Ke Kebun Raya#3 (Lenteng Agung)

Kamis, 20 Agustus 2009




Tiba di Stasiun Lenteng Agung hari sudah tidak terang. Padahal tadi waktu saya pergi dari Stasiun Bogor masih sore. Seolah-olah. Iya seolah-olah. Seolah-olah ada perbedaan waktu antara Jakarta dengan Bogor. Tapi sudahlah. Saya kira hal tersebut tidak perlu dibahas. Masih ada hal lain yang lebih penting.

Lebaik baik lihat jam stasiun diatas sana. Jarumnya menunjukan angka 6 dan 12. Itu tandanya Si Selamat akan berbuka puasa. Dan tentunya waktu untuk Sandekala berkeliaran mencari anak kecil. Tahu apa itu Sandekala? Saya juga tidak tahu. Saya hanya dengar dari orang tua. Dulu. Biar saya tidak masih bermain pas jam segitu.

Pikir saya daripada mengundang resiko diculik Sandekala, saya pegang erat Revo. Biar Sandekala kalau mau menculiknya harus capek dulu bertempur melawan saya. Cuma saya heran. Kenapa orang-orang itu disana masih tenang-tenang saja duduk di kursi stasiun. Tidakkah mereka takut akan Sandekala. Atau di Jakarta Sandekala sudah tidak laku. Ah saya rasa ini juga tidak penting. Hal-hal musyrik seperti ini sudah tidak usah dibahas lagi.

Jarum jam kembali berdetak. Saya berlekas pulang. Bawa tas. Bawa bola. Bawa Revo. Giring Ummi Brun-brun. Berjalan kembali menyusuri rel stasiun. Lantas ke depan halaman stasiun yang remang-remang romantis itu.

“Taksi, Pak?” itu sopir taksi menawarkan memberi saya hadiah sebuah taksi.

“Benar nih mau beri saya taksi?” jawab saya.

“Hah?”

“Tadi kan menawarkan saya taksi. Itu buat saya kan?”

“Mau diantar pake taksi maksud saya, Pak”

“Oh, begitu toh. Saya kira mau kasih taksi. Sudirman?!”

“ Oh Jalan Sudirman, Pak? Ayo deh. Pake tarif bawah taksi saya”

“Bukan Jalan Sudirman. Rumahnya Jenderal Sudirman. Itu di Purworejo. Ke Jawa Tengah”

“Oh” si sopir taksi terhenyak kemudian berlalu.

Angin malam berhembus. Di depan Stasiun Lenteng Agung tidak tampak banyak orang. Hanya satu dua orang saja yang ada di sekitar teras taman. Entah mereka siapa. Entah pula apa yang sedang mereka bicarakan. Saya tidak peduli. Saya tetap berjalan kea rah parkiran motor. Disana ada beberapa orang. Tapi bukan orang yang sama seperti tadi pagi sebelum saya pergi ke Bogor.

“Gambir kok sepi begini ya, Pak?” tanya saya

“Gambir? Ini Lenteng Agung, Mas”

“Hah? Ini bukan Gambir, Pak?” tanya saya kembali. Seolah-olah kaget.

“Gambir masih jauh”

“Saya kira ini Gambir. Pantesan sepi”

“Salah turun, Mas” celetuk seorang yang disamping Bapak itu

“Yahhh…. Tapi kalau pakai motor kesana bisa tidak?” tanya saya pada Bapak yang di sebelah itu.

“Bisa saja. Tuh banyak ojeg, Mas. Paling goban

Goban? Itu teh yang temannya Megaloman, Sharivan, Voltus? Robot Jepang?”

“Bukan itu, Mas. Lima puluh ribu”

“Naik kereta lagi aja, Mas” si Bapak yang satu lagi menimpal

“Iya, Mas. Tungguin aja di dalem. Lebih murah lagi”

“Lama mana kereta dengan motor?” tanya saya kembali

“Lama motor lah, Mas”

“Begitu ya. Ya sudah, saya naik motor saja. Biar sekalian menikmati pemandangan Jakarta”

“Tapi mahal loh, Mas”

“Tidak apa-apa. Paling dua ribu rupiah”

“Bukan dua ribu, Mas. Lima puluh ribu. Itu kalau satu ojeg. Kalau Mas, kayaknya pake 2 ojek”

“Oh begitu ya. Ya sudah saya ambil motor dulu”

Kemudian itu saya berjalan masuk ke areal parker motor. Si Dukun, motor saya, sedang termenung disana. Masih sehat wal afiat nampaknya. Sengaja saya tidak melirik ke belakang lagi. Ke dua orang bapak-bapak yang saya ajak ngobrol tadi. Biar dramatis kesannya.
Saya dorong si Dukun. Perlahan namun pasti. Menuju bapak-bapak tadi yang memang sengaja duduk di pintu keluar masuk parkiran.

“Dua ribu kan, Pak?”

“Eh iya…. Bawa motor ya, Mas?”

“Iya”

“Kirain kite ga bawa”

“Bawa atuh, Pak. Sejak pagi sudah saya simpan disini”

“Oh”

“Eh, pulang dulu ya, Pak. Kasihan Revo ingin mandi dari tadi” tunjuk saya ke arah Revo yang sudah mulai rewel.

“Oh iya, Mas”

“Saya perlu hati-hati tidak, Pak?”

“Iya hati-hati di jalan. Ke Gambir jauh ma macet”

“Oh iya, Pak. Terima kasih”

Si Dukun akhirnya saya hidupkan. Seolah-olah saya Tuhan yang member nyawa baginya. Ummi Brun-brun dan Revo seketika juga langsung menaiki si Dukun. Membuat si Dukun tersiksa ditindih menjadi tiga orang manusia.

Wushhhh…. Motor saya bawa ke luar. Kea rah jalan Lenteng Agung.

“Emangnya kita mau ke Gambir?” Ummi Brun-brun bertanya tiba-tiba.

“Tidak”

“Trus tadi ngapain cerita-cerita Gambir segala?”

“Kan tadi cuma tanya Gambir sepi atau tidak. Saya tidak bilang mau ke Gambir tuh”

“Ah, dasar! Trus kita sekarang mau kemana?”

“Ya ke Gandaria lah. Ke rumah. Buat apa juga ke Gambir. Nih sekarang belok”

Motor saya belokan ke Jalan Srengseng Sawah. Stasiun Lenteng Agung terlihat semakin menjauh. Memudar dalam kegelapan.

0 komentar: