Spying In Solo

Selasa, 30 Juni 2009


Sengaja saya sekarang tidak banyak cerita. Soalnya saya bosan bercerita dengan mengetikkan jari-jari saya ke keyboard komputer. Bukan bosan tapi memang tidak mau. Biar sesekali ada sesuatu yang baru.

Sengaja juga saya sekarang tidak banyak bercerita tentang Bandung & Jakarta. Soalnya saya bosan tinggal disana. Bukan bosan tapi memang disuruh bos intelejen untuk pergi ke luar kota. Ceritanya melakukan aksi mata-mata di Solo. Biar itu intel-intel yang hobinya menginteli mujahidin & ummat Islam pada bosen jadi intel.

Memang ngaruh ya kalau saya kesana?

Setidaknya dengan apa yang saya dapatkan dari operasi intelejen ini akan membukakan mereka (para intel). Membukakan apa saja. Mau mata, baju sampai celana kolor juga terserah mereka. Saya hanya memberikan sebuah alternatif pilihan bagi mereka dalam bertugas. Ya daripada menginteli mujahidin & ummat Islam mending menginteli apa yang telah saya hasilkan ini (hasil bisa dilihat gambarnya). Lagian Kan sesama muslim tidak boleh berburuk sangka juga ber-tajasus. Betul kan?

Sedikit petunjuk buat membaca gambar. Keterangan dibawah ini sesuai dengan apa yang ada di gambar. Dibacanya sesuai dengan arah kencleng Jumatan. Yang tidak pernah jumatan tanya sama yang suka jumatan.

Silakan dinikmati! Silakan diinteli!

Keterangan gambar;
1. Bandeng Mbak Mar
2. Revolt.Net
3. Galabo
4. Gerbang Alun-Alun Selatan
5. Alun-Alun Selatan
6. Alun-Alun Utara
7. Keraton Surakarta
8. Kyai Slamet
9. Gerbang Masjid Keraton
10. Masjid Kesunanan
11. Menara Mesjid Keraton
12. Monumen Perjuangan
13. Taman Balekambang
14. Selat Solo
15. Beras Kencur Mix
16. Pecel Ndeso
17. Galeri Seni Solo
18. Sate Banjir
19. Wedang Dongo
20. Tengkleng Gapura Klewer
21. Bestik Hardjo
22. Kampung Batik Kauman
23. Serabi Notosuman
24. Es Sarang Gurung
25. Memanah Soloan
26. Gudeg Ceker
27. Pasar Klewer
28. Sate Buntel Timin
29. Sate Kere Yu Rebi
30. Kolam Renang Lor In
31. Gempol Plered
32. Stasiun Solo Balapan

Sehari Dengan Intel Solo

Senin, 29 Juni 2009


Itu saya orang yang sedang ngorok di sofa. Yang kakinya ngangkang. Beruntung pakai celana. Biasanya saya pakai sarung. Soalnya kalau pakai sarung di warnet bisa-bisa sesuatu milik saya menjadi tontonan gratis pengunjung warnet. Termasuk seorang berkacamata yang senyum-senyum dari tadi. Dia adalah kawan saya. Itu yang sedang duduk di meja operator. Namanya Bahrun. Usianya satu tahun lebih muda dari saya. Namun meski lebih muda pengalamannya di dunia intelejen sudah begitu lama.

Saya dan dirinya memang sudah lama tidak jumpa. Sudah lama tidak rindu. Ketemu pun baru satu kali. Di Depok dulu waktu saya kerja dengan si Divan Semesta & Ali OM. Itu pun sebentar saja. Soalnya si Bahrun ini mau melanjutkan misi intelejen ke Padang. Selebihnya saya dengan dirinya banyak bertemu di dunia tak kasat mata. Dunia maya. Tapi bukan Maya Rumantir. Bukan juga Luna Maya.

Mau apa dia ada di Solo? Kenapa dia ada di meja operator warnet? Jangan-jangan dia sedang melakukan pencurian data-data penting atau hacking. Tidak jawab dia. Dia sedang melayani konsumen. Biasalah namanya juga pemilik warnet Revolt.Net. Itu memang aktivitas dia sehari-hari. Konsumen adalah ratu menurut dia. Kenapa bukan raja kata saya. Kalau raja nanti tidak bisa dinikah. Tapi kalau ratu suatu saat bisa dinikah kalau cocok di hati. Begitu kata dia; Amir LY Nusantara. (ket: Di LY Nusantara, siapa yang telah berpoligami maka dia menjadi pemimpinnya. Bertambahnya istri menjadikan seseorang otomatis menjadi pemimpin)

Biar tidak terus menerus ngobrol Zorayah, Bahrun saya ingatkan akan kesepakatan tadi malam ketika kencan. Oh yah, Zorayah itu salah satu targetan misi intelejen kami. Dia tidak ikut kencan bareng kami tadi malam. Soalnya dia tidak ada di Solo. Kalau saja dia ikut kencan. Sudah pasti dia hari ini akan kami ajak untuk menjalankan beberapa sunnah Rasul dalam hal melatih fisik. Tak lain dan tak bukan adalah memanah, berenang dan berkuda. Tapi karena kudanya tidak ada terpaksa pakai kuda besi milik Bahrun.

“Sekarang kita kemana dulu, cuy?” kata saya sambil mengacak-ngacak rambut. Biar terlihat belum mandi. Ini namanya salah satu trik dalam dunia intelejen supaya bisa klandestein ke targetan.

“Kita memanah dulu aja!” jawab Bahrun tepat ketika angka jam menunjukan pukul 6 pagi.

“Ekoylah kalau begitu mah. Cabut cuy!”

Akhirnya kami, maksud saya, saya dan Bahrun, menaiki kuda besi. Semoga saja kudanya jantan. Soalnya kami berdua juga jantan semua. Khawatir kalau betina dinaiki akan berakibat fatal. Tapi nampaknya tidak sefatal yang dilihat orang-orang di pinggir jalan. Mereka sedikit terheran melihat kami. Mungkin mereka kaget. Sejak kapan Arjuna dan Srikandi bangkit dari kubur. Soalnya saya yang duduk di belakang memang mengalungi ( ket: yang bener pakai akhiran –i atau –kan ya? Kalau pakai akhiran –kan artinya kan melempar) busur sebesar saya. Plus menggenggam satu kotak anak panah.

Tapi itu semua tatapan mereka tidak saya pedulikan. Hanya saja di dalam hati saya berpikir. Apa benar kami dianggap Arjuna & Srikandi. Lantas kalau begitu siapa yang Arjuna dan siapa yang Srikandi. Kalau si Bahrun sih boleh disebut Arjuna. Lagian dia kan mirip Arjuna. Berpoligami. Sedangkan saya. Ya sudah lah Srikandi juga tidak apa-apa. Toh saya punya nama lain;Echie, kalau sedang di dunia maya. Demi misi intelejen, menyamar jadi apapun memang harus dilakukan. Semakin tidak disangka berarti itu tanda kesuksesan seorang agen mata-mata.

“Nah, disini nih kita latihan memanahnya” kata Bahrun tiba-tiba.

“Wow, asoy!” decak saya.

Kami berhenti di sebuah lapangan berumput. Kondisinya turun 2 meteran dari jalan. Sedangkan di sisi lainnya ada sebuah sungai besar mengalir. Kondisi matahari pun lumayan bagus. Garis gradasi warna jingga terlihat jelas di cakrawala.

Tak lama berselang Bahrun mulai memberikan trik-trik untuk memanah kepada saya. Tapi tidak trik memanah hati wanita. Apalagi Zorayah. Soalnya dia pun ingin mendapatkan Zorayah. Sial kata saya. Dasar Amir yang tidak tahu diri. Tapi tak apa. Yang penting saya bisa menjalankan salah satu sunnah Rasul hari ini.

Ternyata memanah tidak semudah yang dikira. Saya kira tinggal tarik lalu lepaskan. Faktanya jauh lebih sulit dari itu. Tarikan pertama sukses membuat anak panah diam ditempat. Tarikan-tarikan berikutnya sukses membuat lengan kiri saya memar. Hampir saja saya putus asa. Tapi melihat Bahrun dengan enaknya melepaskan anak panah, hati saya seolah-olah seperti ikan yang kena pancing. Dan akhirnya dalam waktu yang tidak lama, saya dapat melesatkan anak panah tepat di sandal butut yang menjadi sasaran tembak. Yes. Amir kalah sekarang. Dia saja belum sempat membidik tepat sasaran.

“Kayaknya kalau nembak pakai AK-47 tidak seribet ini deh” kata saya.

“Ya iyalah!” jawab Bahrun dengan nada centil.

“Kapan-kapan kita pakai AK-47 aja yuk! Jaman begindang pakai panah”

“Ayo aja. Tapi jangan salah nanti semua peralatan seperti itu tidak berfungsi loh!” ingat Bahrun

“Hohoho… iya juga. Kembali pada perang konvesional ya, Run”

“Hooh”

“Mungkin tidak nanti ada orang seperti Arjuna atau Kresna?” tanya saya

“Maksudnya?” Bahrun nampak bego disini

“Iya mereka kan sekali melesatkan panah yang keluar ribuan panah. Atau bisa satu kali tarikan langsung sepuluh anak panah”

“Hehehe… Mungkin saja kali. Apalagi buat intel-intel seperti kita. Alat-alat intelejen kan canggih-canggih. Lagi pula lambang instansi kita kan Kresna. Tu tandanya suatu saat kita bisa seperti dia dalam memanah”

Saya berpikir. Ini Bahrun sejak kapan jadi gila begitu. Berpikirnya sudah tidak dalam konteks yang benar. Apa ini karena beratnya tugas intelejen di wilayahnya. Ah semoga saja tidak. Wong setiap saat dia bisa keluar masuk Ngruki. Setidaknya otak tidak lurusnya kan bisa dimanajemen ulang seperti yang Aa Gym bilang. Lagian kerjaan dia kan paling cuman keluar masuk penerbit-penerbit buku seperti Aqwam, Jazeera, Granada, Islamika, dll plus mengasuh Umar anaknya Imam Samudera.

“Cuy, gimana kalau kita makan dulu saja?!” ajak saya agar Bahrun bisa sedikit rileks

“Ayo! Kemana?”

“Gudeg ceker gajah, Cuy!”

Mang gajah punya ceker?”

“Maksud saya gudeg ceker yang cekernya sebesar gajah. Biar kita kenyang selama setahun”

“Wah enak dong”

“Iya dong. Masa iya lah”

Meluncurlah dengan cepat itu kami dari arena panahan. Diatas motor Bahrun ngoceh membicarakan enaknya makan ceker sebesar gajah. Diam kau Bahrun. Kamu tidak tahu ya kalau makan ceker sebesar itu tandanya kamu juga (maaf) ee-nya tar segede gajah. Bayangin mau keluar darimana tuh.

Entah lewat jalan apa saya tidak mengerti. Yang jelas Bahrun ajak saya masuk jalan-jalan yang kesannya oldschool banget. Jalannya tidak terlalu besar. Namun kiri kanannya berdiri benteng besar. Selang beberapa meter ada pintu kayu bernuasa klasik. Diatasnya ada logo kerajaan plus nama-nama berbau ningrat Jawa. Sayang saya tidak sempet ngintip isi dibalik tembok itu. Soalnya Bahrun tidak mau berhenti. Padahal saya penasaran ingin melihat seperti apa orang yang darahnya biru itu. Makhluk seperti saya kah atau seperti Bahrun. Atau malah seperti ceker gajah.

Tepat di perempatan motor pun berhenti. Lampu merah. Untuk yang mau belok kiri , silakan jalan terus. Tapi untuk yang selain itu harus menunggu lampu hijau menyala.

“Sudah sampai” kata Bahrun

“Ye, kirain mau belok Run”

“Nggak kok. Itu tuh gudegnya”

Wow, warungnya lesehan. Pinggir jalan pula. Asyik buat godain polwan lagi tugas. Kalau nanti dimarahin Polwan. Ya tinggal tunjukin aja si Bahrun. Dia kan intel yang ditugaskan di Solo.

Mangan, Mas?” itu ibu-ibu penjual gudeg sok akrab nanya ke saya.

Sorry, I don’t understand” jawab saya

“???” ibu penjual gudeg terheran-heran

Akhirnya si Bahrun dengan bahasa Jawa kental membereskan semua masalah tadi. Dia memang ahli banget kalau disuruh bernegosiasi dalam bahasa Jawa.

“Oh, Mas ini bukan dari Solo ya toh?” si ibu kembali bertanya pada saya

“Iya bu. Saya dari Arab Saudi!”

"Ara Saudi tempat orang haji?"

“Memangnya ada Arab Saudi selain itu?” balas saya

“Ah si Mas ini ada-ada aja”

“Ada-ada bagaimana Bu? Saya ada disini kok dari tadi juga”

“Hahaha... Kok Arab Saudi bicaranya logat Sunda?”

“Begini Bu. Dulu saya ini adalah TKI dari Bandung. Karena kerja disana sudah lama dan setiap tahun mendapatkan predikat TKI terbaik, saya akhirnya direkrut jadi agen”

“Agen? Agen kompor kali! Hahaha..." ledek si Ibu

“Yah si ibu mah malah meledek. Saya kirim ke Abu Gharaib tahu rasa loh!” ancam saya ke si ibu penjual gudeg.

“Apa itu?”

“Swalayan khusus tempat jualan gudeg di Irak”

“Masa sih?” si ibu dengan mimik heran bertanya seakan tidak percaya

“Iya Bu. Dijamin Ibu bakal banyak saingan kalau berjualan disana. Sudah banyak saingan, Ibu juga tidak bisa menawarkan jualan Ibu. Soalnya disana bahasanya pakai bahasa Inggris dan Arab. Mau Ibu saya kirim kesana?”

“Ya, emoh lha Mas!”

Bahrun yang sedang mulai menyantap gudeg terlihat mesam-mesem. Sepertinya menahan sesuatu. Entah mesam-mesem kenapa. Ada dua kemungkinan kalau saya bilang. Pertama ingin boker. Yang kedua ada sesuatu yang konyol.

Lha Mas sini lagi ngapain di Solo? Pake bawa panah segala lagi” si Ibu bertanya seperti seorang investigator.

“Saya lagi ada misi Bu. Lagi mencari agen CIA yang menawarkan bisnis warnet kepada orang-orang Solo. Kadang juga dia jualan gudeg. Sesekali bisnis batik di Pasar Klewer”

“Hahaha... Lha terus panahnya buat apa?”

“Ini panah untuk ditembakan ke agen CIA itu. Soalnya dia punya ilmu kebal. Kalau pakai senjata api dia kuat. Kelemahannya dia bisa dikalahkan dengan menembakan sesuatu dari senjata asli tanah kelahirannya. Berhubung dia lahir di pinggir Stadion Manahan, ya saya bawa panah ini untuk menghentikannya” jelas saya.

“Ah, Mas ini ngaco deh. Hahaha...”

“Ibu tidak percaya?”

“Ga tuh. Hahaha...”

“Sok saja Ibu tanya temen saya ini. Bahrun namanya. Dia ini intel yang tugasnya khusus di Solo.”

“Beneran intel Mas?” si ibu bertanya ke Bahrun yang duduk disamping saya.

“Bukan! Temen saya ini emang suka asal Bu” jawab Bahrun sambil tangannya dia geleng-gelengkan.

“Tuh kan! Bukan Mas kata Mas ini juga”

“Si Ibu mah. Mana ada intel mengaku? Kalau ada intel mengaku itu namanya intel Melayu. Intel abal-abal. Yang asli itu tidak bakalan mengaku”

Ndak percoyo!” si Ibu sekarang geleng-geleng mengikuti tangan Bahrun tadi.

“Dikasih tahu si Ibu mah. Eh, atau si Ibu saya panah saja ya?! Jangan-jangan Ibu ini intel yang sedang saya cari.”

“Hahaha... Bukan lah Mas” si Ibu tertawa menyebabkan mulutnya dapat dimasukan bola tenis.

“Mau Bu?”

“Ayo kalo berani!” tantang si Ibu kecentilan

“Tapi tidak jadi ah. Biar teman saya saja yang memanah Ibu. Tepatnya memanah hati Ibu. Doi ini pinter kalau memanah yang seperti begitu, Bu”

Bahrun malah ketawa. Mungkin didalam hatinya dia mengatakan iya dan menyadari kalau apa yang saya katakan memang kenyataan yang tidak bisa ditampik. Atau bisa juga dia tertawa karena didalm hatinya dia sedang mengamati kemolekan si ibu penjual gudeg. Entahlah. Biar itu menjadi urusan dia sendiri. Saya tidak bisa melarang dia untuk jatuh hati pada penjual gudeg.

“Bu, sudah dulu ya. Saya mau melaksanakan Kesamaptaanjas yang lain lagi nih”

“Apa itu? Ibu ndak ngerti”

“Melaksanakan sunnah Rasul yang lain. Mau renang Bu. Di Hotel Lorin. Ibu mau ikut?”

“Boleh. Hahaha...” si Ibu ini memang doyan tertawa kayaknya atau mungkin juga saudaranya si Bambang Srimulat. Entahlah.

“Nanti dagangannya bagaimana Bu?”

“Ya jualan aja disana”

“Wah kalau disana tidak boleh jualan gudeg Bu. Yang boleh cuma AK-47”

“Apa lagi itu AK-47?”

“Ak-47 itu Angling Karma. Umur 47 tahun. Itu dia pamannya Angling Dharma”

“Hahaha...”

“Umur Ibu sudah bukan 47 kan?”

“Tau aja. Hahaha...”

“Ibu mah ketawa saja. Sudah ah kalau begini terus saya bisa tidak jadi perginya”

Saya beri kedipan mata ke Bahrun untuk segera pergi dari lokasi yang sudah tidak kondusif itu. Sambil berbisik saya berkata ke Bahrun.

“Kasih bom si Ibu sama elu ya!”

“Hah?”

“Bayar gudegnya maksud saya!”

Bahrun mengangguk-angguk tanda setuju.

“Bu, ada pesan-pesan terakhir buat saya?” kembali saya bertanya utnuk mengakhiri pertemuan yang indah itu.

“Tangkepin terorisnya yang banyak ya! Hahaha...” kembali si ibu mengakhiri pembicaraan dengan tawa.

“Iya insyallah nanti saya tangkap tentara Amerika dan Obama cs deh Bu. Mereka kan biangnya teroris”

“Mas, ada pesan buat Ibu juga? Hahaha...” selalu ada tawa lagi dari si Ibu

“Saya hanya mau berdoa saja Bu. Semoga gudeg Ibu bisa diekspor hingga Arab Saudi. Tempat saya dinas”

“Hahaha...”

“Sudah ya Bu. Tugas menanti saya. Bye!"

Snowie & Brownie R.I.P

Sabtu, 27 Juni 2009


Snowie & Brownie yang baik, tadi pagi saya baru selesai menjalankan ibadah boker. Itu saya lalu melintas ke ruang depan. Menyalakan TV seolah-olah api. Tapi karena tidak ada yang menarik hati saya lantas mematikannya, menyebabkan saya seakan-akan seorang pembunuh berhati baja.

Snowie & Brownie, ya itu saya tadi pagi. Hatinya masih membaja seperti Clark Kent si manusia baja. Tapi tidak sekarang. Tidak setelah saya melihat meja makan yang tidak penuh oleh makanan. Sumpah bukan karena meja makanan yang kosong kemudian hati saya tidak lagi membaja. Bukan. Bukan karena itu. Dari dulu memang itu meja mau saya ganti namanya menjadi meja kosong. Soalnya dia tidak pantas disebut meja makan karena diatasnya tidak pernah ada makanan. Yang ada malah kosong. Entah kosong itu makanan atau bukan. Yang jelas kosong.

Snowie yang seputih salju, luluh lantaknya hati baja ini adalah setelah itu saya melihat rumah kayu tropis kalian. Rumah yang menjadi tempat kalian indehoy ternyata tidak dapat membuat kalian asoy. Buktinya, kau malah terbujur kaku dan Brownie diam membisu. Hingga akhirnya menyusul kau meninggalkan pilu.

Brownie yang bukan Brownies Amanda, disaat-saat seperti ini entah apa yang saya rasakan. Perasaan sedih bingung tercampur baur menjadi satu. Haruskah saya meratapi kepergian kalian seperti kaum Syiah meratapi kematian Imam Hasan & Husein dengan memukuli badannya hingga berdarah-darah? Bukannya tidak mau, disuntik saja saya takut. Apalagi lihat darah. Atau haruskah saya masuk ke dalam kamar, kemudian menyetel lagu “Too much love will kill you”nya Queen? Atau malah bersurut dalam sujud panjang, menguraikan airmata yang pastinya panjang-panjang juga? Apa yang harus saya lakukan? Membaca Al Qur’an seraya menengadahkan tangan, dan mengeluarkan endapan kesakitan saya yang paling dalam: airmata?

Snowie & Brownie yang caem, sesungguhnya, kalian tak salah mengenai hal ini, sebab jodoh itu sudah digariskan oleh Allah. Mengapa saya bilang jodoh? Karena setiap pertemuan sudah diatur dan dipasang-pasangkan oleh Allah. Jadi jika kalian bukan rizki menjadi sahabat saya, maka tak ada gunanya saya memaksa kalian agar dapat bangkit dari kubur seperti halnya Suzzana dalam film Arwah Penasaran.

Snowie & Brownie yang sholeh dan sholehah, jika saya mempercayai bahwa Allah mendaraskan takdir pada mahluknya maka rasanya tidak perlu saya untuk mengulang kembali menggunakan doa yang isinya mungkin pernah kalian lihat di komputer saya. Masih ingat tidak kalian dengan email itu? Email buat seorang yang sekarang damai disisi-Nya. Ah rasanya tidak perlu saya tulis. Soalnya tidak nyambung.

Snowie & Brownie yang imut-imut, sebelumnya saya mau mengucapkan terima kasih karena kalian telah menghiasi hari-hari saya. Jujur saja, kehadiran kalian kemarin itu membuat saya seperti terbang entah ke langit yang ke berapa. Kalaulah langit itu bertingkat seribu, maka saya terbang ke langit yang ke seribu satu. Bahkan menembus batas-batas horizon waktu yang terbentang dalam alam raya ini.

Brownie yang imut kayak kue bolu, saya tidak akan menggenapi Asmaul Husna menjadi seratus dengan menamakan Dia: “Allah Yang Maha Kejam”, karena kejadian ini. Saya sudah menyadari sejak dulu, bahwa ketentuan Allah kadang-kadang memang aneh seaneh manusia itu sendiri. Terkadang umur bukanlah suatu penentu sebab terjadinya kematian. Logika matematis tidak bisa dipergunakan dalam masalah ini.

Snowie yang bulunya halus, karena bukan masalah matematislah makanya tadi saya meminta izin Um-Um untuk membuat tahlilan tepat di hari ke-3 kematian kalian nanti. Sengaja saya bikin hari ke-3 bukan ke-7 sebab setelah angka 2 adalah 3 bukan 7. Namun itu urung saya lakukan. Padahal saya sudah membuat undangan tahlilan untuk disebar ke tetangga. Gantinya saya kasih saja mereka kue brownies kukus Amanda special dari Bandung. Sambil tak lupa saya selipi tulisan mengenang wafatnya Snownie & Brownie. Ketika tetangga tanya siapa kedua nama tersebut, saya jawab kelinci.

Snowie & Brownie yang saya yakin cerdas, tahu tidak kalau acara tahlilan kalian banyak dipertanyakan? Mereka mengatakan kalau acara untuk kalian ini adalah mengada-ada. Aneh. Lantas saya jawab demikian; kalaulah acara tujuh bulanan itu bukan mengada-ngada. Begitu juga acara 7 hari, 40 hari, dan 100 hari juga bukan acara yang tidak ada salahnya untuk dilakukan, lantas apa salahnya saya mengumpulkan tetangga untuk silahturahmi? Toh sama-sama baiknya. Sama-sama saling menjalin ukhuwah. Lagian kan mereka belum sempat kenalan dengan kalian. Bener ga?

Snownie & Brownie yang kalem tapi centil, beruntung undangan saya direspon tetangga. Sehingga prosesi pemakamanmu tidaklah jauh berbeda dengan pemakaman-pemakaman seperti yang ada di film-film Barat itu. Meski tidak sebanyak yang dikira, namun Revo, Mumu & Arya senantiasa hadir mengiringi kepergian kalian. Tak peduli mereka masih kecil dan sedang disuapi nasi oleh ibunya masing-masing namun mereka dengan khusyuk mengikuti perjalanan akhir kalian yang hening. Syahdu.

Snowie yang putih seperti kue putri salju, sampai sekarang Revo selalu memanggil-manggil kalian. Entah apa yang harus saya katakan padanya. Karena kalau pun saya beri tahu dia tidak akan mengerti. Yang ada malah dia terus mencoba untuk menggali kubur kalian seperti halnya Sumanto. Tak lama berselang, saya berikan Revo foto Cici Paramida. Kenapa saya berikan itu? Karena dia selalu memanggil-manggil kalian dengan Ci..Ci… Barangkali saja dengan foto Cici Paramida tertabrak mobil akan berhasil meredakan kehilanganya akan kalian. Sayang usaha saya tidak berhasil.

Brownie yang coklat seperti baju Pramuka, ketidakberhasilan ini sama halnya dengan ketidakberhasilan saya menyelamatkan kalian dari dijadikan sate kelinci oleh Asep Rabbit di Lembang sana. Sumpah padahal saya sudah mencoba untuk total mengurusi kalian. Meskipun saya sadar ini kali pertama saya memelihara hewan. Tapi saya tidak main-main dalam mencukupi nafkah lahir dan batin kalian.

Snowie & Brownie yang menggemaskan, ratusan situs bergambar kelinci sudah saya kunjungi dan saya ambil ilmunya. Bahkan sudah saya praktekan sebagian pada kalian. Hanya saja sampai sekarang saya masih belum bisa menarik hubungan antara kalian dengan situs berlogo kepala kelinci. Dilihat dari gambar, tidak ada kesamaan antara mereka dengan kalian. Begitu pun dengan namanya. Kalian kelinci, mereka Playboy. Aneh kan? Kok bisa playboy jadi kelinci? Kok bisa kelinci jadi playboy. Padahal Brownie meskipun jantan tidak pernah iseng ma kelinci betina lain. Begitu juga dengan Snownie. Meskipun betina, dia tidak pernah pamer aurat seperti di situs Playboy.

Snowie & Brownie yang baik, cukup rumit bagi saya untuk menetralisir keadaan ini. Kejadian ini datangnya terlalu tiba-tiba, setelah semuanya terasa sesuai dengan harapan saya. Tetapi saya yakinkan dalam diri ini, bahwa saya bukan penguasa masa depan. Saya tak tahu rencana Allah dalam masalah ini. Namun meskipun begitu saya harus tetap melangkah kembali. Memegang kontrol penuh atas diri serta tetap menggunakan pikiran yang sehat.

Snownie & Brownie yang imut-imut, kalaulah ini adalah yang terbaik menurut-Nya, Insyallah semoga itu menjadi yang terbaik bagi kita. Hanya saja saya sampai sekarang masih bertanya-tanya. Entah kalian mempercayai hadits ahad atau tidak. Apa yang kau rasakan di dalam kubur sana? Terkukung dalam sebidang tanah seukuran tubuh. Apa juga yang kalian rasakan ketika Malaikat Maut kemarin memisahkan ruh kalian dari jasad kalian yang mungil itu? Benarkah seperti diiris pedang? Lalu apakah kalian disana ditanya malaikat dengan pertanyaan “Ma rabbuka?” Semoga kalian bisa menjawabnya. Saya yakin kalian bisa menjawabnya dengan benar. Soalnya kalian bukan Abu Jahal, Firaun apalagi George Bush. Sebab kalau kalian tidak sampai bias menjawabnya, kemaluan kalian bisa dicolok, badan kalian dipecut dan disetrika berulang-ulang.

Snownie & Brownie, ini galian terakhir kubur kalian sudah saya selesaikan. Jasad mungil nan lucu kalian sudah saya pegang erat. Saya bawa kalian menuju tanah berlubang itu. Sebersit ingatan menghentikan laju saya; KAPAN SAYA SEPERTI INI???


Dari, seorang lelaki yang berpura-pura tegar,
Dari seorang lelaki yang selalu mengharap dan mendoakan, agar kalian menjadi golongan kelinci yang syahid yang akan memberikan syafaat pada pemiliknya.

Tahfidzul Quran Sejak Dini, Kenapa Tidak?


Maka jika kita menginginkan anak-anak kita berbahasa yang baik dan berprilaku luhur, dekatkanlah mereka dengan al-Qur’an. Jika kita mengharapkan anak-anak kita mudah taat dan bersegera dalam menjalankan syari’atNya, buatlah mereka mencintai al-Qur’an dan menghapalnya.

Siapapun kita, sebagai orangtua muslim tentu mengharapkan anak-anak kita menjadi anak-anak yang shalih dan shalihah. Taat pada Allah Swt, ittiba’ kepada Rasulullah Saw, taat syari’atNya, berbudi pekerti yang baik dan berbakti pada orangtuanya.

Anak yang shalih dan shalihah adalah anak-anak yang benaknya dipenuhi dengan al-Qur’an, bahasanya adalah bahasa al-Qur’an dan perilakunya adalah cerminan al-Qur’an. Sebaik-baik bahasa adalah bahasa al-Qur’an, sebaik-baik tuntunan adalah al-Qur’an.

Maka jika kita menginginkan anak-anak kita berbahasa yang baik dan berprilaku luhur, dekatkanlah mereka dengan al-Qur’an. Jika kita mengharapkan anak-anak kita mudah taat dan bersegera dalam menjalankan syari’atNya, buatlah mereka mencintai al-Qur’an dan menghapalnya.


Mengapa Tahfidzul Qur’an begitu urgen?

”Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih lurus dan memberikan kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal shalih bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (TQS. Al-Isra : 9)

Rasulullah Saw bersabda :
”Orang yang mahir dengan al-Qur’an akan bersama-sama dengan rombongan malaikat yang mulia dan senantiasa berbuat baik... (HR. Muslim dari Aisyah ra)

”Bacalah al-Qur’an, karena al-Qur’an akan datang pada hari kiamat kelak memberi syafaat (pembelaan) kepada ahlinya” (HR. Muslim dari Umamah al Bahili ra)

Dengan tahfidzul qur’an tentu saja anak akan menjadi dekat dengan al-Qur’an. Anak pun akan menjadi lebih peka terhadap suara dan gaya bahasa al-Qur’an, sehingga akan muncul rasa tidak senang terhadap suara dan gaya bahasa yang kasar.

Tahfidzul qur’an juga akan berefek meningkatkan konsentrasi anak. Dan jika ini terjadi, maka sangat dekat kemungkinan anak kita untuk berkonsentrasi dalam menerima ilmu dan pemahaman dalam proses belajar mengajar, termasuk akan mudah mengingat hal apapun yang kita tanamkan kepadanya.

Anak juga akan memiliki hati yang lembut, karena hal itu dijanjikan Allah dalam firmanNya ;

”Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah lah hati menjadi tenteram...” (QS. Ar-Ra’d : 28).

Tidak hanya itu, tahfidzul qur’an juga akan menghidupkan jiwa yang mati. Sabda Rasul Saw :
”sesungguhnya orang yang didalam hatinya tidak ada al-Qur’an sedikitpun (yang dihapal), bagaikan rumah yang akan roboh” (HR. Tirmidzi)

Allah juga memberikan apresiasi bagi orang-orang yang belajar dan mengajarkan al-Qur’an, Sabda Rasul saw : ”Orang yang terbaik diantara kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya”

Hadits ini juga memberi motivasi untuk para orang tua agar turut serta dalam proses ’membenakkan’ al-Qur’an pada anak-anaknya.


Bagaimana arah pembelajaran Tahfidzul Qur’an kepada anak

Pembelajaran tahfidzul qur’an akan memberikan motivasi kepada anak untuk selalu meraih derajat tertinggi di hadapan Allah Swt dengan menghapalkan al-Qur’an. Benak anak kita pun akan dipenuhi dengan al-Qur’an. Memorinya akan banyak terisi oleh ayat-ayat Allah, sehingga para orang tua akan lebih mudah mengingatkan dan mengarahkan anak-anaknya.

Selain itu, tentu saja tahfidzul qur’an akan membuat anak-anak kita mudah dalam menguasai dalil-dalil syara’, dan akan jauh lebih mudah bagi para orangtua untuk menanamkan pemahaman syari’ah kepada anak-anaknya.


Tips tahfidz qur’an untuk anak

Pilih waktu yang nyaman dan suasana yang menggembirakan. Tidak masalah jika anak-anak sedang bermain. Menghapal al-Qur’an tidak berarti posisi anak dengan guru/orang tua yang mengajarkannya ’face to face’. Cukup dengan memastikan pendengarannya ’on’, meski dia melakukan aktivitas (misalnya menulis, menggambar, bermain puzzle, dll).

Menghapal alqur’an bisa dilakukan secara terjadwal (misal ba’da shalat subuh dan ba’da shalat maghrib, atau menjelang tidur) atau tidak terjadwal (saat anak main atau belajar dengan orangtuanya)

Bacakan satu surat utuh (jika surat pendek) dengan cara ; orangtua membacakan satu ayat, diulang oleh anak satu ayat. Jika anak masih Batita, orangtua cukup membacakan satu surat penuh berulang-ulang, minimal 10 menit.

MP3, radio atau multimedia dapat membantu, jika orangtua memiliki keterbatasan dalam hapalan al-Qur’an atau mengalami kesulitan untuk membacakan ayat-ayat al-Qur’an dengan suara yang merdu.

Jika anak melakukan kesalahan dalam hafalan, jangan memintanya untuk mengulanginya lagi, karena hal itu akan membebaninya dan membuatnya berkecil hati. Cukup dengan membacakan ulang kalimat ayat yang benarnya.

• Buatlah pola muraja’ah (mengulang) yang mengasyikkan. Mulailah dengan bercerita tentang satu tokoh atau satu kisah yang berkaitan dengan ayat-ayat yang sedang dihapal. Lalu, bacakanlah ayat/surat yang telah dihapalkan anak secara berurutan dengan nyaring dang gembira. Biarkan anak-anak kita mengikutinya.

• Jangan takut menetapkan target tahfidz untuk anak (contoh SAP tahfidz Faqih dan Hamasah).

Wallahu a’lam bishshawwab.
Yuli Kusumadewi Darmadi, S.Si



---------------------------------------------------------------------------------------

SAP Tahfidzul Qur’an M. Faqih AK dan Hamasah Muthmainnah
Per 21 minggu (kurang lebih 1 semester). Mulai Juli – Desember 2009
Target 20 surat + 3 surat Al-Muta’awwidzaat (al-Ikhlas, anNaas dan al-Falaq)

Minggu ke Nama Surat Jumlah Ayat Hari/Tgl Frekuensi
1 Al-‘Ashr-AnNashr Sen-Rab 10 menit 20 kali ulangan
2 Al-Kautsar-Quraisy kam-jum idem
3 Al-Lahab 5 Sen-Sab idem
4 Al-Kaafirun 6 idem idem
5 Al-Fiil 5 idem idem
6 Al-Qadar 5 idem idem
7 Al-Maa’un 7 idem idem
8 At-Takaatsur 8 idem idem
9 Al-Humazah 9 idem idem
10 Al-Zalzalah 8 idem idem
11 At-Tiin 8 idem idem
12 Adl-Dluha 11 idem idem
13 Al-Insyirah 8 idem idem
14 Al-‘Adhiyat 11 idem idem
15 Al-Qari’ah 11 idem idem
16 Al-‘Alaq 19 idem idem
17 Al-‘Alaq 19 idem idem
18 Al-A’laa 19 idem idem
19 Al-A’laa 19 idem idem
20 Al-Bayyinah 8 idem idem
21 Al-Bayyinah 8 idem idem
Pola muraja’ah
Setiap 4 minggu.

KURET Bag.3 (Bye Bye Avicenna)

Sabtu, 20 Juni 2009


Sesampai di ruang penyiksaan, saya lihat Um-Um sedang menggendong Revo. Kelihatannya sesi penyiksaan sudah selesai. Buktinya si Um-Um sudah bias tersenyum-senyum simpul hidup begitu.

“Ke bawah aja dulu! Bayar ongkosnya!” kata Um-Um sambil menunjukan jari telunjuknya seperti seorang preman.

“Ekoy dech” timpal saya sambil mengambil Revo dari gendongannya.

Bergegas saya turun menujuk kasir sambil mencoba mendiamkan Revo yang mulai menangis & menjerit-jerit karena dipisah dari Um-Um.

Dengan muka cuek tapi tetap ganteng saya mendekati kasir yang berparas Arab dan berkerudung lebar itu.

“Yang baru dikuret tadi ya Pak?” tanya si kasir ramah penuh senyum.

“Bukan”

“Lho jadi ini siapa?”

“Saya tidak dikuret. Yang dikuret Um-Um”

“Iya maksud saya beliau”

“Oh kalau begitu iya. Jadi total berapa?”

“Biaya operasi dan lain-lain terus obat jadinya (sensor) rupiah” jawab sang kasir dengan sangat lancar.

“Oke, sebentar”

Saya buka resleting tas. Saya cari-cari uang disana. Masyallah. Yang ada hanya potongan kertas-kertas bekas tiket dan parkiran. Tiga lembar uang seribuan nyempil diantara kertas-kertas tadi.

Ya Allah, uang saya habis. Ternyata yang tadi saya kasihkan ke bapak-bapak di trotoar itu adalah semua uang saya.

Jujur wajah saya cukup pucat pasi di depan kasir berdarah Arab itu. Mana si Revo nangis tidak mau berhenti.

“Gimana Pak?”

“Bisa saya kasih cek tidak disini?” ujar saya menenangkan diri.

“Lebih baik cash saja Pak”

“Oh ya sudah. Sebentar saya hitung dulu”

Saya masukan kembali tangan ke dalam tas sambil pura-pura menghitung uang. Padahal aslinya hanya menghitung kertas-kertas parkiran.

“Berapa tahun si kecil Pak?” Tanya si kasir kembali

“Yang ini?! Baru 15 bulan”

“Kalau anak masih kecil harusnya ga boleh punya adek, Pak!”

“Kenapa tidak boleh?”

“Kan KB, Pak!”

“Lha justru saya ini KB, mbak. KB, Keluarga Berencana kan?”

“Iya”

“Saya ini berencana punya anak 12 orang. Semua sudah saya set nantinya mereka akan dijadikan apa. Dari mulai ilmuwan sampai dokter, semua sudah saya rencanakan dari dulu. Setiap tahunnya sudah saya perhitungkan untung ruginya. Dan lagi menurut saya tidak akan ada kerugian dengan apa yang Allah titipkan pada saya. Dia Maha Berencana. Saya hanya pelaksana rencana Dia di lapangan”

“Jadi darimana asalnya saya tidak disebut keluarga berencana?”

“Oh…hehehe…” mbak kasir mesem-mesem tidak jelas.

“Sebentar ya Mbak saya mau cairkan cek dulu”

Saya berjalan menjauhi meja kasir. Menuju kea rah ATM. Lantas mengirim SMS dan menelpon beberapa karib kerabat barangkali akan berinvestasi pada tender yang saya tawarkan.

Alhamdulillah, tidak terlalu lama saya berhasil mendapatkan para investor. Hanya saja dana dari investor hanya cukup untuk membayar biaya yang tadi si kasir katakan saja. Padahal besok hari saya harus berangkat kerja, makan dan pergi ke Bandung bareng Revo & Um-Um. Apa harus saya jalan kaki ke Bandung?

Tapi mau gimana lagi. Ya sudah yang penting si mbak kasir Arab tidak nanya lagi masalah KB. Daripada nanti si Um-Um disiksa lagi karena tidak ikutan KB.

Di tengah kegalauan yang teramat sangat. Berat banget kayaknya bahasanya.Saya terdiam di sebuah kursi kayu. Memandangi orang-orang yang berlalu-lalang. Tak lama kemudian, entah darimana datang seorang Bapak setengah abad.

“Lagi nunggu?” tanyanya.

“Iya Pak. Um-Um habis dikuret”

“Oh”

“Silakan duduk Pak!”

“Maaf saya sudah ditunggu. Duduknya nanti lagi aja. Harus segera pergi”

“Oh silakan Pak”

“Oh yah, ini buat kamu!” si Bapak memberikan selembar amplop putih polos.

“Apa ini Pak?” Tanya saya keheranan. Meskipun jujur saya berharap dan melihat wujud amplop itu berubah menjadi gepokan uang.

“Udah ambil aja!”

“Eh Pak, ini bukan acara Kena Dech kan?”

Si Bapak hanya tersenyum dan menghilang di tengah kerumunan orang.

Saya yang ditinggalkannya masih duduk terheran-heran. Memikirkan amplop apa gerangan yang ada di tangan saya ini. Surat cinta kah? Jangan-jangan si Bapak ingin menyatakan cinta pada saya. Yah hari gini pakai surat. Kan sudah ada email.

Tapi daripada dibuat penasaran terus menerus, saya perkosa saja itu amplop.

Subhanallah!

Isinya uang. Totalnya cukup untuk bolak-balik ke Bandung bertiga pakai Prima Jasa dari Lebak Bulus. Alhamdulillah. Alhamdulillah pangkat tiga.

***

Sekitar jam 2 yang sudah siang, saya berikut Um-Um dan Revo berjalan menuju pelataran parker. Rencananya langsung pulang ke rumah. Tapi sebelum sampai sana, kami harus melewati ruangan kaca penuh bayi-bayi yang baru dilahirkan.

“Kalau saya menikah dengan ibu-ibu mereka bagaimana ya?” tiba-tiba saya membuka pembicaraan.

“Mang kenapa? Jadi mau poligaminya? Tanya Um-Um.

“Tidak juga sih. Cuman pengen tahu kalau saya nikah dengan ibunya mereka hasilnya bakal seperti apa. Apa seperti mereka?”

“Huuuu… parah!”

Parah apanya pikir saya. Namanya juga eksperimen. Lagian justru dengan menikahi ibu-ibu mereka dan melahirkan mereka tentunya bakalan memperbanyak rezeki. Rezeki yang tadinya hanya untuk saya saja. Sekarang malah bisa berkali lipat. Terbantu oleh rezeki si ibu-ibu dan bayi-bayi itu.

Dengan adanya Um-Um dan Revo saja sudah ada 1 orang bapak tua yang member saya amplo. Bayangkan kalau 4 orang ibu dan anggap 1 ibu 1 anak, sudah pasti bakal ada 4 orang yang member saya amplop misterius. Syukur-syukur kalau dari 4 orang istri tadi ada yang semakmur dan sesholehah seperti Khadijah istri Rasulullah. Tidak bakal ada lagi cerita saya cari-cari investor kesana kemari. Semua sudah ditangani ma istri yang lain. Enak kan?

Tapi kalau semuanya dikuret bareng dalam satu waktu? Mhmmmm… Saya yakin Allah Maha Berencana. Dialah Perencana yang benar-benar Terencana.

KURET Bag.2 (Osama bin Laden)


Setelah 2 hari lalu seorang dokter memproklamasikan kuret di depan saya, saya tidak lantas mengkibarkan Sang Saka Merah Putih di Pegangsaan Timur. Coba untuk apa pentingnya saya kibarin bendera disana? Saya kan anti nasionalisme. Lagian kalau saya kibarin bendera, bendera bergambar apa yang pantas dikibarkan untuk proklamasi kuret. Masa bergambar serabi & pembalut wanita. Kesannya porno banget. Salah-salah saya dijerat UU Pornografi. Atau gambar bayi montok yang banyak stiker bertulisan “No Problem”. Ah tidak ah. Nanti malah disangka fedofili.

Daripada saya pusing-pusing mikirin bendera, mending saya segera mencari rumah bersalin atau rumah sakit saja. Kayaknya ini lebih menyelesaikan masalah kuret ketimbang mencari gambar bendera. Tapi yang jadi pertanyaanya, rumah bersalin mana? Soalnya di kota ini praktek-praktek “persalinan” banyak bertebaran hingga pojok gang sempit.

Beruntung saya ingat seorang sahabat saya yang sukses didzalimi rahimnya oleh dokter. Saya hubungi segera suaminya. Kebetulan juga si suaminya ini sahabat saya juga. Namanya Bramantio. Dipanggil Bagus. Tapi ada juga yang manggil dia Tio. Sebagian yang lain manggil Akang, Asoy. Kalau saya manggil dia Kampring.

Saya tidak tahu sejarahnya kenapa dia dipanggil nama ini itu. Seperti tidak tahunya saya kenapa istrinya bernama Aulia. Sampai sekarang saya selalu bertanya-tanya kenapa orang tua mereka memberi nama seperti itu. Kenapa tidak Romeo dan atau Juliet. Atau Hitler dan atau Eva. Kenapa juga tidak diberi nama Muhammad bin Abdullah dan atau Khadijah. Kan kalau namanya seperti itu, setidaknya saya bisa masuk dalam kategori “sahabat”. Calon ahli surga yang semua pernyataan saya adalah ijtihad serta layak masuk ijma. Senangnya kalau begitu. Ah, saya suruh si Kampring & Aul ganti nama jadi itu aja ah.

Namun sayang. Saya lupa kasih saran itu ketika bicara di telepon dengan Aul (baca: Aulia). Saya terlalu fokus mendengar penjelasan rumah bersalin yang pernah Aul didzalimi hingga berdarah-darah didalamnya. Sampai-sampai akhirnya saya pun terhipnotis untuk memutuskan meng-free transfer-kan Um-Um kesana.

Biarlah didzalimi juga yang penting sembuh dan berbiaya mahal. Sengaja saya cari yang mahal. Biar saya tidak tanggung mengeluarkan uang. Soalnya bawa uang bermilyar-milyar itu bikin berjalan pun akhirnya harus diseret-seret. Rasanya menyiksa. Mana bikin lecet pula saking beratnya.

Itu terbukti ketika saya sedang berusaha pergi ke rumah sakit bersalin mahal itu. Saking beratnya, saya sudah tidak bisa menanggung beban uang milyaran yang ada. Daripada ambeien lebih baik saya buang sebagian saja. Ya kalau tidak saya berikan saja pada seseorang. Seseorang yang sedang duduk di trotoar itu.

“Lagi ngapain, Pak?” tanya saya.

“Kasihan Pak”

“Siapa yang kasihan?”

“Saya Pak. Saya belum makan dari pagi”

“Wah bapak hebat. Masih kuat di tengah panas begini tapi kerja. Saya kalau mau kerja tidak sarapan dulu pasti bisa pingsan Pak”

“Pengennya begitu, Mas. Tapi saya tidak punya uang”

“Ih nama saya bukan Mas, Pak”

“Oh maaf, Pak”

“Panggil saja saya DJ Wingki!”

“Iya”

“Saya mirip DJ Wingki ga Pak?”

“DJ Wingki siapa Pak?”

“Wah si Bapak mah ga gaul euy. Terkenal lagi DJ wingki mah”

“Saya ga tau, Mas”

“Kok Mas lagi?”

“Oh iya maaf”

“DJ Wingki itu ganteng Pak. Sohibnya Osama bin Laden di Afghan sana. Malah pernah tidur bareng sama Rambo”

“Osama yang teroris?”

“Hush! Osama bukan teroris! Dia itu mujahid. Pejuang Islam. Orang yang berjuang demi Islam!” tegas saya

“Gitu ya Pak. Kalau Rambo bukannya film?”

“Rambo itu bener-bener ada. Buktinya dia tidur bareng sama DJ Wingki. Tapi otaknya jangan ngeres ya!”

“Ya ga dong Pak” angguk si Bapak

“Bapak butuh berapa duit sih?”

“Ah Bapak sih seikhlasnya aja. Tapi 1000 perak juga boleh”

“Katanya seikhlasnya. Gimana sih si Bapak ini”

“Eh iya, silakan gimana Bapak aja”

“Kalau 1000 perak eamng cukup buat makan? Bukannya sekarang sekali makan saja paling murah 3000 perak?!”

“Ga cukup sih Pak”

“Kenapa mintanya cuman 1000 perak?”

“Bapak punya anak? Punya rumah? Sekolah kan anaknya? Bayar listrik ga di rumah? Keluar ongkos ga ke tempat kerja?” saya kasih pertanyaan bertubi-tubi agar si Bapak serasa menjadi public figure.

“Banyak banget pertanyaanya” jawab si Bapak dengan muka kebingungan.

“Sengaja Pak biar kayak SBY yang sedang diwawancara”

“Jadi gimana Pak?” tanya saya lagi

“Iya punya semua dan butuh semua” balas si Bapak mesem-mesem

“Ya sudah kalau begitu jangan minta 1000 perak. Nih saya kasih 1 milyar!”

Saya buka tas. Lalu keluarkan sepokan uang dari dalamnya. Saya berikan semua didepan tempat duduk si Bapak.

“Ini serius, Pak?”

“Ya iyalah. Ambil saja semuanya. Ini bukan acara Kena Deh atau sejenisnya kok” timpal saya.

“Bener Pak?”

“Iya beneran. Eh, saya mau antar orang buat disiksa dulu di markas dokter-dokter ya”

“Disiksa?” si Bapak tersenyum kecut tapi tetap kelihatan bahagia.

“Oh iya sebelum pergi. Saya mau tanya lagi. Saya mirip DJ Wingki temannya Osama Bin Laden tidak?”

“Ehhhh… gimana ya”

“Ya sudah jangain dipikirin. Sebagai salam perpisahan, panggil saja saya Osama Bin Laden”

“Eh iya Osama Bin Laden”

“Wah makasih kembali Pak. Ketemu lagi nanti di Afghanistan ya! Btw, mau titip salam buat Rambo sekalian tidak?”

“Eeee…. Iya boleh”

“Ya sudah kalau begitu nanti saya coba salamin. Assalamu’alaykum” saya pamit meninggalkan bapak tua yang masih tampak bingung campur bahagia.

Lega rasanya. Beban saya akhirnya sedikit berkurang. Sekarang tinggal jemput Um-Um & Revo yang sudah dari kemarin bolak-balik Avicena (sebuah rumah bersalin di daerah Cipulir Jakarta). Tunggu ya. Sebentar lagi sampai!

(masih bersambung & tidak ada bonus)

KURET Bag. 1 (Blind Ovum)

Jumat, 19 Juni 2009



Blind Ovum. Begitu yang dia bilang.

Dia itu saya lupa lagi namanya. Katanya sih dokter. Tapi saya belum pernah lihat dia diwisuda di fakultas kedokteran. Tahunya dia sekarang sudah pakai jas putih ala dokter-dokter. Tepatnya dokter kandungan kalau tidak salah. Hobinya lihatin kandungan dan segenap perabotan yang ada disekitarnya. Mhmm... pekerjaan yang nampaknya hampir diminati oleh semua laki-laki di dunia. Kecuali saya.

Tampangnya khas pengemudi Metro Mini 74 yang pernah saya tumpangi. Itu pengemudi bawa Metro Mini seperti banteng dalam Festival Sanfermines di kota Pamplona (festival di Spanyol dimana banteng dilepaskankan di jalan sempit lalu diarahkan ke tempat arena matador). Hanya saja nasib orang yang diseberang saya ini sedikit lebih baik. Atau malah jauh lebih baik?

Ah bagi saya pekerjaan apapun sama baiknya. Asal jangan jadi George Bush aja. Sebab saya tidak suka dia. Boleh kan saya bilang sesuatu tidak baik karena saya tidak suka? Ya boleh dong! Kenapa juga tidak boleh. Mau protes ke saya juga tidak berpengaruh. Soalnya saya sudah ketik diatas. Kalau mau hapus coba saja sendiri hapus kalau bisa!

Seperti juga ketidaksukaan saya dengan gaya bicara orang di depan saya ini. Sayang terhalang meja. Coba kalau tidak. Pasti kita akan lebih intim bicaranya. Apalagi dengan menatap mukanya yang kotak. Eh, bukan maksud saya mencela fisiknya. Fisik orang tidak boleh dicela. Sebab Allah lah yang membuatnya seperti itu. Kalau saya protes karena hal itu, saya takut dikutuk jadi batu seperti Malin Kundang. Padahal kalau mau dikutuk mah, saya ikhlas dikutuk jadi ganteng.

Kembali ke blind ovum. Saya sebenarnya tidak tahu apa maksudnya. Nulisnya pun saya tidak tahu bagaimana. Jadi kalau salah tulis jangan diprotes. Soalnya dulu waktu sekolah saya tidak mendalami secara khusus bahasa kedokteran. Berbeda dengan bahasa isyarat. Untuk yang satu ini insyallah saya cukup memahaminya dengan baik. Seperti garuk-garuk kepala, itu tanda untuk pilihan A. Batuk untuk B. Pegang telingan untuk C. Nguaa sudah pasti D. Dan ngupil untuk pilihan terakhir; E. Agh ga penting banget ya. Saya yakin banyak yang lebih ahli dari saya untuk masalah hal seperti ini.

Tadinya sih saya pura-pura pintar. Mengangguk-angguk seakan orang yang mengerti dengan istilah-istilah para ahli medis. Tapi lama-kelamaan saya jadi pusing sendiri. Terlalu banyak kosakata aneh yang masuk ke kepala saya. Akhirnya dengan bangga saya bertanya ke pria berbaju putih itu.

Blind Ovum itu apa, Dok?

“Itu istilah untuk janin yang tidak berkembang” jawab si dokter singkat.

“Mang janin bisa berkembang, Dok?”

"Bisa dong Pak. Kalau tidak berkembang nanti janinnya mati”

“Kembang apa biasanya yang bisa bikin janin mati?”

“Maksudnya?”

“Kan kata dokter kalau janin tidak berkembang nanti mati. Nah kembang jenis apa yang bisa jadi penyebab janin mati?”

“Saya masih belum mengerti”

“Pasti kembang bangkai ya Dok? Soalnya kembangnya aja sudah jadi bangkai. Apalagi nanti janinnya. Jadi pocong kali ya , Dok?”

“Bah! Bapak ini aneh-aneh saja. Saya kira apa”

“Dokter justru yang aneh. Janin kok berkembang. Sekalian saja berbunga, berbuah, berbiji, berakar serabut, monokotil, dikotil, musim duren”

“Hehehe....”

“Hehehe juga Dok” jawab saya.

Saya bukan bermaksud untuk bego. Sengaja saya membego-begokan diri biar suasana yang tidak saya sukai ini menjadi lebih cair. Kok cair ya? Kayak air aja. Apa yah padanan kata yang lebih tepat??? Ah yang penting setidaknya dengan tertawa saya harap aura sumpek ini menjadi tidak sumpek tentunya.

Hasilnya lumayan terbukti. Muka kotak si dokter asal Medan ini sedikit melebar. Ada segurat garis bibir yang mereka disana. Sederet gigi rapih putih pun pamer seperti iklan-iklan pasta gigi di TV. Silau man! Kata saya dalam hati.

“Terus konsekuensinya harus gimana Dok?” harap-harap cemas saya bertanya begitu. Jawabannya sudah bisa saya tebak.

“Kuret!”

“Kuret?!” saya memastikan kembali. Benar dugaan saya.

Beberapa detik setelah itu pikiran saya melayang. Terbang seperti Superman. Tapi sumpah saya tidak seporno Superman. Saya masih tahu meletakkan celana dalam yang benar itu dimana. Tidak seperti dia yang pakai CD diluar. Pamer!

Kemudian saya melirik ke sebelah kanan. Nampak ekspresi Um-Um seakan menelan ludah. Sedangkan Revo sedang asyik melemari dokter dengan permen yang ada diatas meja.

Kasihan Revo pikir saya. Dia belum saatnya bertemu dengan partner bermainnya si Andalus.

“Andalus, sudah dengar tadi yang dokter bilang?”

“Iya, Kuret!”

Beugh! Kaget saya. Kok Andalus bisa jawab pertanyaan saya. Selidik punya selidik, ternyata yang menjawab tadi si Dokter bukan Andalus. Ia mengulangi pernyataannya agar terus mengiang di otak saya. Sebuah kata yang menakutkan; KURET!

Banyak Jalan Menuju Tangkuban

Rabu, 17 Juni 2009


Entah kenapa di tengah malam yang menjadi minggu, saya berpikiran untuk memberi kejutan buat Revo. Padahal jujur ini bukan hari ulang tahun dia.

Memangnya kalau bukan ulang tahun tidak boleh memberi kejutan? Setahu saya sih kejutan itu boleh kapan saja. Lagi sekarat pun kalau memang dibutuhkan kejutan ya lebih baik diberi kejutan. Biar wafatnya penuh kebahagiaan. Atau biar tidak jadi wafatnya. Buktinya dokter suka kasih kejutan di dada pasien pakai alat kayak setrikaan. Saya tidak tahu maksudnya untuk apa. Tapi bisa jadi barangkali pihak rumah sakit ingin memberikan doorprize bagi pasien-pasien yang memiliki nomer pendaftaran unik. Makanya mereka kejutan pasien-pasien itu. Bener gitu? Entahlah. Tanya saja Rumah Sakit Omni Internasional. Mumpung belum ditutup.

***

Tidak singkat cerita. Sampai juga saya dan seisi mobil di depan pintu gerbang utama Tangkuban Perahu. Tapi tidak tahu kenapa ternyata sudah banyak orang, bus & mobil yang ngantri disana. Dari yang berhuruf AB, D, B sampai O juga ada. Kayaknya ini bukan lambang golongan darah. Atau mungkin sekarang mobil-mobil sudah mempunyai golongan darah. Agh, ga penting!

Jangan-jangan mereka mau menyambut kedatangan Revo. Begitu GR-nya saya. Wah bisa-bisa kecentilan nih si Revo kalau tahu dia sudah banyak yang nungguin. Untungnya dia masih tertidur pulas sejak pergi dari di rumah. Namun biar tidak salah, saya paksakan untuk orang bertanya kepada saya. Eh, tidak bisa ternyata. Ya sudah saya saja yang bertanya ke mereka.

“Lagi latihan baris berbaris De?” saya bertanya ke orang yang tubuhnya lebih kecil dari saya.
“Eeee.. Nggak.” si manusia yang lebih kecil dari saya garuk-garuk keheranan
“Lagi ngapain atuh kalau bukan baris berbaris?”
“Siapa yang lagi baris berbaris?”
“Tuh liat, bus ama mobilnya rapih gitu berjajar. Kirain lagi latihan baris” tunjuk saya ke kerumuman kendaraan segede alaihim gambreng.
“Hehehe, nggak Mas. Lagi nunggu masuk”
“Masuk kok ditunggu?”
“Iya. Mang harusnya gimana?”
“Kalau mau nunggu mah mending nunggu Revo”
“Revo siapa?”
“Pahlawan masa depan Indonesia”
“Ih ngaco dech”
“Terus lagi apa disini?”
“Mau masuk tapi kuncinya belum ada”
“Lha belum tahu ya?”
“Mang kenapa, Mas?” tanya si orang yang lebih kecil dari saya. Plus beberapa temannya yang ikutan memperhatikan saya dari tadi. Entah apa yang ada dipikiran mereka. Kaget mungkin ada pangeran subuh-subuh menyapa mereka.
“Sekarang kan Siaga Merah”
“Yang bener Mas?”
“Mang kalau gak bener gimana?”
“Yahhhh……”, serempak mereka. Koor kayak paduan suara mahasiswa.
“Udah ya saya mau kasih tahu itu saja”
“Jadi bener nih Mas Siaga Merah???” tanya mereka lagi. Salah satu diantaranya.
“Bener!!! Kata penjaganya juga gitu”

Setelah menjawab pertanyaan mereka, saya berjalan kembali ke arah mobil. Lalu duduk di belakang setir yang bulat. Tidak di belakang ban meskipun ban sama-sama bulat. Soalnya saya masih belum mau ajdi bulan-bulanan ban. Digiles maksudnya. Saya masih ingin memperlihatkan pada Revo kalau di Tangkuban Perahu tidak ada perahu yang tengkurap.

Adek saya tanya,”Kok balik lagi?”
“Payah ah. Panjang banget antriannya! Ga jelas juga kapan dibukanya”
“Terus tadi ngobrol apa ma ABG-ABG itu?”
“Iya tuh jadi heboh gitu. Orang-orang tua juga jadi heboh gitu!” Si Um-Um ikutan nimbrung sambil tunjuk kerumuman orang yang mulai kebingungan.
“Tadi bilang lagi Siaga Merah” jawab saya singkat.
“Emang bener Siaga Merah?”
“Tergantung apanya dulu!”
“Tergantung apa? Cau (terjemah. Pisang) yang digantung mah!” Adek saya bertanya lagi.
“Kan tadi sebelum sampai sini sudah ketemu ma penjaga pintunya”
“Tadi emangnya dia bilang apa?”
“Dia bilang tidak enak perut. Mau ke rumahnya dulu di Lembang”
“Hehehe… Terus hubungannya Siaga Merah?”
“Buat si penjaga kan itu Siaga Merah. Kalau tidak segera bisa-bisa meletus ditepat yang tidak diinginkan. Lagian siapa juga yang bilang Tangkuban Siaga Merah!” Jawab saya penuh kemenangan.

Tanpa ba bi bu lagi saya putar 180 derajat mobil yang katanya berwarna biru Persib ini. Saya arahkan ke bawah bukan ke atas. Sebab mobilnya saya bukan mobil Knight Rider yang bisa terbang. Ini hanya mobil carry yang sama sekali tidak istimewa. Kalau dibilang sedikit beda sih iya. Berbeda di plat nomernya yang berwarna merah gincu.
“Mau kemana nih?”
“Tenang! Mau cari jalan tembus” kata saya.
Saya memang tidak mau menunggu antrian. Saya sedang buru-buru. Soalnya dari kemarin niatnya ingin melihat sunrise. Itulah kenapa tadi sengaja pergi dari rumah pun tepat setelah shalat subuh. Sampai-sampai si Revo yang lagi tidur pun langsung diangkut aja ke mobil. Tanpa dibagunkan terlebih dahulu.

Saya belokan mobil. Masuk dalam hutan pinus. Seingat saya jalan ini nyambung sampai ke kawah. Semoga saja masih ada jalannya. Tidak ikut ditebangi oleh pencuri kayu. Eh, kalau pohon bukan ditebang ya. Diapain ya? Ya pokoknya semacam dikorupsi gitu dech. Dirampok.

Sedang enak-enaknya melaju, dari arah depan nampak 2 siluet manusia menghadang di jalan. Mirip siluet Batman & Robin. Ternyata penjaga Tangkuban Perahu pakai kupluk dan sarung. Ceritanya menghadang mirip begal dech.
“Pagi Pak”
“Pagi” tersenyum saya lihatin gigi yang belum digosok dari kemarin.
“Berapa orang?”
“Banyak!” kata saya
“Banyak kok cuma 4 orang?”
“Dibawah akan segera menyusul Pak”
“Memang dari dinas mana Pak?” Penjaga tadi melihat plat nomer mobil yang merah.
“Departemen Pertanian, Pak”
“Wah, maaf Pak. Banyak yang mau datangnya?” tiba-tiba si penjaga penuh senyum-senyum centil kayak Agnes Monica.
“Menteri juga sedang menuju kesini. Masih dibawah”
“Oh kalau begitu silakan masuk Pak!”
“Nuhun, Pak. Si Bapak mani baik euy
“Ga papa Pak. Sesama aparat”
“Oh iyah ini buat rokok, Pak”
“Aduh ga usah Pak”
“Biar aja Pak. Ini 30 ribu itung-itung seorang 1 bungkus Malboro lah. Tapi Revo jangan diitung ya Pak.
“Revo siapa, Pak?”
“Ini nih yang lagi tidur!” telunjuk saya arahkan ke Revo yang sedang pulas digendongan.
“Oh itu mah santai aja, Pak”
“Iya, dia kan lagi tidur. Jadi ga lihat Bapak. Kalau lihat lain cerita Pak”
“Bisa aja si Bapak mah
“Harus bisa dong, Pak!”
“Hehehe… Iya Pak”
“Nuhun nya Pak”
“Eh iya sawangsulna, Pak. Ati-ati jalannya banyak yang berlubang!”
“Sip! Asal jangan berduit aja Pak!”
“Kok berduit?”
“Kalau berduit nanti saya ga sampai ke puncak. Dibawah aja mungutin duit”
“Ah si Bapak mah ada-ada aja”

Tak lama setelah itu, saya langsung geber mobil memasuki jalanan berbatu yang sangat-sangat bagus. Saking bagusnya, batu pun terlihat seperti batu apa adanya. Bulat-bulat dan menonjol ke luar. Perjalanan pun jadinya laksana digendong penyanyi dangdut yang goyangnya paling dahsyat seantero dunia.
“Emang bener ada Menteri Pertanian dibawah?” tiba-tiba Um-Um bertanya
“Ada!”
“Bohong ya?!”
“Nggak. Bener kok”
“Masa sih?”
“Tadi liat ga di Lembang ada mobil rombongan BPPT tur ke Tangkuban Perahu?”
“Iyah lihat”
“Nah Menteri ada di dalamnya”
“Masa Menteri ikut rombongan itu terus di mobil kayak gitu?”
“Memangnya mereka pergi atas nama siapa? Coba lihat surat tugasnya. Pasti atas nama Menteri. Menterinya kan ikut tuh. Malah diperlihatkan ke orang-orang yang baca surat tugas. Dia pasti ada disana. Selalu ada kemana pun”
“Hehehe”

***

Sampai di kawah yang bau kentut, Revo tiba-tiba bangun. Kayaknya dia mencium bau-bau yang tidak sedap juga. Tapi untungnya dia suka. Karena suka langsung saja kami hirup bareng-bareng. Sedap.

Beruntung puncak masih kosong. Hanya kami berempat saja pengunjung yang baru datang. Ini saatnya untung berfoto-foto tanpa terganggu oleh view-view yang mengganggu.

Lepas 2 jam semenjak mobil kami “was here” bus-bus dan mobil mulai berdatangan. Orang-orang turun dari sananya. Menyemut menuju pinggiran kawah. Termasuk orang-orang yang tadi ngantri di depan pintu gerbang utama Tangkuban Perahu.

Seperti yang sudah diramalkan Mama Loren, akhirnya saya dipertemukan kembali dengan beberapa orang dari mereka.
“Katanya Siaga Merah Mas? Kok sudah ada disini duluan? Kan bus kita yang pertama masuk”
“Iya lagi penelitian dari Deptan” jawaban saya tidak nyambung dengan apa yang ditanya.
“Mang meneliti apa Mas?”
“Vulkanologi”
“Mang Departemen Pertanian ngurusin vulkanologi?” salah seorang cerdik pandai ada diantara mereka.
“Ya iya dong!” jawab saya bersemangat, “Efek dari gunung berapi ini berpengaruh terhadap tanaman yang ada di sekitarnya. Apalagi di daerah sini kan banyak Balai-Balai milik Deptan”
“Gitu ya? Efeknya kayak gimana?”
“Iya. Efeknya, salah satunya, kalau seledri itu untuk menyuburkan pertumbuhan rambut. Nah kalau terkena lava dari gunung berapi efeknya rambut bisa rontok.”
“Ih seremmmm” kata salah satu dari mereka.
Serem apanya pikir saya. Dimana-mana juga kalau rambut terkana lava panas mah pasti rontok. Bukan cuma rambutnya aja, tengkoraknya pun ikut rontok.

Berhubung conference press mulai menghangat. Banyak dari mereka mulai mengerumuni saya. Termasuk guru-guru mereka yang berjalan ke arah saya (ternyata mereka itu murid-murid SMU yang sedang liburan). Ini tanda perbincangan sudah mulai tidak kondusif. Dan akan sangat berbahaya kalau diteruskan. Saya ambil si Revo dari gendongan Um-Um sambil menutup hidung saya pakai jari.
“Maaf ya, ini anak kecil ee”
“Ihhhhh….” Si mereka pun ikut-ikutan tutup hidung penuh mimik jijik.

Setengah berlari saya menuju mobil. Masuk mobil nyalain mesin. Brummm…… Mobil melaju menuruni puncak Tangkuban Perahu.

***

Bebas juga akhirnya. Ini semua berkat si Revo. Makasih ya Revo. Kamu telah menyelamatkan hidupku yang tiada tara ini. Sebagai balas jasanya nanti kita beli kelinci plus kandangnya ya di Asep Rabbit.
“Revo mau Kelinci, Macan atau Gajah?” saya ngetes si Revo.
“Gajah!”
“Kelinci atau gajah?”
“Gajah!”
“Kelinci aja ya. Ga usah gajah”
“Gajah!”
Dasar anak kecil. Bisanya ikut kata yang belakang saja. Pikir saya.
“Ya udah kita beli kelinci aja. Nanti kasih nama gajah juga tidak apa-apa. Ekoy?!”
“Ecoyyy!” jawab Revo