Bendera

Senin, 24 Agustus 2009


Tok…. Tok… Tok…

Itu pintu diketok. Menyebabkan saya teringat lagu Cucu Deui-nya Darso. Seperti begini lagunya; Tok, ketok, ketok sora panto diketok……. Torojol Cucu deui. Dan seterusnya. Tapi kayaknya tidak perlu dibahas. Saya yakin tidak ada yang mengerti lagu ini. Sial! (Padahal ini lagu nge-legend sekali)

Saya buka pintu itu. Berharap-harap cemas. Menduga siapa diluar sana. Densus 88 kah? Atau orang mau kasih uang satu trilyun. Sejenak saya ragu membukanya. Tapi kenapa mesti ragu pikir saya. Saya tidak punya salah. Apa karena saya belum mandi maka saya berdosa kepada orang yang diluar? Saya rasa tidak.

Dibalik pintu tersebutlah seorang laki-laki. Perawakannya sedang. Pakai peci dan baju koko. Tak lupa celana pathalon. Seuprit senyum dan ucap salam. Saya balas saja wasalam.

”Maaf ganggu, Mas. Saya ini RT disini. RT 11. Saya Asmin” laki-laki tadi memperkenalkan dirinya.

”Oh, Pak RT. Wah... silakan masuk Pak,” kata saya, ”Maaf belum beres-beres”

”Makasih”

Seketika itu kami berdua pun akhirnya masuk ke dalam rumah. Duduk di karpet merah yang ada di depan TV. Duduknya lesehan saja. Mirip di Malioboro. Hanya saja tidak ada pengamennya. Tidak juga dengan makanan khas Jawa-nya. Yang ada hanya keripik pisang, kue kering & minuman kemasan gelas beberapa buah. Sengaja saya taruh disana. Jaga-jaga apabila ada tamu datang. Ya seperti sekarang ini.

”Pak RT, maaf saya belum melapor. Kemarin saya sudah coba bertemu Bapak tapi Bapaknya selalu pas tidak ada di tempat” saya awali saja pembicaraan kala itu. Soalnya memang sudah 3 bulan ini saya belum melaporkan diri saya ke RT setempat.

”Oh iya. Panggil Bang aja, Mas,” timpal dia, “Iya memang itu salah satu maksud kedatangan saya kesini”

“Maaf ya Bang. Jadinya Abang yang harus kesini. Bukan saya yang kesana”

“Ga apa-apa,” jawab beliau bijak “Maaf dengan siapa ya?”

“Oh iya, saya Begundal Militia, Bang” saya coba kasih dia tahu nama saya yang menarik itu. Lantas saya jelaskan sekilas riwayat hidup saya pada dia. Tapi tidak seperti yang ada di CV-CV yang dulu sering saya buat. Karena kalau seperti itu, saya khawatir dikira sedang melamar menjadi sekertaris RT untuk mendampingi beliau.

“Kertas yang saya bagikan ke warga sudah sampai, Mas?” tanya Bang Asmin

“Kertas isian biodata anggota keluarga itu?”

“Iya”

“Sudah, Mas”

“Harap maklum ya Mas. Lagi musim teroris begini. Kita jadinya musti lebih hati-hati. Apalagi kan saya ini RT”

”Saya ada tampang teroris tidak, Bang?”

”Eh, saya bukan bermaksud menuduh, Mas”

”Iya saya tahu, Bang. Saya cuma tanya saja. Kira-kira, saya ini ada tampang teroris tidak?” tanya saya menegaskan, ”Soalnya kemarin di kereta ada yang mengira saya Noordin M Top. Ini liat saja. Jenggot saya panjang. Celana kebetulan ngatung. Jidat kebetulan juga sedang hitam”

”Hehehe... Kayaknya sih nggak. Tapi saya jadi sedikit curiga. Hehehe...”

”Wah. Saya mirip Noordin M Top ya?” saya tanya lagi

”Gak, Mas. Beda kok. Mukanya tidak sama”

”Nah Abang sendiri curiga darimananya kalau begitu?”

“Itu, Mas. Pasang benderanya Al Qaida di depan. Kan kami kemaren minta yang dikibarin bendera Merah Putih”

”Hehehe... Sengaja, Bang.” Saya akhirnya teringat kalau kemarin malah mengibarkan Ar Rayah di tiang bendera. Bukan Merah Putih.

”Lho kok sengaja, Mas?”

”Bosan Bang. Habisnya dari dulu benderanya warnanya itu saja. Kenapa sekali-kali tidak diganti. Biar fleksibel. Lagu sama buah-buahan juga selalu ganti-ganti. Tidak melulu itu terus”

”Ya beda dong, Mas. Ini sudah diatur. Lagian ini demi memperingati perjuangan pejuang kita dulu”

”Nah itu dia Bang. Alasan sebenarnya saya pasang berbeda itu juga untuk memperingati perjuangan pejuang kita dulu. Sekaligus mengingatkan kembali rakyat negeri ini pada bendera mereka yang sebenarnya”

”Hah? Sejak kapan Indonesia benderanya jadi item begitu?”

”Abang belum tahu kan?!,” saya merasa diatas angin, ”Dulu, bendera para pejuang kita itu sebenarnya seperti begitu”. Saya tunjukan telunjuk saya keluar. Ke itu tiang bendera.

”Imam Bonjol, Diponegoro, Fatahillah, dll, semua pakai bendera yang hitam itu,” saya teruskan pembicaraan ”Warna bendera Merah Putih itu ada baru-baru sekarang ini saja. Klaim kalau warna Merah Putih sudah ada sejak jaman Majapahit dan kerajaan-kerajaan dulu sebenarnya kontradiktif. Abang tahu kontradiktif?”

”Alat buat KB?”

”Itu mah kontrasepsi, Bang!”

”Hehehe...”

”Begini Bang. Kalau memang itu Merah Putih memang sudah diadopsi oleh banya kerajaan, kenapa Majapahit dan Pajajaran malah berperang di Bubat. Begitu juga dengan Mataram. Kediri juga. Logikanya kan kalau benderanya sama harusnya tidak malah berperang. Benar tidak?”

”Iya”

”Ada tidak ceritanya The Jak perang dengan The Jak? Yang ada kan The Jak perang sama Viking. Bonek perang dengan Ultras. Dan lain-lain”

”Ya beda dong, Mas”

”Betul memang beda Bang. Tapi harusnya kan itu ditelaah lagi. Setidaknya kan warna bendera sama. Minimal ada rasa satu kesatuan begitu,” kata saya ”Lagian Bang, kalau mau bicara teori konspirasi-konspirasian, warna bendera Indonesia itu lebih dekat ke warna bendera Jepang dan pasukan khusus Belanda. Hanya variasi bentuknya saja. Kalau seperti begitu, biasanya menurut teori konspirasi-konspirasian, ada kompromi di belakang antara pihak-pihak yang berhadapan”

”Ah si Mas ada-ada saja” Bang Asmin menimpal.

“Bukan ada-ada, Bang. Memang adanya begini”

”Iya tapi bendera yang Mas Begundal pasang itu kan bendera teroris”

”Memangnya bendera teroris seperti itu ya, Bang? Bukan gambar tengkorak”

”Gambar tengkorak tuh bajak laut kali!”

”Oh iya. Terus darimana terorisnya? Kan itu ada tulisan Arabnya. Kalau mau juga bendera Arab”

”Lihat di TV. Pas pemakaman jenazah pengebom bunuh diri, ada beberapa pelayat yang bawa bendera seperti yang Mas Begundal pasang”

”Kalau begitu Muhammad Toha & Muhammad Ramdhan juga teroris dong” kata saya

”Kok bisa? Mereka kan pahlawan” kata Bang Asmin.

”Lha Muhammad Toha dan Ramdhan kan pelaku aksi bunuh diri juga. Mereka sama-sama ingin mengusir penjajah dari negeri ini. Kalau Toha ingin mengusir Belanda, Nah yang Abang anggap teroris kan ingin mengusir Amerika,” jawab saya ”Kalau lihat efeknya, Bom Marriot itu belum seberapa. Bandingkan dengan akibat dari aksi syahid Toha cs. Satu kota mereka bakar. Bandung akhirnya jadi lautan api”

”Ya kan mereka membela tanah air”

”Apa karena mereka membawa bendera merah putih lantas mereka tidak pantas disebut teroris? Padahal saya yakin kalau mereka dulu disebut teroris oleh Belanda dan Sekutu”

”Dulu belum ada teroris, Mas”

”Ya kan teroris itu mah istilah yang diada-ada Bang. Tergantung siapa yang bilang. Kita tidak bisa melihat dari satu sudut pandang saja. Coba Abang pikirkan. Kalau memang yang membawa bendera seperti yang saya pasang itu teroris, maka Imam Bonjol, Diponegoro, dll semuanya teroris. Soalnya mereka kan bawa bendera itu”

”Mhmm... Memang bener mereka bawa bendera seperti itu?”

”Benar Bang. Karena mereka berjuang meneladani Nabi mereka. Rasulullah itu ketika berjuang pasti membawa bendera seperti yang saya pasang itu. Abang berani tidak bilang Rasulullah itu teroris?”

”Ya tidaklah. Masa Rasulullah teroris”

”Tapi rasul kan benderanya begitu. Kalau kita merasa ummatnya, maka saya dan Abang pun sebenarnya teroris. Anak buah teroris”

”Ya nggak lah,” balas dia, ”Tapi bener ya itu memang bendera Rasulullah”

”Benar, Bang. Suer dech”

”Iya tapi kan ini Indonesia bukan negara Islam”

”Itu dia. Tadi kan saya sudah bilang. Saya hanya ingin mengembalikan bendera sebenarnya rakyat negeri ini. Bukan masalah negara Islam atau tidak Islam”

”Oh”

”Tapi jujur saja nih, Bang. Sebenarnya saya tidak punya bendera Merah Putih. Jadi saya pasang saja bendera itu” ungkap saya sambil tersenyum manis banget.

”Kenapa tidak bilang dari tadi. Tahu gitu saya pinjami punya RT”

”Ah tidak usah repot-repot Bang. Kalau pun punya, tetap tidak akan saya pasang. Saya pasang bendera yang hitam itu saja. Kan ceritanya menghormati para pejuang dulu. Hehehe...”

”Ada-ada aja si Mas ini”

Sambil tersenyum-senyum simpul, saya persilahkan Bang Asmin meminum air yang sudah saya siapkan dari tadi. Biar suasana menjadi cooling down pikir saya. Biar usus banjir. Biar airnya tidak diserobot jin yang lewat.

Ramadhan Begins (22 Aug 2009)

Jumat, 21 Agustus 2009

Marhaban ya Ramadhan

Alhamdulillah dan segala puji bagi Allah SWT serta Pejuang revolusioner sejati; Muhammad saw beserta keluarga dan para pengikutnya hingga akhir jaman.

Berdasarkan konjungsi geometris untuk bulan baru mulai tampak –Insyallah- pada Kamis, 20 Agustus 2009 tepat 10.02 UT. Bulan baru mulai tampak antara Kamis 20 Agustus 2009 dan 21 Agustus 2009. Akan tetapi kemungkinan untuk terlihat di daerah Amerika Selatan hingga terus ke timur sampai Samudera Pasifik tidak cukup mungkin akan terlihat baik oleh alat maupun mata. Lain halnya pada tanggal 21 Agustus 2009, bulan akan terlihat dengan mudah oleh hampir seluruh negeri di dunia terutama daerah Afrika Tengah & Selatan, Amerika Tengah & Selatan, Sebagian Jazirah, India, Indonesia, Australia dan dapat dilihat dengan menggunakan mata untuk wilayah Jazirah Arab, sebagian Eropa, Asia Tengah.

Kondisi Konjungsi Tanggal 20 Agustus 2009

Kondisi Konjungsi Tanggal 21 Agustus 2009

Maka setelah mengkaji beberapa informasi dan data mengenai perwujudan hilal Ramadhan (versi Rukyatul Global) di berbagai situs & telepon dari berbagai sumber, Insyallah hari pertama Ramadhan bertepatan pada malam tanggal 22 Agusutus 2009. Dengan arti lain bahwa Bulan Syaban digenapkan. Karena wujudul hilal tidak tampak di beberapa negeri.

Adapun sementara beberapa jam lalu, dimana ada yang telah mengatakan telah terlihat hilal diberbagai negeri, menurut kami itu dikarenakan ketidaktelitian dalam membaca teks bahasa Inggris yang ditampilkan di www.islamonline.com.

Atas semua itu, saya mengucapkan selamat menjalani shaum Ramadhan 1430 H, Minnal Aidzin wal faidzin. Semoga ini menjadi Ramadhan terakhir kita dalam keadaan tidak berevolusi. Insyaallah Ramadhan tahun depan, revolusi itu terjadi.

Berikut sepenggal rekaman hasil pemantauan di berbagai negeri;

“…Bulan tenggelam terlebih dahulu sebelum matahari tenggelam….” (Majlis Qada Saudi Arabia di Makkah – www.islamicmoon.com)

“…Insyallah Ramadhan akan dimulai 22 Agustus 2009. Disebabkan hilal tidak nampak…” (ISNA – www.islamicmoon.com)

“…Setelah mencari Hilal Ramadhan Mubarak pada malam ini, yaitu malam Jum’at, maka ru’yat Hilal secara syar’i tidak ditemukan, sehingga besok bilangan Sya’ban digenapkan, dan lusa, hari Sabtu adalah 1 Ramadhan Mubarak 1430 H…” (www.Khilafah.com)

Beberapa Metode Penetapan Awal & Akhir Ramadhan dan Syawal

Kamis, 20 Agustus 2009



Menurut Tarekat Naqsabandiyah:


Metode yang dilakukan tarekat ini didasarkan pada perhitungan yang telah ditetapkan guru-guru dalam tarekat. Biasanya penetapan awal Ramadhan diputuskan berdasarkan perhitungan dari sebuah almanak yang disalin dari kitab milik guru Tarekat Naqshabandi Syekh H. Abdul Munir.

Salinan itu ditulis dengan huruf arab melayu (pegon) sebagai almanak untuk mencari awal bulan Arab termasuk bulan Ramadhan. Disebutkan bahwa almanak ini disebutnya sebagai bilangan taqwim. Beberapa huruf pada nama hari digabungkan sedemikan rupa sehingga membentuk bulan, begitu pula nama huruf pada bulan maka himpunannya menjadi tahun. Begitulah seterusnya penghisaban bilangan angka itu sampai hari kiamat.


Menurut Hisab / Perhitungan:

Menurut para ahli hisab, visibilitas (kenampakan) Hilal pada hari terjadinya Ijtimak berdasarkan pada peta visibilitas. Peta ini mengacu pada Kriteria Odeh yang mengadopsi Limit Danjon sebesar 7 derajat yaitu jarak minimal elongasi Bulan dan Matahari agar hilal dapat diamati baik menggunakan alat optik maupun mata telanjang. Kriteria tersebut dikemas dalam sebuah software Accurate Times yang menjadi acuan pembuatan peta visibilitas ini.


Menurut Kriteria Rukyat Hilal ( Limit Danjon ):

Andre Danjon, seorang astronom Perancis pada 1930-an menyimpulkan bahwa Hilal tidak akan dapat diamati jika jarak minimum elongasi Bulan dan Matahari kurang dari 7 derajat


Menurut Kriteria Imkanur Rukyat:

Pemerintah RI melalui pertemuan Menteri-menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) menetapkan kriteria yang disebut Imkanurrukyah yang dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan bulan pada Kalender Islam negara-negara tersebut yang menyatakan :

Hilal dianggap terlihat dan keesokannya ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah berikutnya apabila memenuhi salah satu syarat-syarat berikut:

1. Ketika matahari terbenam, ketinggian bulan di atas horison tidak kurang dari 2 derajat
2. Jarak lengkung bulan-matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari 3 derajat. Atau
3. Ketika bulan terbenam, umur bulan tidak kurang dari 8 jam selepas ijtimak berlaku.


Menurut Kriteria Wujudul Hilal:

Kriteria Wujudul Hilal dalam penentuan awal bulan Hijriyah menyatakan bahwa : “Jika setelah terjadi ijtimak, bulan terbenam setelah terbenamnya matahari maka malam itu ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah tanpa melihat berapapun sudut ketinggian bulan saat matahari terbenam.


Menurut Kriteria Kalender Hijriyah Global:

Universal Hejri Calendar (UHC) merupakan Kalender Hijriyah Global usulan dari Komite Mawaqit dari Arab Union for Astronomy and Space Sciences (AUASS) berdasarkan hasil Konferensi Ke-2 Atronomi Islam di Amman Jordania pada tahun 2001. Kalender universal ini membagi wilayah dunia menjadi 2 region sehingga sering disebut Bizonal Hejri Calendar. Zona Timur meliputi 180 BT ~ 20 BB sedangkan Zona Barat meliputi 20 BB ~ Benua Amerika. Adapun kriteria yang digunakan tetap mengacu pada visibilitas hilal (Limit Danjon).


Menurut Kriteria Saudi

Kurangnya pemahaman terhadap perkembangan dan modernisasi ilmu falak yang dimiliki oleh para perukyat di Arab Saudi sering menyebabkan terjadinya kesalahan identifikasi terhadap obyek yang disebut “hilal” baik berupa kasus “SALAH YANG DILIHAT” maupun “BOHONG YANG DILIHAT”. Klaim terhadap kenampakan hilal oleh seeorang atau kelompok perukyat pada saat hilal masih berada di bawah “limit visibilitas” atau bahkan saat hilal sudah di bawah ufuk sering terjadi. Sudah bukan berita baru lagi bahwa Saudi kerap kali melakukan istbat terhadap laporan rukyat yang “kontroversi” karena kasus tersebut.

Kalender resmi Saudi yang dinamakan “Ummul Qura” yang telah berkali-kali mengganti kriterianya hanya diperuntukkan sebagai kalender untuk kepentingan non ibadah. Sementara untuk keperluan ibadah Saudi tetap menggunakan rukyat hilal bil fi’li dan bil syar’i sebagai dasar penetapannya. Namun penetapan ini sering hanya berdasarkan pada laporan rukyat dari seseorang saksi tanpa terlebih dahulu melakukan klarifikasi dan konfirmasi terhadap kebenaran laporan tersebut apalagi melakukan uji kompetensi terhadap saksi. Perhitungan astronomis (hisab) yang telah terbukti akurasinya tidak dimanfaatkan sebagai kontrol terhadap kebenaran laporan saksi.



Kalender Ummul Qura’ :

Kalender ini digunakan Saudi bagi kepentingan publik non ibadah. Kriteria yang digunakan adalah “Telah terjadi ijtimak dan bulan terbenam setelah matahari terbenam di Makkah” maka sore itu dinyatakan sebagai awal bulan baru.


Kriteria Rukyatul Hilal Saudi :

Rukyatul hilal digunakan Saudi khusus untuk penentuan bulan awal Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah. Kaidahnya sederhana “Jika ada laporan rukyat dari seorang atau lebih pengamat/saksi yang dianggap jujur dan bersedia disumpah maka sudah cukup sebagai dasar untuk menentukan awal bulan tanpa perlu perlu dilakukan uji sains terhadap kebenaran laporan tersebut”.


Kriteria Awal Bulan Negara Lain:

Seperti kita ketahui secara resmi Indonesia bersama Malaysia, Brunei dan Singapura lewat pertemuan Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) telah menyepakati sebuah kriteria bagi penetapan awal bulan Komariyahnya yang dikenal dengan “Kriteria Imkanurrukyat MABIMS” yaitu umur bulan 8 jam, tinggi bulan 2 derajat dan elongasi > 3.

Menurut catatan Moonsighting Committee Worldwide ternyata penetapan awal bulan ini berbeda-beda di tiap-tiap negara. Ada yang masih teguh mempertahankan rukyat bil fi’li ada pula yang mulai beralih menggunakan hisab atau kalkulasi. Berikut ini beberapa gambaran penetapan awal bulan Komariyah yang resmi digunakan di beberapa negara :

1. Rukyatul Hilal berdasarkan kesaksian Perukyat/Qadi serta pengkajian ulang terhadap hasil rukyat. Antara lain masih diakukan oleh negara : Banglades, India, Pakistan, Oman, Maroko dan Trinidad.

2. Hisab dengan kriteria bulan terbenam setelah Matahari dengan diawali ijtimak terlebih dahulu (moonset after sunset). Kriteria ini digunakan oleh Saudi Arabia pada kalender Ummul Qura namun khusus untuk Ramadhan, Syawwal dan Zulhijjah menggunakan pedoman rukyat.

3. Mengikuti Saudi Arabia misalnya negara : Qatar, Kuwait, Emirat Arab, Bahrain, Yaman dan Turki, Iraq, Yordania,Palestina, Libanon dan Sudan.

4. Hisab bulan terbenam minimal 5 menit setelah matahari terbenam dan terjadi setelah ijtimak digunakan oleh Mesir.

5. Menunggu berita dari negeri tetangga –> diadopsi oleh Selandia Baru -mengikuti- Australia dan Suriname mengikuti negara Guyana.

6. Mengikuti negara Muslim yang pertama kali berhasil rukyat –> Kepulauan Karibia

7. Hisab dengan kriteria umur bulan, ketinggian bulan atau selisih waktu terbenamnya bulan dan matahari –> diadopsi oleh Algeria, Tuki dan Tunisia.

8. Ijtimak Qablal Fajr atau terjadinya ijtimak sebelum fajar diadopsi oleh negara Libya.

9. Ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam di Makkah dan bulan terbenam sesudah matahari terbenam di Makkah –> diadopsi oleh komunitas muslim di Amerika Utara dan Eropa

10. Nigeria dan beberapa negara lain tidak tetap menggunakan satu kriteria dan berganti dari tahun ke tahun

11. Menggunakan Rukyat : Namibia, Angola, Zimbabwe, Zambia, Mozambique, Botswana, Swaziland dan Lesotho.

12. Jamaah Ahmadiyah, Bohra, Ismailiyah serta beberapa jamaah lainnya masih menggunakan hisab urfi.

Ke Kebun Raya#3 (Lenteng Agung)




Tiba di Stasiun Lenteng Agung hari sudah tidak terang. Padahal tadi waktu saya pergi dari Stasiun Bogor masih sore. Seolah-olah. Iya seolah-olah. Seolah-olah ada perbedaan waktu antara Jakarta dengan Bogor. Tapi sudahlah. Saya kira hal tersebut tidak perlu dibahas. Masih ada hal lain yang lebih penting.

Lebaik baik lihat jam stasiun diatas sana. Jarumnya menunjukan angka 6 dan 12. Itu tandanya Si Selamat akan berbuka puasa. Dan tentunya waktu untuk Sandekala berkeliaran mencari anak kecil. Tahu apa itu Sandekala? Saya juga tidak tahu. Saya hanya dengar dari orang tua. Dulu. Biar saya tidak masih bermain pas jam segitu.

Pikir saya daripada mengundang resiko diculik Sandekala, saya pegang erat Revo. Biar Sandekala kalau mau menculiknya harus capek dulu bertempur melawan saya. Cuma saya heran. Kenapa orang-orang itu disana masih tenang-tenang saja duduk di kursi stasiun. Tidakkah mereka takut akan Sandekala. Atau di Jakarta Sandekala sudah tidak laku. Ah saya rasa ini juga tidak penting. Hal-hal musyrik seperti ini sudah tidak usah dibahas lagi.

Jarum jam kembali berdetak. Saya berlekas pulang. Bawa tas. Bawa bola. Bawa Revo. Giring Ummi Brun-brun. Berjalan kembali menyusuri rel stasiun. Lantas ke depan halaman stasiun yang remang-remang romantis itu.

“Taksi, Pak?” itu sopir taksi menawarkan memberi saya hadiah sebuah taksi.

“Benar nih mau beri saya taksi?” jawab saya.

“Hah?”

“Tadi kan menawarkan saya taksi. Itu buat saya kan?”

“Mau diantar pake taksi maksud saya, Pak”

“Oh, begitu toh. Saya kira mau kasih taksi. Sudirman?!”

“ Oh Jalan Sudirman, Pak? Ayo deh. Pake tarif bawah taksi saya”

“Bukan Jalan Sudirman. Rumahnya Jenderal Sudirman. Itu di Purworejo. Ke Jawa Tengah”

“Oh” si sopir taksi terhenyak kemudian berlalu.

Angin malam berhembus. Di depan Stasiun Lenteng Agung tidak tampak banyak orang. Hanya satu dua orang saja yang ada di sekitar teras taman. Entah mereka siapa. Entah pula apa yang sedang mereka bicarakan. Saya tidak peduli. Saya tetap berjalan kea rah parkiran motor. Disana ada beberapa orang. Tapi bukan orang yang sama seperti tadi pagi sebelum saya pergi ke Bogor.

“Gambir kok sepi begini ya, Pak?” tanya saya

“Gambir? Ini Lenteng Agung, Mas”

“Hah? Ini bukan Gambir, Pak?” tanya saya kembali. Seolah-olah kaget.

“Gambir masih jauh”

“Saya kira ini Gambir. Pantesan sepi”

“Salah turun, Mas” celetuk seorang yang disamping Bapak itu

“Yahhh…. Tapi kalau pakai motor kesana bisa tidak?” tanya saya pada Bapak yang di sebelah itu.

“Bisa saja. Tuh banyak ojeg, Mas. Paling goban

Goban? Itu teh yang temannya Megaloman, Sharivan, Voltus? Robot Jepang?”

“Bukan itu, Mas. Lima puluh ribu”

“Naik kereta lagi aja, Mas” si Bapak yang satu lagi menimpal

“Iya, Mas. Tungguin aja di dalem. Lebih murah lagi”

“Lama mana kereta dengan motor?” tanya saya kembali

“Lama motor lah, Mas”

“Begitu ya. Ya sudah, saya naik motor saja. Biar sekalian menikmati pemandangan Jakarta”

“Tapi mahal loh, Mas”

“Tidak apa-apa. Paling dua ribu rupiah”

“Bukan dua ribu, Mas. Lima puluh ribu. Itu kalau satu ojeg. Kalau Mas, kayaknya pake 2 ojek”

“Oh begitu ya. Ya sudah saya ambil motor dulu”

Kemudian itu saya berjalan masuk ke areal parker motor. Si Dukun, motor saya, sedang termenung disana. Masih sehat wal afiat nampaknya. Sengaja saya tidak melirik ke belakang lagi. Ke dua orang bapak-bapak yang saya ajak ngobrol tadi. Biar dramatis kesannya.
Saya dorong si Dukun. Perlahan namun pasti. Menuju bapak-bapak tadi yang memang sengaja duduk di pintu keluar masuk parkiran.

“Dua ribu kan, Pak?”

“Eh iya…. Bawa motor ya, Mas?”

“Iya”

“Kirain kite ga bawa”

“Bawa atuh, Pak. Sejak pagi sudah saya simpan disini”

“Oh”

“Eh, pulang dulu ya, Pak. Kasihan Revo ingin mandi dari tadi” tunjuk saya ke arah Revo yang sudah mulai rewel.

“Oh iya, Mas”

“Saya perlu hati-hati tidak, Pak?”

“Iya hati-hati di jalan. Ke Gambir jauh ma macet”

“Oh iya, Pak. Terima kasih”

Si Dukun akhirnya saya hidupkan. Seolah-olah saya Tuhan yang member nyawa baginya. Ummi Brun-brun dan Revo seketika juga langsung menaiki si Dukun. Membuat si Dukun tersiksa ditindih menjadi tiga orang manusia.

Wushhhh…. Motor saya bawa ke luar. Kea rah jalan Lenteng Agung.

“Emangnya kita mau ke Gambir?” Ummi Brun-brun bertanya tiba-tiba.

“Tidak”

“Trus tadi ngapain cerita-cerita Gambir segala?”

“Kan tadi cuma tanya Gambir sepi atau tidak. Saya tidak bilang mau ke Gambir tuh”

“Ah, dasar! Trus kita sekarang mau kemana?”

“Ya ke Gandaria lah. Ke rumah. Buat apa juga ke Gambir. Nih sekarang belok”

Motor saya belokan ke Jalan Srengseng Sawah. Stasiun Lenteng Agung terlihat semakin menjauh. Memudar dalam kegelapan.

Ke Kebun Raya#2 (KRB)

Jumat, 14 Agustus 2009



Akhirnya sampai juga saya ke Stasiun Bogor. Itu saya tahu setelah melihat tulisan Bogor di dinding stasiun. Dan makin yakin ketika kereta sudah tidak mau maju lagi. Mundur pun tidak. Dia memilih diam. Dan terus diam. Menyebabkan dirinya seperti batu.

Khawatir keretanya mundur lagi ke Jakarta, saya giring Revo & Ummi Brun-brun. Menyebabkan saya seolah-olah sedang menggiring bebek. Saya di belakang, Revo & Ummi Brun-brun di depan. Dia, Ummi Brun-brun, hanya mematuhi instruksi dari saya saja. Belok kanan atau kiri, maju atau mundur, semua saya yang arahkan. Tidak ada lagi selain saya. Masa Revo.

Coba saja lihat. Ketika saya suruh Ummi Brun-brun maju, dia pun ikutan maju. Maju bergerak ke depan seperti orang-orang itu. Bergerak kesana. Ke arah sana. Ke arah gerbang EXIT. Entah siapa yang mengajarkan orang-orang pergi ke sana. Saya pun jadinya ikut-ikutan. Seperti mereka. Bergerak kesana.

Namun saya pikir itu adalah sebuah ide cemerlang. Namun meskipun cemerlang saya tidak yakin kebiasaan ini berasal dari ide orang Bogor. Pasti lihat di buku. Pasti search di internet. Pasti meniru Barat. Sebab sejak kapan orang Bogor di kamus Sunda-nya ada kata EXIT. Pasti tidak ada.

Kami akhirnya menyusuri lorong kecil itu. Hingga sampailah di halaman stasiun. Disana sudah banyak orang menyambut kedatangan kami. Membuat saya seolah-olah menjadi David Beckham. Atau Lionel Messi. Semua tersenyum, menyapa, dan mengajak saya bicara. Terharu saya jadinya. Belum masuk TV saja sudah menjadi artis. Apalagi kalau sudah masuk TV. Bisa jadi saya diidolakan tua dan muda.

Naek beca Pak?” seorang bertanya pada saya.

Ka Kebon Raya Pak?” seorang yang lain bertanya pada saya. Lagi.

Sok Pak! Enggal (Ayo Pak! Cepaat)”

Sabaraha lami (Berapa lama)?” tanya saya.

Sapuluh menitan lah. Insyallah (Sepuluh menit saja. Insyallah)”

Naha Nganggo Insyallah sagala (Kenapa pakai Insyallah segala)?”

Nya Insyallah atuh Pak (Ya insyallah dong Pak)”

Insyallah Arab atanapi Sunda (Insyallah Arab atau Sunda)?”

Nge-hang dia ditanya seperti itu oleh saya. Larak lirik kanan kiri. Melihat temannya. Mereka juga sama tidak mengerti.

Ah moal wae, Pak, (Ah tidak jadi, Pak),” kata saya, ”Abdi peryogi nu dugina 30 Menit. Upami 10 menit mah engke kedah ngantosan 20 menit. Hawatos Japra teu acan angkat ti bumina (Saya butuh yang sampai 30 menit. Kalau 10 menit nanti harus menunggu 20 menit. Kasihan Japra belum pergi dari rumahnya)”

Nya ku abdi engke dicandak kukulilingan we heula Pak (Ya oleh saya dibawa keliling dulu saja, pak)”

Hawatos atuh ka Bapak kedah ngaboseh nanjak sareng mudun (Kasihan Bapak harus mengayuh naik dan turun)”

”Oh”

Bapak kenal Japra teu (Bapak Kenal Japra tidak)?” tanya saya.

Rerencangan Bapak (Temennya Bapak)?”

Muhun (Iya)”

Heunteu Pak (Tidak Pak)”

Saurna kapungkur dicopet di dieu. Padahal anjeuna nu gelo. Tega pisan copet teh nyopet nu gelo (Katanya dia pernah dicopet disini. Padahal dia ini sakit jiwa. Tega banget copet mencopet orang sakit jiwa)”

Ah didieu mah seueur copet Pak (Ah disini memang banyak copet Pak)”

Suara peluit berbunyi. Wasit goblogkah? Ternyata bukan. Itu polisi sedang meniup peluit agak becak dan angkot tidak menyemut di gerbang stasiun.

Para pilot becak dan tukang angkot menggerakan kendaraan mereka. Akhirnya. Sejurus itu, saya lekas-lekas giring lagi Revo & Ummi Brun-brun. Lekas-lekas saya suruh mereka masuk 03. Lekas-lekas saya suruh mereka duduk di pojok belakang.

Angkot pun kemudian melaju. Meninggalkan polisi yang seperti wasit. Meninggalkan Taman Topi. Lalu bergerak ke arah gereja tua. Belok kiri melewati Gedung Pemda Bogor yang diseberangnya nampak rusa-rusa Istana Bogor sedang dicekoki wortel oleh pejalan kaki.

Lalu entah kemana lagi. Saya kurang tahu nama-nama jalan di Bogor. Tapi sedikitnya saya tahu arah angkot 03 ini. Dia pasti akan melewati banyak pohon rindang raksasa. Lantas banyak bangunan tua peninggalan Meneer-meneer. Sangat indah. Sangat tertata. Apik. Romantis.

”Bangunan Belanda-nya bagus-bagus ya?” itu Ummi Brun-brun tiba-tiba memecah kesunyian.

”Iya,” jawab saya, ”Kayaknya kalau lihat kayak begini, kita lebih baik mengajukan proposal ke Belanda”

”Proposal apa?”

”Proposal permintaan dijajah lagi sama mereka. Biar bangunannya kuat. Tertata rapih. Pohonnya bagus-bagus”

”Hehehe...” itu Ummi Brun-brun malah tertawa.

Daripada tertawanya berlebihan, saya minta sopir menghentikan angkotnya di depan Kampus IPB. Benar kan kata saya. Ummi Brun-brun akhirnya berhenti tertawa. Dia sibuk konsentrasi mencoba keluar dari angkot. Sambil gendong Revo tentunya.

Tepat diseberang sana sudah berkumpul banyak orang. Iya tepat dibawah bangunan yang diatasnya ada tulisan Kebun Raya Bogor. Itu saya kemudian menjadikan diri saya sebagai Komo. Saya melintas jalanan. Eh, mobil-mobil berhenti. Semua jadinya malah melihat saya, Ummi Brun-brun, dan Revo. Kenapa ya mereka tiba-tiba berhenti. Saya tidak tahu.

Di bangunan yang tadi saya bilang. Tersebutlah seorang pria. Pria yang gila kerja. Workaholic. Bayangkan saja hari Minggu begini dia masih berkerja. Disaat semua orang libur. Disaat orang seperti saya malah ke Kebun Raya Bogor. Eh, dia malah bekerja. Saya menduga dia pasti kaya raya. Sebab kerja tiada henti. Atau jangan-jangan dia pemilik Kebun Raya???

”Boleh masuk Pak?” tanya saya dengan senyum dimanis-maniskan.

”Iya boleh. Berapa orang?” dijawab oleh si pria tadi. Benar tebakan saya. Dia pemilik Kebun Raya. Buktinya dia memberi saya izin. Kalau pun bukan pemiliknya, saya menduga dia ini pasti pemegang saham Kebun Raya Bogor.

”Banyak Pak”

”Rombongan?”

”Iya. Rombongan Rumah Sakit Jiwa Bandung”

”Oh ya?”

”Iya”

”Berapa orang?”

”Berapa ya?” saya sedikit bingung. Soalnya yang datang masíh belum pasti jumlahnya. Yang sudah mengaku akan datang, saya hitung dibawah 12 orang.

”Sekitar 12 orang”

”Sebentar ya”

Si Bapak pemilik KRB berjalan menuju teman dibelakangnya. Ada 2 orang disana. Tiga orang jadinya termasuk si Bapak tadi. Mereka mengobrol. Saling bertukar pandang. Saling mengoceh tak karuan. Sambil sesekali melirik saya.

Tak lama. Si Bapak kembali lagi.

”Dari Rumah Sakit Jiwa Bandung?”

”Tidak boleh ya Pak kalau orang Bandung kesini?” sengaja tidak saya jawab pertanyaan si Bapak. Biar dia semakin bertanya-tanya.

”Ih boleh atuh. Siapa saja juga boleh masuk. Ini kan umum”

”Oh saya kira khusus orang Bogor dan orang Belanda saja”

”Ya nggak segitunya atuh Pak”

”Kalau saya bertiga boleh masuk duluan?”

”Berdua Pak. Anak dibawah 5 tahun tidak dihitung”

”Jadi boleh Pak?”

”Boleh saja. Tapi yang lain mana?”

”Nanti Pak. Mereka mah menyusul. Mungkin 1 jam lagi. Masih di Cikunir. Soalnya tadi ada yang mengamuk”

”Ngamuk?” Mereka suka ngamuk?”

”Kadang sih Pak. Makanya dibawa kesini juga. Ini bentuk pengobatan terapi khusus”

”Oh...”

”Jadi boleh saya masuk duluan?”

”Oh iya silakan saja”

”Berapa?”

”Jadi 18 ribu rupiah”

Saya keluarkan uang dua puluh ribuan dari dompet. Lalu berikan pada si bapak.

”Saya heran. Sekarang-sekarang banyak uang palsu beredar. Kebanyakan yang 20 ribu dan 50 ribu” kata saya setelah uang dipegang si Bapak dan tiket dipegang saya.

”Iya...” kata si Bapak. Dia langsung terawang, raba, dan periksa uang dari saya. Kayaknya asli. Soalnya dia mengembalikan 2 ribu rupiah pada saya.

Tanpa banyak bicara lagi, saya giring lagi Revo & Ummi Brun-brun menuju ke dalam. Menuju Kafe Dedaun. Yang dulu halamannya sempat dijadikan landasan helikopter si Kampret Bush. Sayang sekarang proyek seharga 2 milyar itu tidak ada bekasnya sama sekali. Sialan kata saya.

Ummi Brun-brun yang belum pernah masuk terkagum-kagum. Revo malah minta turun. Lantas berlari-lari. Saya berikan bola yang saya pegang sejak dari rumah padanya. Buat dia tendang-tendang. Mumpung lapangannya luas. Tidak seperti di rumah yang serba sempit.

Saking luasnya saya bingung harus mencari tempat dimana. Tempat buat kumpul bareng kawan-kawan yang sebentar lagi bakal datang. Itu rumput yang ada pohon berbuah kelapa besar akhirnya saya pilih. Lumayan teduh. Meski sedikit tersembunyi. Biarlah kata saya. Toh yang datang pun memang orang-orang berbahaya. Jadi lebih baik dijauhkan dari manusia-manusia kebanyakan.

Menit menit berlalu. Akhirnya satu persatu orang-orang yang saya bilang dari Rumah Sakit Jiwa Bandung datang. Pertama datang Beybek, Purwa, dan Naura. Mereka perwakilan dari RS Jiwa Cilendek Bogor. Tak lama datang Japra, Ira, dan Nyawa. Menyusul kemudian Anak Baik, istrinya, Fatih, Basoka, Lia, Hana, dan Iah. Yeahhh.... party dimulai.


Bukan keterangan tambahan:
Isi party tidak dipublikasikan karena rahasia dan banyak kata-kata yang tidak akan lolos lembaga sensor. Bagi kawan-kawan yang tidak hadir, diminta bersabar dalam usaha penyembuhan penyakitnya.

Tersungkur

Rabu, 12 Agustus 2009



Jangan sekali pun kau muntahkan peluru itu
pada dada yang terpaku

Sebab sekali dada terkoyak,
sejuta kepal terhentak



...kepada kawanku yang tersungkur; kau telah menang kawan!...



Ke Kebun Raya#1 (Naik Kereta)



Pagi. Jam 6 kurang 100 menit. Seperti biasa itu saya sudah bangun tidur. Tapi tidak tidur lagi. Dan tidak bangun lagi. Tidak seperti yang (alm) Mbah Surip nyanyikan.

Setiap jam segitu, mata saya memang otomatis selalu terbelalak. Bukan terbelalak akibat melihat Kuntilanak. Ini sudah otomatis dari sananya. Mungkin ketika pabrik mata saya memproduksi mata saya, mereka sudah mengaturnya seperti ini.

Hanya saja pagi ini saya tidak bangun seperti biasa. Seperti hari-hari biasa maksudnya. Hari ini saya harus ke Kebun Raya Bogor. Bertemu dengan para eks pasien RS Jiwa Bandung yang dulu sempat dirawat bareng dengan saya.

Revo masih tidur di kasur. Kebetulan kata saya. Saya bisa persiapan dulu dengan tenang. Tanpa direcoki dia. Soalnya semalam saya tertidur lebih awal. Kecapekan habis bersih-bersih rumah kayaknya.

Saya pergi ke dapur. Membuat dapur berantakan. Membuat akhirnya lengkeng dicampur sirup. Membuat telur dadar menjadi spesial. Membuat mendoan menjadi hangat. Membuat tas saya menggembung oleh barang yang sengaja saya masukan.

“Kita naik kereta ke stasion ya?”saya sedikit berteriak ke orang yang ada di dalam kamar mandi.

“Ya iyalah” Ummi Brun-brun menjawab dari dalam kamar mandi. Dia tadi yang membantu saya membuat dapur berantakan. Akibatnya dirinya menjadi kecapekan. Mungkin karena itulah dia pergi ke kamar mandi. Tapi hal itu membuat saya bertanya-tanya. Kenapa capek malah pergi ke kamar mandi.

“Lagi mandi?” tanya saya

“Cuci muka” dia kemudian membuka pintu kamar mandi

“Cuci muka saja kok ditutup?”

“Sekalian pipis tadi”

“Memang bisa pipis sambil cuci muka?”

“Hah???”

Ummi Brun-brun terhenyak dengan pertanyaan itu. Tidak bisa menjawab. Seperti biasa.

Setelah itu adegan-adegan kehidupan saya mengalir bagai air. Tapi saya kira tidak semua adegan harus dibahas. Termasuk tidak usah dibahas, bagaimana kalau setelah kami keluar pagar rumah ternyata Ummi Brun-brun lupa membawa helm.

Jagakarsa, pagi itu sudah ramai. Motor sengaja saya bawa pelan-pelan. Tidak saya gunakan seperti orang balapan. Maklumlah namanya juga melewati pasar. Kalau saya bawa motor seperti pembalap, bisa-bisa saya digebukin orang sepasar. Dari pasar, saya lajukan motor ke pertigaan jalan Jagakarsa – Lenteng Agung. Lalu belok kiri setelah tanjakan. Terus. Lurus menyusuri Lenteng Agung. Nah itu disana. Di depan kampus IIP saya putar arah motor menuju Depok. Lantas lurus lagi. Namun tidak sampai Depok. Sekitar 500 meter saya belokan motor ke kanan. Masuk ke Stasiun Lenteng Agung.

Akibatnya motor saya parkir. Revo dan Ummi Brun-brun terpaksa harus merelakan motor ditinggal sendiri. Eh, banyakan deng. Sudah banyak temannya disana. Malahan ada penunggunya juga. Jadi mirip kuburan pikir saya.

“Piknik Pak?” tanya si penunggu tadi. Ramah. Penuh senyum.

“Ih kok tahu?” balas saya kembali bertanya.

“Keliatan” si penunggu tersenyum. Matanya melirik ransel saya yang menggembung dan bola plastik yang saya pegang dari tadi.

“Sebenarnya sih mau reunian”

“Temen sekolah Pak?”

“Bukan. Teman sesama mantan pasien Rumah Sakit Jiwa. Ada Japra, Basoka, adiknya Wati kakaknya Iwan. Bebek, banyak deh pokoknya”

“Oh” mimik si penunggu berubah drastis.

“Mau ikutan, Pak?” tanya saya mencoba membalas keramahan si penunggu.

“Eh… Eh… Nggak . Makasih”

“Kalau Rumah Sakit Cilendek jauh ya dari Kebun Raya?”

“Saya kurang tahu Pak?”

“Oh ya sudah. Saya nitip motor ya?!”

“Heeh”

Saya bawa Revo dan Ummi Brun-brun menjauhi si penunggu tadi. Biarlah dia begitu kata saya. Biar motor saya nantinya tidak banyak diusik. Memangnya berpengaruh ya dengan cara seperti itu? Tidak tahu.

Di depan saya ada dua orang. Pakai seragam. Ganteng. Bukan berarti saya suka orang ganteng. Ini karena saya jujur saja apa adanya.

“Kemana Pak?” tanya salah satu dari si ganteng maut tadi.

“RS Jiwa Cilendek”

“Hah?”

“Itu dekat Kebun Raya Bogor”

“Oh Bogor. Pakai apa?”

“Pakai kereta dong”

“Iya kereta yang mana? Ekonomi atau AC?”

“Oh… AC saja. Biar sampai Bogor”

“Dua-duanya juga sampai Bogor Pak”

“Biar ah saya mah pakai AC saja” balas saya sambil tersenyum.

Itu setelah saya membeli 2 karcis, kami pergi menuju tempat duduk. Menyebabkan kami menunggu terdiam selama ¼ jam disana.

Tak lama kereta datang. Saya masuk. Sebelumnya sudah masuk terlebih dahulu Revo dan Ummi Brun-brun. Ternyata kereta lumayan penuh. Semua kursi sudah diisi. Terpaksa saya berdiri. Begitu juga Ummi Brun-brun. Revo tidak. Dia digendong.

Entah kasihan, entah bisulan. Ada seorang bapak mempersilahkan Ummi Brun-brun duduk. Dia memilih berdiri. Seperti saya. Heran jadinya saya. Kenapa tadi bukan saya yang disuruh duduk. Kurang apa saya. Padahal saya bawa ransel yang begitu berat. Tidak jauhlah dengan Ummi Brun-brun yang gendong Revo. Kalau kemudian disambungkan dengan isu kesetaraan gender, harusnya hal demikian sudah tidak boleh terjadi. Iya itu. Mendahulukan wanita karena mereka lemah. Kan kalau sudah setara harusnya laki-laki juga bisa didahulukan dong. Tapi biarlah. Saya tidak akan mendemo DPR gara-gara masalah gender ini. Dari dulu saya memang tidak percaya DPR. Apalagi demokrasi dan kesetaraan gender ala para feminis itu.

Semakin kereta merayap menuju Bogor, semakin silih berganti pula orang yang masuk dan keluar. Hingga tak disangka tak diduga saya dihadapkan pada sebuah lahan kosong di depan mata saya. Tepatnya di depan tempat saya berdiri. Tentu saja hal ini tidak saya sia-siakan. Duduklah saya penuh suka cita disana.

Beruntungnya saya. Sudah dapat tempat duduk empuk eh disamping ada teteh-teteh cantik pula. Cantiknya tidak kepalang. Selangit lah. Jujur saja, saya memang suka teteh-teteh cantik. Masih mendingan kan daripada suka laki-laki ganteng.

Si Teteh nampaknya tidak sedang akan kuliah. Sebab hari sudah menjadi minggu. Tidak pula akan bermain bola. Sebab tidak membawa bola seperti saya. Tapi yang jelas nampaknya dia masih mahasiswi. Umurnya dibawah 25 tahun.

“Bom… bom… bom…” sengaja saya berbicara begitu. Pelan. Sengaja juga saya arahkan suara saya biar hanya dapat didengar si Teteh saja. Begitu saya lakukan berulang-ulang.

“Mas!” bahu si Teteh menggoyang-goyang badan saya.

“Oh ya??!” saya seolah-olah kaget. Padahal aslinya gembira ria.

“Ada apa?” tanyanya

“Oh… tidak ada apa-apa. Saya sedang melihat korang yang dibaca si bapak” tunjuk saya ke arah bapak-bapak diseberang kami. Dia memang sedang membaca Koran. Headline korannya tentang penangkapan Noordin M Top di Temanggung.

“Ooo…”

Suasana kembali hening. Hanya deru kereta melaju yang terdengar.

“Hahaha…” saya tiba-tiba terkekeh.

Si Teteh mahasiswi melirik saya penuh tanya. Tapi tidak berkata-kata. Diam. Mulutnya membatu.

“Polisi tuh salah tangkap. Yang mereka tembak itu bukan Noordin”

Dia kembali melirik. Namun kembali tidak merespon.

“Ibu tahu tidak kalau Noordin M Top masih hidup?”

Dia mendelikkan matanya. Lagi. Tapi kayaknya masih enggan merespon saya. Rona mukanya menjadi semakin berubah. Sialnya dia tetap cantik meskipun begitu.

“Ibu tahu Noordin M Top masih hidup?”

“Saya bukan ibu-ibu”

“Oh iya maaf Mbak”

“ Tapi Mbak tahu tidak?” tanya saya kembali.

“Nggak” Dia merogoh sesuatu dalam tasnya. Sebuah buku tebal. Sepertinya sebuah textbook.

“Kalau Noordin M Top masih hidup, takut tidak Mbak?”

“Maaf saya lagi membaca, Mas” jawab dia tidak menoleh sedikit pun. Mulutnya komat-kamit. Persis orang sedang mmembaca mantera. Dukunkah dia?

“Mbak, kalau saya Noordin M Top itu bagaimana?”

“Eh!” dia memandang saya aneh. Ada unsur terkejut. Tapi judesnya tidak ketinggalan.

“Percaya tidak kalau saya Noordin M Top?”

“…” masih tidak ada jawaban. Matanya mulai menelanjangi saya dari bawah hingga atas. Pelecehan seksual kata saya.

“Percaya tidak ransel yang saya bawa isinya bom?”

“…” dia bergerak. Kepalanya menengok ransel saya yang sudah bolong. Nampak baju Revo dan termos berisi air minum didalamnya. Namun dari bahasa tubuhnya, seolah-olah dia mau bilang; Ih sape sih elu? Aneh banget dech. Pake sok-sok akrab segala. Nakut-nakutin pula. Punya jenggot seuprit aja belahu ngaku-ngaku Noordin M Top. Muke lu jauh tuh! Asal elu tahu, saya sudah bertunangan. Nih lihat cincin berlian di jari manis gue. Tunangan gue itu keren. Kara raya. Sekolahnay luar negeri. Kerja di perusahaan asing. Nah elu siape?

“Teroris” jawab saya dalam hati sambil melihat kaos hitam saya yang memang bertuliskan TERRORIST.

DAMN!

Sabtu, 08 Agustus 2009


09 Juli 28 23:42
Mr. mengatakan...

kutu kupret luw.. gak usah menyitir ayat2 suci segala deh, itu ayat sepotong2 yang luw k
utip konteks nya jg udah beda.. kalo emang luw mo jihad (sesuai tapsiran lue) ya di negara luw sendiri donk malaysia. Gak usah make orang gw buat ngebom negara gw. Kalo negara gw yang luw serang terus.. gw berani JIHAD!!! membela negara gw (INDONESIA)

2009 Juli 29 01:14
ryan mengatakan...
Jancok Sampean iku salah cok........sing kudu di BOM iku kamu bukan tim MU cok.......sapi pokoknya Abu Bakar Ba'asyir dan FPI dilarang masuk Jawa Timur,Khususnya Surabaya Dan Sidoarjo........ 2009 Juli 29 01:15
ryan mengatakan...
Bantai-Bantai Malingsia........musnahkan dari bumi INDONESIA.....MERDEKA.....Bubarkan FPI..............Bantai Abu Bakar Ba'asyir

2009 Juli 29 01:28
TERKUTUKLAH KALIAN TERORIS mengatakan...
Terkutuklah kalian pengikut Muhammad! Neraka paling jahanam menunggu kalian di alam baka!!

2009 Juli 29 01:17
mboisker mengatakan...
JANCOK KOEN...JANCOK KOEN...JANCOK KOEN...JANCOK KOEN...JANCOK KOEN...JANCOK KOEN...JANCOK KOEN...JANCOK KOEN...JANCOK KOEN...JANCOK KOEN...JANCOK KOEN...JANCOK KOEN...JANCOK KOEN...JANCOK KOEN...JANCOK KOEN...JANCOK KOEN...JANCOK KOEN...JANCOK KOEN...JANCOK KOEN...JANCOK KOEN...JANCOK KOEN...JANCOK KOEN...JANCOK KOEN...JANCOK KOEN...JANCOK KOEN...JANCOK KOEN...JANCOK KOEN...JANCOK KOEN...JANCOK KOEN...

2009 Juli 29 02:50
budi mengatakan...
dasar nordin m top kontol!!!!!!1 kontol kecil!!mental babi!!!anjing!!! orang malingsia ngebomnya indonesia!!asu lu!!yg suruh ngebom mau juga negrinya dirusak. bego bgt, ga mikir kenapa dia yg orang malingsia ga mo ngebom negrinya sendiri, harusnya yg disuruh jg jgn mau ngrusak negri sendiri. Basyir seneng bgt nih..anjing juga tu basyir!!

2009 Juli 29 03:58
Mochammad mengatakan...
heh,temen2 elo yang pada "jihad" tuh coba elo suruh sms gw,dy bnr d surga gg?
Jangan cm kasih janji,kasih bukti or penjelasan yg masuk akal. goblok bgd sih.
Sbener'y elo2 pada suka sholat gag sih?
Ya Allah,tolong bukakan lah mata hati umat2 manusia...
Or...maybe nie tanda2 dajjal yang ngaku2 bela Islam tapi sbnr'X MENYESATKAN


Ini beberapa komentar yang saya rampok dari blog http://mediaislam-bushro.blogspot.com. Sengaja tidak saya edit. Biar kesannya lebih vulgar. Lebih seronok.

Semua itu terjadi pasca aksi bom di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton. Hampir semua orang termasuk saya tersihir dengan opini publik yang dihembuskan media selama ini. Padahal di sisi lain –selain masih belum jelasnya kasus ini- masyarakat juga termasuk saya didalamnya membutuhkan informasi objektif berdasarkan kaidah-kaidah jurnalistik investigatif.

Bagi saya, tayangan thriller-thriller audio visual, bumper yang beritme cepat dan alunan musik yang scremo menunjukan adanya perlombaan diantara TV-TV swasta dalam menampilkan berita terbaru. Polanya hampir semua sama. Yaitu membuat konten berita yang berulang-ulang dan selalu identik. Dengan opening dan ending yang membuka interpretasi dan persepsi yang berlebihan di mata pemirsa. Dampaknya konsumen berita sadar tidak sadar digiring untuk terus masuk dalam ruang informasi yang samar-samar.

Sahkah hal seperti itu? Sebenarnya sah-sah saja. Itu sebuah konsekuensi dari penyiaran berita. Sebab dalam dunia yang tidak lagi berbatas ruang dan waktu ini, media TV merupakan media yang sangat praktis untuk memberikan informasi kepada publik. Dan karena kepraktisannya tersebut, membuat para pengelola media akan selalu berusaha agar konsumen ”hanya” tertarik dengan berita yang disampaikannya

Indikasinya adalah ketika semua ini belumlah jelas ujung pangkalnya, media lantas selalu meng-update berita jam per jam. Bahkan detik per detik. Belum lagi dengan usahanya untuk mewawancarai para saksi untuk masuk studio. Dan yang sangat disayangkan adalah dengan gegabah menumpangtindihkan situasi gamang ini dengan mengkaitkan kejadian dengan hal-hal yang belum pasti. Media akhirnya menjadi sumber keterangan primer ketimbang sekunder karena kemampuannya membentuk dengan cepat opini. Padahal -di sisi lain- pihak kepolisian belum memberikan keterangan apapun.

Hal inilah yang sangat disayangkan. Terlebih ketika semua analisa yang diberikan TV tersebut gugur karena fakta berbicara lain. Salah satunya kasus tidak sesuainya DNA dengan para pelaku. Namun -sekali lagi sangat disayangkan- tidak ada sedikit pun klarifikasi atau permintaan maaf dari pengelola media terhadap keluarga-keluarga yang telah mereka tuduh seenaknya. Padahal hal itu saya kira sangat penting bagi keluarga yang tertuduh serta opini publik. Sebab sudah menjadi rahasia umum, ketika hal ini terjadi berkaitan dengan ”Teroris” maka ujung-ujungnya Islam juga yang menjadi kambing hitam. Islam dan para pejuangnya yang akhirnya selalu disalahkan. Damn!


Don’t trust the media but be the media..!



I Lop Yu Pul

Selasa, 04 Agustus 2009




What this is?

You rock

Hahahaha……

Follow me?! Ok!


Tak gendong kemana mana

Tak gendong kemana mana

Enak dong?!

Mantep dong?!

Daripada kamu naik pesawat kedinginan

Mendingan tak gendong toh

Enak toh? Mantep toh?

Ayo kemana???


Tak gendong kemana mana

Tak gendong kemana mana

Enak tau!!


Where are you going?

Ok, I booking

Where are you going?

Ok, my darling

Haaa…haaa…


Tak gendong kemana mana

Tak gendong kemana mana

Enak dong?!

Mantep dong?!

Daripada kamu naik busway kesasar

Mendingan tak gendong toh

Enak toh? Mantep toh?

Ayo kemana???


Tak gendong kemana mana

Tak gendong kemana mana

Enak tau!!


Where are you going?

Ok, I booking

Where are you going?

Ok, my darling

Haaa…haaaa…


Tak gendong kemana mana

Enak tau!!

Haaa….haaaa… haaaaaaaaaaaaaa……haaaaaaaaaaaaaaaaa

Capekkkkkkkk




Nb:

Matur nuwun Mbah sudah nemenin si eneng selama ini latihan berkata-kata. Semoga Mbah di bawah pohon jengkol sana diterima amal ibadahnya oleh Allah Swt. Uh yeeeeeh…