.

Tak terasa, perjalanan kami berdua hinggap pada tujuan. Lihatlah, disana sepi. Tidak seperti di Toko Bandeng Juwana yang asli menurut si Bapak. Sambil turun dari becak saya meminta si Bapak menunggu sebentar. Karenanya saya akan mengambil pesanan terlebih dahulu.

Tapi tidak lama itu saya kembali lagi ke luar. Karena pesanan saya belum siap seperti yang si Mbak yang ada di balik pintu kaca itu.

“Pak, sudah sarapan belum?” itu saya sengaja mengagetkan si Bapak dari belakang. Membuat dirinya terkejut.

Belum katanya. Lantas saya ajak saja dia makan ke dalam. Kebetulan ada café di toko itu.

“Ayo Pak pilih mau makan apa!”

“Ah gimana Mas aja” kata si Bapak setengah berbisik. Duduknya mirip tentara ketika diberi aba-aba “Duduk Siap Grak”. Matanya lirik kanan kiri. Mencermati beberapa pasang mata pegawai toko yang dari tadi melihat kegiatan romantis kami berdua

“Ya susah kalau begitu” kata saya, “Samakan saja dengan saya ya?!”

“Iya Mas”

Saya panggil pelayan untuk segera mendekat. Saya pesan Tenderloin Double Steak Combo with Black Peppers Sausage dan Banana and Raisin Sundae. Dengan sedikit dikeraskan, saya ulangi pesanan saya itu agar terdengat oleh si Bapak.

“Sama kan Pak dengan saya?” tanya saya.

“Eughhh…. Iya” jawab dia ragu-ragu tapi mau.

“Mau ditambah pakai Beer atau Intisari tidak?” tanya saya lagi.

“Ih… gak ah Mas!”

“Mbak, Memangnya ada oseng-oseng Kuskus Australia disini” tanya saya pada pelayan.

“Hehehe…. Ndak ada, Mas”

“Tuh Pak, tidak ada menu begitu disini. Adanya di Australia tempat dulu Bapak tinggal” kata saya membuat bingung, “Sama saja seperti saya?”. Si Bapak mengangguk.

“Ada lagi?” tanya pelayan.

“Pak, mau Sate Jamu tidak?”

“Sate Jamu?”

“Iya itu loh…. RW… RW…!!!” saya mengingatkan si Bapak.

“Oh itu. Nggak, Mas!”

“Sudah itu saja Mbak pesanannya” saya bilang pada pelayan.

“Saya baca lagi pesanannya” kata pelayan.

“Tidak usah, Mbak. Sudah tahu kok” tolak saya, “Pak, baca ulang lagi jangan?”

Bapak penarik becak menggeleng-gelengkan kepalanya. Tanda penolakan yang halus tapi kentara.

“Hehehe… takut saya salah pesanan” kata pelayan.

“Lha kok takut sama pesanan?” kata saya, “Takut itu hanya kepada Allah. Kalau pun mau takut selain ke Allah, takutlah berbuat dosa. Sebab itu juga sebenarnya wujud dari takut kepada Allah”

Pelayan terdiam. Lantas tersenyum. Lantas meminta izin membaca ulang. Lantas saya mengangguk menginyakan. Lantas selesai membaca, dia yang balik mengangguk pada saya. Lantas dia pergi meninggalkan kami berdua. Lantas dia tidak terlihat. Menyebabkan dirinya seperti Suzzana dalam film Sundel Bolong. Menghilang.

[bersambung]

Little Journey In Semarang

Kamis, 29 Oktober 2009


Akhirnya kesampaian juga saya benar-benar menginjakkan kaki di Semarang. Biasanya saya ke sini hanya sekedar lewat saja. Tidak pernah sampai si kaki ini menginjak tanahnya. Maklumlah namanya juga di dalam kendaraan. Kalau saya berani menginjakan kaki, alamat masuk rumah sakit nantinya.

Berbekal data-data serta peta yang sudah saya siapkan sebelumnya dari Jakarta, usai turun dari Stasion Tawangmangu, saya meluncur ke daerah Gajahmada. Perjalanan Jakarta – Semarang selama 12 jam membuat perut saya asli keroncongan. Padahal biasanya perjalanan normal hanya membutuhkan waktu 6 jam saja. Katanya sih ada kereta anjlok.

Sampai daerah Gajahmada memang sudah cukup larut. Sekitar jam 10 malam. Beberapa spot kuliner sudah menggulung tikarnya. Namun beruntungnya saya, ada sebuah tempat yang ramai yang masih menyala-nyala petromaknya. Segera saya dekati. Dan oh yah, ini salah satu targetan saya, Nasi Pecel Mbok Sador. Tanpa ba bi bu segera saya membuat diri saya terduduk di atas kursi yang disediakan.

Penjaja pecel duduk di tengah tenda dihadapan pecel dan berbagai menu sampingan. Jelas membuat air liur saya mengalir dengan derasnya. Saya pesan 1 porsi dengan toping usus, peyek, martabak. Tak lama saya disodori nasi pecel yang sudah dibungkus daun pisang. Meski kesannya ndeso tapi saya yakin rasanya ngota. Benar dugaan saya. Baru kedua kali ini saya makan nasi pecel yang rasanya enak. Sebelumnya saya pernah makan nasi pecel di Yogya. Itu enak. Tapi yang di Bandung & Jakarta rasanya jauh dari harapan saya. Hanya saja perbedaan pecel Semarang (Mbok Sador) dengan pecel Yogya (lupa namanya), bumbu pecel Mbok Sador sedikit lebih pedas dan berasa.

Kenyang makan nasi pecel yang harganya murah tapi nendang itu, saya segera merapat ke hotel yang tidak jauh ternyata dari Gajahmada. Cukup berjalan kaki sembari menurunkan makanan yang tadi. Biar tidak menjadi lemak jenuh.

***

Esoknya, pagi-pagi sekali, saya loncat dari hotel lalu berjalan menuju Kota Lama. Kebetulan hotel yang saya inapi berada di seputar Kota Lama. So, sudah tidak usah disangsikan lagi kalau banyak bangunan-bangunan oldschool disana. Bangunan era VOC yang masih tetap kokoh di tengah modernitas. Sayang penataan lingkungan di Kota Lama kurang diperhatikan oleh penguasa setempat. Pentaan ruang, drainase, jalan terkesan sembrawut dan kotor. Atau itu memang disengaja agar tanpa tua dan dekil? Mhmmm…

Sekitar 500 m pertama saya berjalan dari hotel, saya menemukan toko legendaris penjual Wingko Babad; Cap Kereta Api. Ini Wingko Babad cap Kereta Api yang asli. Sebab (katanya) banyak tiruannya dan susah dibedakan. Cap Kereta Api yang asli gambar keretanya bergerak dari kiri ke kanan dengan garis warna hijau. Tidak ada embel-embel lain.

Tak jauh dari sana, sekitar 200 m, ada sebuah gereja berarsitektur terracotta. Saya lupa namanya. Namun kalau saya lihat, gaya bangunannya seperti gaya bangunan gereja di film-film cowboy. Darisana saya belok ke kanan. Menyusuri kembali jalanan paving blok dan bangunan-bangunan usang berdebu. Tepat diseberang kiri Gereja Bleduk yang terkenal di Semarang. Warnanya putih kokoh dengan kubah berwarna merah mencolok. Yang menarik adalah ada dua buah tower yang di masing-masing tower-nya ada sebuah jam yang menunjukan jam 9. Sayang jamnya mati. Dari gaya bangunan, gereja ini mengingatkan saya pada Gereja Immanuel yang ada di depan Stasiun Gambir. Dan ternyata nama Gereja Bleduk itu sendiri pun adalah Gereja Immanuel.

Tak kurang 500 m dari Gereja Bleduk, ada sebuah tempat yang dinamakan Marabunta. Awalnya saya bertanya-tanya apa Marabunta itu. Ternyata ia adalah sebuah bangunan sejenis aula yang diatas atapnya bertengger 2 buah patung semut raksasa. Entah apa yang ada dipikiran arsitekturnya sampai menyematkan semut disana. Kenapa tidak bandeng saja yang sudah menjadi ciri khas Semarang.

Bosan melihat semut raksasa yang tidak bergerak-gerak, saya langkahkan kaki ke arah utara. Tepat 500 m terbukalah horizon di depan mata saya. Nampak Polder Tawang berikut Stasiun Tawang diseberangnya. Di sisi sebelah ujung kiri saya nampak juga Pabrik rokok tua merek Paroe Lajar.

Lama saya duduk-duduk di Polder Tawang. Menikmati pagi. Sambil melihat sunrise yang menguning di riak air danau buatan kolonial itu. Namun ketika matahari mulai merekah, saya putuskan untuk kembali ke hotel. Khawatir sudah banyak orang di jalanan. Sebab kalau demikian, saya susah untuk mengambil gambar bangunan yang suasananya mirip Sungai Thames di UK sana. Belum lagi saya harus ke Masjid Agung Semarang yang letaknya berada di sekitaran Pasar Johar, sebelah tenggara dari hotel tempat saya menginap.

Walhasil, saya tutup perjalanan pagi itu dengan sholat tahiyatul masjid di Masjid Agung Semarang yang memiliki 4 buah prasasti dalam bahasa yang berbeda-beda; Arab, Indonesia, Inggris, dan Belanda.

Malam pada hari itu juga, usai beres perkejaan, saya kembali “melangkahkan kaki” ke luar. Saya hentikan langkah di depan Hotel Dibyo Puri yang tepat di seberang hotel tempat saya menginap. Sebuah hotel tua yang nampaknya sudah tidak menerima tamu lagi. Dari sana kemudian saya langkahkan kaki langsung ke arah Selatan menuju Istana Wedang. Jaraknya lumayan. Entah berapa kilo meter. Yang jelas setengah jam saya berjalan kesana. Mungkin 4-5 km. Sampai sana sudah pasti langsung memesan minuman agar dahaga akibat berjalan tadi sirna. Saya pilih Wedang Klengkeng (saya lupa namanya. Seingat saya isinya rumput laut, lengkeng, es baut, cengkeh, gula merah, dan tentunya air). Rasanya seperti es lengkeng tapi gula yang dipakai adalah gula merah. Banyak sebenarnya berbagai minuman disana tapi saya tetap memilih wedang klengkeng tadi. Soalnya dulu penasaran mau beli tapi tidak sempat terealisasikan.

***

Dua hari kemudian, pagi-pagi saya sudah “keluar” dari hotel. Tapi sebelumnya, perut sudah saya isi terlebih dahulu dengan sarapan yang disediakan hotel. Sengaja saya pilih makan dulu. Sebab perjalanan hari ini pasti akan sangat melelahkan pikir saya. Saya akan berjalan kaki dari hotel menuju Simpang Lima lalu ke Tugu Muda dan kembali lagi ke hotel. Kalau dilihat dari peta bentuknya melingkar. Tak tahu berapa kilo per kilonya. Yang pasti jauh.

Keluar dari pintu hotel, saya ambil jalan menuju Pasar Johar. Terus menyusuri pasar dan jalanan yang tergenang banjir rob. Lantas belok kanan ke arah Pecinan. Kebetulan toko-toko masih tutup saat itu. Jadi Susana tidak terlalu padat. Aslinya, saya yakin, disana adalah tempat perdagangan yang sangat padat dan sibuk. Sayangnya, ini pun terjadi pada tempat tujuan saya berikutnya yang ada di daerah Pecinan situ; Lumpia Gang Lombok. Namun saya sedikit terobati sebab persis disamping toko tersebut, tampak megah sebuah miniatur kapal perahu Cina kuno di pinggir sungai dan sebuah Klenteng kuno; Kay Kak Sie. Yang paling menarik dari klenteng ini menurut saya adalah dua buah lilin besar di depan patung Budha yang sedang tidur & keranda-keranda peti mayat khas Cina. Ada vampire kah didalamnya? Hahaha…

Berbekal peta di tangan, saya susuri kembali jalanan kota Semarang. Terus menuju selatan. Terkadang ketika menemukan barang baru, saya hentikan sejenak langkah saya. Seperti ketika menemukan Pisang Plenet dan Tahu Pong di pinggiran jalan. Setelah itu saya ronggoh uang di saku celana. Lalu membelinya 1-5 buah. Pisang planet sendiri berupa pisang yang dibakar diatas tungku. Sebelumnya sudah dipipihkan. Setelah itu ditambahkan gula merah . Sedangkan Tahu Pong kata sih sih mirip dengan Tahu Sumedang. Hanya penamaan saja yang beda.

Tak terasa, sampai juga saya di Simpang Lima. Sebuah lapangan yang luas yang dikitari oleh bangunan-bangunan yang lumayan besar dan sebuah masjid. Masjid Baiturahman namanya. Setelah istirahat sebentar saya teruskan perjalanan kaki saya menuju ke arah Tugu Muda. Menyusuri jalan Pandanaran yang begitu populer bagi pendatang seperti saya. Jalannya sendiri sebenanrya biasa saja seperti halnya jalan protokoler. Kiri kanan banyak bangunan perkantoran. Namun makin mendekati Tugu Muda, makin banyak toko yang menjajakan oleh-oleh khas Semarang. Mulai dari Lumpia, Bandeng, Moaci, Wingko Babad, Enting-Enting Gepuk, Krupuk Tahu, Semprong, Madumongso, Jenang, Kripik paru, Gethuk, Wajik dll ada disana.

Nampaknya tak afdol kalau tidak membeli oleh-oleh setelah menyusuri Pandanaran. Ya akhirnya saya menepi. Masuk ke dalam sebuah toko yang menyediakan banyak pilihan; Toko Bandeng Juwana. Saya beli saja Wingko Dryana, Enting-Enting Gepuk Cap Klenteng, Mouci an Bandeng. Sayang karena masih pagi, banyak pilihan rasa barang yang belum ada. Akhirnya saya pesan dulu yang ada. Sambil menunggu rasa yang lain ada, saya pergi ke Lawang Sewu yang ada di putaran Tugu Muda.

Lawang Sewu sendiri adalah sebuah bangunan tua eks kolonial yang saat ini dibawah kepemilikan Departemen Perhubungan. Rencananya gedung yang katanya berhantu ini akan dihidupkan kembali menjadi tempat reservasi tiket KA bagi daerah Semarang. Makanya, ketika saya kesana, saya tidak diizinkan masuk karena tepat sore hari nanti bakal ada peresmian oleh Menteri Perhubungan. Namun hal tersebut bukan halangan buat saya. Saya diam-diam meloncati pagar dari tempat yang agak tersembunyi. Setelah itu masuk ke dalam sekalian sowan terlebih dahulu pada penjaga yang memang ditugaskan berjaga sehari-hari disana. Itu informasi saya dapatkan dari tukang beca yang ada di depan Lawang Sewu.

Puas melihati bangunan yang tidak jelas. Saya kembali ke Toko Juwana untuk mengambil pesanan. Ternyata masih belum komplit juga. Ya sudah saya putuskan membeli rasa yang ada. Untuk bandeng saya ambil yang Dalam Sangkar, Bandeng Asap, dan Teriyaki (ini yang terenak). Sedangkan Wingko saya ambil yang (Original dan Nangka). Lalu Mouci yang rasa duren dan ketan hitam.

Setelah itu saya segera kembali menuju ke arah hotel. Sebab jam 12 siang harus segera check Out. Namun sebelumnya saya kembali ke Toko Lumpia di Gang Lombok. Dan membeli beberapa buah plus menikmati Es gang Lombok. Dan saya tidak akan rugi setelah mencicipi rasa lumpianya yang memang benar2 maknyosss. Saking senangnya menikmati makanan enak, akhirnya membuat saya mampir ke dalam Toko Oen. Toko tua ternama penjual es krim dari dulu kala. Sialnya, disinilah saya menikmati es krim terenak yang pernah saya rasakan selama ini. Oh tidak…. Kenapa tidak dari kemarin-kemarin saya ke kedua tempat ini. Sedangkan sekarang waktu sudah pukul 11.50. Sepuluh menit lagi saya harus segera keluar dan meninggalkan Semarang. Agrhhhh…...

Angling Dharma

Selasa, 27 Oktober 2009




Kemarin dahulu itu kawan saya meminta saya agar memberi tolong kepadanya. Permintaannya sederhana saja. Tidak mewah-mewah. Tidak pula bergelimang harta. Hanya sekedar meminta saya untuk menghubungi salah seorang yang nun jauh di sebuah kota di jawa Timur sana.

Kecil kata saya padanya. Tentunya dengan senyum jumawa saya yang manis & feminim itu. Maklum saja kalau untuk urusan yang membutuhkan akting per aktingan (insyallah) saya bisa disandingkan dengan Julia Robert. Apalagi kalau harus beradu akting romantis dengannya di Bali sana. Kebetulan memang tugas dari kawan saya ini memerlukan level akting yang tidak mudah. So, dengan rendah hati saya pun coba menawarkan bantuan.

Awalnya saya sempat ragu. Bukan karena tidak mau memberikan tolong pada kawan saya itu namun karena kasus yang dialaminya seperti sebuah sinetron saja. Saya paling ogah kalau disuruh bermain sinetron. Kelas akting saya untuk ukuran film layar lebar. Hahaha...

Ceritanya, syahdan, kawan saya ini terlibat kecelakaan dengan salah satu orang. Tolong digarisbawahi ini bukan kecelakaan dalam arti yang mesum. Sebab tidak mungkinlah kawan saya ini melakukan perbuatan yang seperti itu. Terlebih pihak yang terlibat dengannya itu adalah seorang laki-laki juga. Sama seperti kawan saya.

Angling Dharma. Begitu nama yang ia beri tahukan kepada saya. Mendadak saya teringat kisah kuno Orang Jawa. Itu saya lantas membuat pertanyaan buat kawan saya itu, apakah ia Angling Dharma yang ada di dalam mitos Jawa? Dia jawab tidak tahu. Payah kata saya. Padahal kala saja benar Angling Dharma yang saya maksud, tentunya kawan saya bisa meminta tanda tangan padanya. Kalau tidak, minimal bisa melihat bagaimana Angling Dharma merubah dirinya menjadi binatang dengan Aji Gineng-nya.

Karena kawan saya tidak kenal artis kita yang satu itu, lantas saya tanyakan saja seperti apakah waktu itu kejadian yang terjadi antara dia dan dirinya.

Hanya tabrakan biasa antara motor dengan motor kata kawan saya. Tidak sedahsyat tabrakan motor dalam film robot Zabogar. Tidak pula seedan tabrakan motor dalam acara motorcross ala Amrik sana. Ini hanya terpeleset saja. Itu pun karena kawan saya melamun saat mengendarai jagoannya. Akhirul kalam, meski awalnya sempat mengamuk, Angling Dharma mau diajak damai oleh kawan saya ini. Gilanya dia malah mau pula diajak menjadi saudara oleh kawan saya yang lagi-lagi yang itu.

Entah pelet darimana yang dijuruskan kawan saya itu. Yang jelas, Angling Dharma yang kakinya terkilir dan retak mau begitu saja meninggalkan kawan saya di TKP sambil tak lupa bertukar nomer telepon. Nanti kontak-kontakan saja buat selanjutnya. Begitu kata Angling Dharma pada kawan saya dan kawan saya kepada saya.

Mungkin ini dikarenakan kondisi mereka setelah kecelakaan itu memang tidak terlalu parah. Tapi, entahlah. Hanya mereka berempat yang tahu. Saya sih hanya mendengar apa yang kawan saya ceritakan saja.

Ini yang membuat kawan saya menjadi bertanya-tanya sesudahnya. Terlebih setelah mendengar kabar tidak sedap mengenai Angling Dharma. Demi melacak kabar yang tidak nikmat itu, kawan saya meminta saya untuk mencari tahu keadaan yang sebenarnya. Sekaligus bertanya langsung pada Angling Dharma.

Dua hari kemudian. Dari bandung. Malam-malam. Di tengah kamar yang gelap. Udara dingin yang menusuk tulang.

”Tit..tit...tut...tit...tit...ti..tit...ti..tit...ti...tit...,” sejumlah nomer telpon yang massage diatas hp.

”Malam”kata saya dengan intonasi yang percaya diri.

”Iya, malam” membuat telepon menjawab pertanyaan saya. Suara jawabannya mirip suara laki-laki yang tidak kalah percaya dirinya seperti saya.

”Angling Dharma?!” tanya saya.

”Bukan. Saya Bukan Angling Dharma. Saya kakaknya” jawab suara laki-laki disana.

”Oh... Saya mau bicara dengan Angling Dharma”

”Oh... Angling Dharma tidak ada”

”Sedang kemana ya?”

”Angling Dharma-nya sudah tidak ada”

”Maksudnya? Saya temannya dari Bandung. Tadinya ada janji bisnis dengan Angling Dharma” papar saya.

”Iya, tapi Angling Dharma tidak ada”

”Memangnya pergi kemana? Kemarin waktu Lebaran ada”

”Kalau Lebaran memang ada”

”Kalau sekarang?” tanya saya bertubi-tubi.

Hening. Mencekam. Beberapa detik berlalu tanpa jawaban.

”Angling Dharma sudah meninggal” tegas laki-laki disana tanpa rasa menyesal yang beraroma menerima apa yang terjadi.

Innalilahi wa inna illaihi rajiun,” sontak saya bisa berbahasa Arab saat itu ”Kenapa meninggalnya?”

”Tabrakan” jawab dari sana.

”Tabrakan?” Seketika itu juga saya teringat dengan kawan saya yang memberi saya tugas ini. Yang katanya terlibat tabrakan dengan seorang bernama Angling Dharma.

”Kapan?” tanya saya lagi kepada kakaknya Angling Dharma.

”Sudah sekitar 3 minggu yang lalu. Di kota ini”

”Tabrakan dengan apa?” tanya saya dengan sedikit berharap-harap cemas.

”Dengan motor...”

”MOTOR?!” saya kaget.

”Sebentar dulu.... Awalnya dia memang tabrakan dengan motor. Tapi tidak terlalu parah. Dia sempat pulang dulu ke rumah. Setelah itu pamit mau mengobati kakinya yang luka. Tapi di tengah perjalanan dia tabrakan lagi. Dengan mobil,” jelas kakaknya Angling Dharma ”Nyawanya tidak tertolong”

Innalilahi...... Maap sebelumnya saya tidak tahu semua ini. Saya ikut berbela sungkawa. Semoga beliau diterima disisi-Nya”

”Terima kasih doanya”

”Kalau begitu, mohon maaf saya izin pamit dulu. Saya mau kasih tahu yang lain dulu”

”Iya. Silakan”

Assalamu’alaykum

Wa’alaykumusalam

”Klik.......”

Telepon saya letakan di kursi. Saya lihat sekeliling kamar. Masih tetap gelap. Dingin. Mencekam


”Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan” (Al-'Imran 3: 185)

WAKE UP! (Nu kick ass zine!!)

Senin, 19 Oktober 2009


Yiiipiiii!!!!
Akhirnya blog Wake Up! lahir juga ke permukaan.
Alhamdulillah...
Sebelumnya tidak pernah kepikiran untuk membuat Wake Up! versi blog.
Soalnya, emang nggak paham banget kalo main di blog.
Mendingan bikin zine potokopian aja. Lebih art. Lebih greget!
Hitam-Putih-Grayscale forever deh pokoknya.! Hehehe.
Tapi, yah, nggak ada salahnya juga sih kalo Wake Up! muncul juga versi blognya.
Nggak peduli jelek atau bagus, yang penting content dan aksinya, begitu kata Divan Semesta. Hehehe.


Well, sebenarnya Wake Up! itu apa, sih? Hmm.
Wake Up! adalah zine kontra thagut.
Semacam media tandingan yang menawarkan wacana alternatif di antara wacana dominan yang sedang berkembang di masyarakat.
Mewartakan sebuah fenomena melalui perspektif Islam.
yang semoga saja dapat memberikan manfaat kepada kalian semua! Aamiin...

Jika kalian tertarik dan ingin mengetahui zine Wake Up! itu seperti apa, silakan download sekarang juga! Gratis!
Sebarkan!

Wassalam!
provoke editor Wake Up!